SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Ada gagasan original yang keluar dari Presiden Joko Widodo di sela-sela Puncak Sail Selat Karimata 2016, Sabtu, 15 Oktober 2016 di Pelataran Pantai Pulau Datok, Desa Sutera, Kec Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar. Yakni mengawinkan “desa” dengan “pariwisata” yang menghasilkan keturunan bernama “desa wisata” di tanah air. Tak sampai 24 jam, Menpar Arief Yahya pun langsung mendownload ide presiden itu dengan berkoordinasi internal dan eksternal, pada Minggu Pagi, 16 Oktober 2016.
Hasilnya? “Saya sudah kontak Pak Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Senin, 17 Oktober 2016, saya mengirim Deputi Pengembangan Destinasi dan Industri Kemenpar, Dadang Rizky untuk menindaklanjuti teknis dengan Dirjen PPMD Kemendes PDDT Prof Dr Erani yang ditunjuk sebagai PIC. Kita akan segera menentukan quick win, destinasi mana saja yang paling siap untuk diformat menjadi Desa Wisata,” jelas Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI.
Tentu, itu sejalan dengan prioritas Kemenpar dalam membangun destinasi yang selalu melihat indikator 3A. Bagaimana potensi Atraksi? Kesiapan Akses? Dan kekuatan Amenitas-nya? Atas dasar itu, maka pilihan pertama adalah kawasan yang berada di 3 Greaters, atau destinasi utama, Bali-Jakarta-Kepri. Keunggulan di tiga greaters itu, sudah mewakili 90 persen wisman masuk ke tanah air. Bali 40%, Jakarta 30% dan Kepri 20%. “Di mana saja desa-desa yang bisa dibangun menjadi Desa Wisata di ketiga kawasan itu?” ucap Arief Yahya, yang tidak sabar menunggu hasil pertemuan teknis kedua deputi.
Prioritas berikutnya, kata Mentan Dirut PT Telkom itu, adalah desa-desa yang berada di 10 Bali Baru, atau 10 Top Destinasi. Dari Danau Toba Sumut, Tanjung Kelayang Belitung, Tanjung Lesung Banten, Kepulauan Seribu Jakarta, Borobudur Jateng, Bromo Tengger Semeru (BTS) Jatim, Mandalika Lombok NTB, Labuan Bajo Komodo NTT, Wakatobi Sultra dan Morotai Maltara. “Di mana saja, desa yang bisa cepat disetting menjadi Desa Wisata,” ungkap Menpar yang asli Banyuwangi, Jatim itu.
Selain dua prioritas di atas, pilih juga jatuh pada 10 Top Destinasi Teraktif, seperti Sumatera Barat, NTB, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Banyuwangi, Sulawesi Utara dan lainnya. “Selain menggunakan kriteria 3A, juga lihat track record CEO Commitment-nya. Bagaimana pimpinan daerahnya –dari Gubernur, Bupati dan Walikota– pilih yang serius dan konkret dalam membangun daerah dengan pendekatan pariwisata. Untuk Atraksi, utamakan yang sudah KSPN, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Ini penting agar berada dalam framework yang benar dan cepat,” ungkap Arief Yahya yang mendidik pasukannya di Kemenpar dengan corporate culture 3S, Solid, Speed, Smart itu.
Program “Desa Wisata” kata Arief Yahya juga nyambung dengan rencana membangun 100.000 homestay yang bakal dimulai 2017 nanti. Desain arsitektur rumah nusantara di homestay juga semakin relevan untuk segera diimplementasi. Nanti, 28 Oktober 2016, pemenang-pemenang lomba desain artekturnya akan selesai, dan langsung bisa digunakan untuk homestay.
“Kelak, ketika Desa Wisata itu sudah siap jual, akan langsung dipromosikan, lalu selling platform-nya juga dimasukkan dalam DMP atau Digital Market Place. Maka Desa Wisata itu bisa berfungsi ganda. Bisa sebagai amenitas dengan homestay, akomodasi di rumah penduduk yang sudah sadar wisata. Juga bisa sebagai atraksi, karena berada dalam atmosfer kehidupan masyarakat desa yang hommy, kaya dengan sentuhan budaya, dan nuansa kekeluargaan yang belum tentu bisa ditemukan di negara lain,” ungkapnya.
Menpar Arief juga mengapresiasi dengan ide segar Presiden Joko Widodo itu. Orang nomor satu di Indonesia itu betul-betul menaruh harapan besar pada sektor Pariwisata, sebagai salah satu program prioritas, selain infrastruktur, pangan, energi, dan maritime. Dan secara ekonomi, itu masuk akal, karena hanya pariwisata diantara komoditas lain yang bertumbuh dan terus membesar. Lainnya, Oil and Gas, Coal atau batubara dan Crude Palm Oil (CPO) terus mengalami penurunan yang makin sulit bersaing di level global.
Hanya pariwisata yang bagus grafik capaiannya. Ini semakin mengukuhkan hipotesis bahwa: “Pariwisata adalah
penyumbang PDB, Devisa dan Lapangan Kerja yang paling mudah dan murah,” kata Arief Yahya. Statemen itu juga diakui oleh UNWTO, Lembaga PBB yang bergerak di sektor pariwisata.
Menurut Arief Yahya, hanya services seperti sektor tourism yang bisa membawa bangsa ini bersaing di level global. Karena itu, sudah betul jika Presiden Joko Widodo terus mendorong pariwisata sebagai leading sector. “Kalau masyarakat desa masih tetap dibiarkan bercocok tanam, mata pencaharian sebagai petani, hasilnya tidak akan bisa berkompetisi dengan China, Thailand dan Vietnam, yang juga maju pesat,” kata dia.
Bahkan Arief Yahya sering berkelakar: “Laki-laki ciptaan Tuhan, Perempuan ciptaan Tuhan, sisanya made in China!” Di Desa Wisata, masyarakat tetap melakukan aktivitas menanam padi, palawija, hortikultura dan mengurus ternak. Hanya saja, bukan semata-mata hasil dari bercocok tanam dan pertanian itu yang ditunggu hasil panennya. “Tetapi services dan prosesnya sebagai atraksi wisata. Suasana desa wisata yang ramah, gotong royong, penuh dengan rasa kekeluargaan, kaya budaya local, dan sadar wisata, itu yang dijual sebagai atraksi di destinasi desa wisata,” ungkap dia. (*)
(Kemenpar RI)