Kedamaian Muslim Ghouta, Tanggung Jawab Siapa?

  • Bagikan
Ulfah Sari Sakti.Foto:Ist

Oleh: Ulfah Sari Sakti (Ummu Fathan-Affan)

 

Pembataian muslim Ghouta sejak tahun 2011 hingga 2018 tentunya membutuhkan penyelesaian yang pasti dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.  Bagaimana tidak saking parahnya pembantaian yang dilakukan pasukan Assad, warga menganggap hari-hari yang dilaluinya seperti menunggu giliran mati.  Seperti dilansir Pikiran Rakyat.Com (22/2), kondisi di Kota Ghouta Suriah masih sangat memprihatinkan.  Pasukan Assad mengabaikan seruan dunia untuk menghentikan pengeboman di Kota yang menurut pemerintah Assad dikuasai oposisi (militer tentara Islam, kelompok Failaq Ar Rahman dan kelompok Ahrar Al Sham).

PBB mengatakan serangan semacam itu bisa menjadi kejahatan perang.  Sementara itu, lembaga pemantau HAM Suriah (SOHR) mengungkapkan pasukan pro pemerintah menembakan ratusan roket dan menjatuhkan bom ke sejumlah distrik dan desa di Ghouta, “kita menunggu giliran untuk mati,” kata Bilal Abu, Warga Ghouta Timur seperti dilaporkan Yahoo News.   Disisi lain pemerintah Suriah dan sekutunya yaitu Rusia menyangkal pembantaian dengan mengatakan tidak menargetkan warga sipil dan tidak menggunakan bom yang dijatuhkan dari helicopter.

Serangan Semakin Mematikan

Ghouta Timur adalah bagian dari beberapa zone de-eskalasi antara Rusia dengan pemberontak di Suriah.  Pemberontak menuduh pemerintah Suriah dan Rusia melanggar zone tersebut.  Mereka mengatakan tindakan tersebut untuk mengalihkan perhatian dari serangan kepada warga sipil.  Namun pemerintah Suriah dan Rusia menyangkalnya dan bersikeras pengeboman hanya pada tempat persembunyian militan (Republika.Co.Id).

Janji setia kepada rezim Suriah dari Iran, China hingga Rusia (Kumparan.Com/3 Maret 2018), laju tirani rezim pemerintahan Bashar Al Assad dalam membantai rakyatnya sendiri tidak terlepas dari peran kroni-kroni setianya.  Selain Iran dan Rusia yang secara terbuka merapatkan barisan dengan pasukan militer Assad, ada milisi-milisi lain yang membantu menggempur pertahanan mujahidin pemberontak yaitu (1) Iran (2) Rusia (3)China (4)Pemberontak Houthi di Yaman (5) Hizbullah (6) Milisi-,ilisi lainnya di kawasan Timur Tengah.

Akibat serangan Rezim Bashar Al Ashad, hingga 26 Februari 2018, sedikitnya 500 orang tewas (lebih dari 100 adalah anak-anak).  PBB mencatat ada 272.500 orang butuh bantuan kemanusiaan.  Mirisnya pasukan Assad melarang bantuan dari PBB untuk memasuki wilayah, bahkan kebutuhan medis pun kerap dicuri tentara Suriah. Fakta terbaru lembaga medis menemukan bau klorin usai terjadi ledakan besar di distrik Al Shayfauniyr.  Akibatnya warga setempat banyak yang sesak nafas, bahkan terdapat seorang anak yang meninggal dunia akibat kehabisan nafas (Kumparan.Com).

Seperti yang dirangkum Kumparan.Com, terdapat 3 serangan senjata kimia yang terjadi di Suriah dimulai sejak 2013, 2017 dan 2018.  (1) Tahun 2013, tepatnya 21 Agustus 2013 merupakan pertama kalinya senjata kimia (klorin) digunakan  dalam konflik Suriah.  Menurut PBB, sedikitnya ada 1500 orang di Ghouta tewas dalam serangan tersebut.  PBB juga mendapatkan laporan bahwa 61 persen korban yang selamat mengalami sesak nafas, 42 persen kabur penglihatan, 22 persen iritasi mata dan air liur yang berlebihan serta 19 persen lainnya mengalami kejang. (2) Tahun 2017, wilayah Khan Shaykrun, mendapat serangan udara bertubi-tubi dengan menggunakan gas beracun terlarang seperti Sarin.

Penggunaan senjata tersebut telah dikonfirmasi oleh PBB dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW).  Serangan ini menewaskan 74 orang dan menciderai 557 orang.  (3) Tahun 2018, Rezim Assad kembali menggunakan klorin.  Serangan di Ghouta dalam sepekan terakhir adalah salah satu yang terparah dalam 8 tahun konflik di Suriah.  Ratusan warga tewas terbunuh, masuknya makanan ke wilayah tersebut pun sulit, sehingga banyak anak-anak yang kelaparan dan mengalami malnutrisi.

Penggunaan senjata kimian di Ghouta Suriah tersebut mendapat kecaman keras dari pemerintah RI.  Melalui Kemenlu RI seperti disampaikan Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata (KIPS) Kementerian Luar Negeri, Grata Endah Werdaningtyas,” sebagai Negara pihak pada Konvensi Senjata Kimia(KSK), Indoensia mengecam keras segala bentuk penggunaan senjata kimia dalam konflik yang telah memakan korban dari pihak sipil,” sebut Grata (Kumparan.Com/2 Maret 2018).

 

Tidak Cukup Sekedar Mengecam

Menurut saya, kecaman keras yang telah dilakukan pemerintah RI belumlah cukup. Karena belum membuat efek jera (penghentian pembantaian) oleh Rezim Assad.  Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih ekstrim misalnya menggandeng negara-negara muslim OKI untuk memboikot segala bentuk kerjasama dengan pemerintah Suriah, kalau perlu mengusulkan ke PBB untuk memberikan sanksi Suriah berupa dikeluarkannya dari keanggotaan di PBB, sampai dengan kembali kondusifnya kondisi keamanan di Suriah.  Termasuk mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam perang di Suriah.

Ingat kelak diakhirat, Allah swt akan meminta pertanggung jawaban para pemimpin muslim.  Tentunya tidak cukup dengan memboikot ataupun memberikan sanksi terhadap Suriah tetapi di perlukan sebuah upaya optimistis dakwah untuk menyerukan kepada seluruh umat muslim bahwa apa yang terjadi di Suriah akibat diabaikannya system Islam dalam mengatur aspek negara, tidak adanya sebuah system Islam, umat muslim dunia menjadi berbeda-beda dalam menunjukkan sikap dan menjalani kehidupan mereka, sehingga teramat mudah penjajah-penjajah di negeri muslim khususnya Suriah dintimidasi oleh musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus bangkit, bangkit dan sadar bahwa kebangkitan hakiki dan kehidupan mulia hanya dapat di raih ketika islam di tegakkan dalam naungan Khilafah Islam, yang sebelumnya sudah pernah di wariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

  • Bagikan