Kepala BKKBN RI: Perencanaan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja dapat Cegah Stunting

  • Bagikan
Kepala BKKBN RI, Hasto Wardoyo (kiri) bersama Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas, saat membuka acara BKKBN Sultra, Senin (23/12/2019). (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM).
Kepala BKKBN RI, Hasto Wardoyo (kiri) bersama Wakil Gubernur Sultra, Lukman Abunawas, saat membuka acara BKKBN Sultra, Senin (23/12/2019). (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM).

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Saat ini Indonesia sedang mengalami dan berusaha mengatasi permasalahan gizi ganda, yaitu kekurangan gizi seperti wasting (kurus) dan stunting (pendek) pada balita, anemia pada remaja dan ibu hamil serta kelebihan gizi, termasuk obesitas baik pada balita maupun orang dewasa.

BKKBN mencatat, sekitar 37 persen (hampir 9 juta) anak balita, mengalami stunting (Rikesdas 2013) dan Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting ke lima terbesar di dunia.

Di Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri, tercatat sekitar 36 persen mengalami Stunting. Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh keluarga yang miskin dan kurang mampu, akan tetapi stunting juga dialami oleh keluarga yang tidak miskin/yang berada di atas 40 persen tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Stunting dapat terjadi karena masih terbatasnya pemahaman tentang pengasuhan yang tidak hanya dilakukan ketika anak sudah lahir, tetapi juga dilakukan sejak anak masih berada di dalam kandungan sehingga orang tua dan keluarga dapat meminimalisir faktor risiko terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Oleh karenanya, peningkatan upaya promotif dan preventif dalam rangka perbaikan gizi melalui optimalisasi pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan Penyiapan Perencanaan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja menjadi dua hal penting selain dengan memastikan terpenuhinya kebutuhan fisik (gizi) dan mental ibu serta bayi selama masa kehamilan hingga anak menginjak usia dua tahun.

Kepala BKKBN RI, Hasto Wardoyo, mengatakan stunting dapat dicegah dimulai dari masa remaja dimana seorang remaja dapat mempersiapkan dan merencanakan masa depan dan kehidupan berkeluarga.

“Menurut data Supas tahun 2015, jumlah penduduk usia 10-24 tahun mencapai sekitar 61 juta jiwa dan jumlah penduduk 10-24 tahun yang belum menikah sebanyak 54 juta. Jumlah remaja yang besar tersebut akan dapat menjadi aset yang luar biasa bagi bangsa dan negara Indonesia apabila dikelola dengan baik dan kualitasnya juga baik,” ungkapnya, Senin (23/12/2019).

Untuk itu, BKKBN melalui program Generasi Berencana (Genre) berupaya menyiapkan generasi muda untuk mampu mengisi bonus demografi, menyiapkan Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045 mendatang.

Genre dikembangkan untuk penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja sehingga mereka mampu melangsungkan jenjang pendidikan, berkarir dalam pekerjaan, serta menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi.

“Program Genre dapat meningkatkan pemahaman, pengetahuan, serta sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi, guna meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan menyiapkan kehidupan berkeluarga dalam upaya peningkatan kualitas generasi mendatang. Dengan bekal yang baik selama menjadi remaja Genre,” tutur Hasto Wardoyo, saat berkunjung di Kendari membuka acara BKKBN Sultra.

Menurutnya, pernikahan usia anak sendiri menempatkan remaja putri dalam resiko tinggi terhadap kehamilan dini dan kehamilan tidak diinginkan, dengan konsekuensi ancaman kehidupan.

Bila tren ini terus berlanjut, 142 juta remaja putri akan melakukan pernikahan sebelum mereka berusia 18 tahun sebelum 2020. Hal ini berarti 14,2 juta remaja putri melakukan pernikahan setiap tahun atau 39 ribu setiap hari. Hampir 600.000 lebih wanita di dunia kehilangan kesempatan disebabkan hamil di luar nikah.

Gara-gara itu mereka harus berhenti sekolah, yang kemudian membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menjadi generasi yang unggul. Pencegahan pernikahan dini akan membantu penurunan risiko infeksi pada saat melahirkan bahkan ‘ancaman’ kematian pada saat ibu melahirkan serta bayi cacat lahir.

“Sultra belum menikmati bonus demografi karena masih memiliki dependensi rasio yang tinggi. Butuh kerjasama dengan mitra terkait khususnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk mencapainya, karena jendela peluang dalam bonus demografi tercipta ketika TFR dan angka kematian ibu dan anak menurun. Sedangkan TFR di Sultra masih berada di angka 2.89 (SKAP 2019). Kami juga berharap Gubernur Sulawesi Tenggara bisa menambah personel kader KB non PNS untuk mempercepat penurunan TFR dan angka kematian ibu dan anak,” tutur Hasto.

Laporan: Hasrul Tamrin

  • Bagikan