Oleh: Maolana Mohammad Sah
SULTRAKINI.COM: “Penggunaan pemeriksaan psikologis untuk mendeteksi the right man on the right place, dan menghindari the right man on the wrong place, the wrong man on the right place, serta the wrong man on the wrong place.” – Prof. Dr. Slamet Iman Santoso (Website Fakultas Psikologi Universitas Indonesia)
Sejarah Singkat HIMPSI
Psikologi adalah ilmu yang masih terbilang muda di Indonesia. Jika diyakini pidato Prof. Dr. Slamet Iman Santoso-seorang psikiater pada tahun 1952 di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), sekarang menjadi Institut Teknik Bandung (ITB) merupakan cikal bakal lahirnya psikologi. Maka pada tahun 2024, umur psikologi masih berusia 72 tahun di Indonesia.
Diumurnya yang masih muda, sangat jarang tulisan yang bisa menceritakan secara terperinci awal perjalanan psikologi di Indonesia. Dalam buku “22 Gagasan Psikologi; Sumbangan Pemikiran Untuk Bangsa” yang ditulis oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mengaturkan di tahun 1959, beberapa alumni psikologi UI membentuk Ikatan Sarjana Psikologi yang disingkat dengan ISPsi, guna menghimpun sarjana-sarjana psikologi yang pada saat itu masih di bawah Fakultas Kedokteran UI.
Menggambarkan bagaimana sistem pendidikan psikologi di zaman itu, dapat berangkat dari sepenggal kutipan pidato Pak Slamet dan bagaimana sistem pendidikan Indonesia dibawah tahun 1994. Dimana mahasiswa-mahasiwa psikologi zaman itu dididik dan dipersiapkan untuk menjadi seorang profesi yang handal dalam psikologi. Oleh sebab itu, walaupun mereka hanya mengambil S1, tapi sarjana-sarjananya disebut psikolog.
Singkat cerita, tahun 1994 terjadi perubahan sistem pendidikan Indonesia, dimana pendidikan psikologi menjadi dua, yakni pendidikan akademik psikologi dan pendidikan profesi yang bergelar psikolog. Sistem ini mengubah pola pendidikan dimana Sarjana S1 psikologi tidak bisa lagi disebut profesional atau psikolog, sebelum mengambil pendidikan profesi. Tuntutan perubahan ini memaksa ISPsi mengadakan Kongres Luar Biasa di tahun 1998 dan memutuskan perubahan nama menjadi Himpunan Psikologi Indonesia yang disingkat dengan HIMPSI.
Definisi HIMPSI dan Asumsinya
Menurut HIMPSI di websitenya, Himpunan Psikologi Indonesia merupakan induk organisasi yang menghimpun profesi psikologi, hal ini sesuai yang tertuang dalam UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022. Jadi organisasi tersebut hanya menghimpun psikolog yang merupakan profesi dalam psikologi. Namun, beberapa mahasiswa dan alumni psikologi yang bertitel, berpendapat dan mempercayai bahwa organisasi tersebut menghimpun lulusan dari pendidikan profesi yang disebut psikolog dan lulusan pendidikan akademik yang terdiri dari Sarjana Psikologi, Magister Psikologi dan Doktor Psikologi-disebut ilmuwan psikologi. Apakah benar?
Perbedaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Sebelumnya, telah dituliskan bahwa di psikologi memiliki dua makhluk, yakni ilmuwan psikologi dan psikolog. Menurut UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022 di pasal 10, menjelaskan lulusan pendidikan akademik merupakan ilmuwan psikologi yang telah mendapatkan ijazah dan gelar akademik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembagiannya terdiri dari; program sarjana (S1), program magister (S2) dan program doktor (S3).
Mengutip UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Akademik merupakan sistem pendidikan yang mengarahkan mahasiswa pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan seni tertentu. Sistem ini tidak menerapkan pendidikan keahlian khusus, melainkan mahasiswa mendapatkan lebih banyak teori dibanding praktik 60:40. Biasanya mereka disebut sebagai ilmuwan.
Sedangkan definisi pendidikan profesi yang saya rangkum dari UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022, menjelaskan sebagai pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan Pendidikan Psikologi program sarjana, mendapatkan Sertifikat Profesi dan gelar profesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gelar profesi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah gelar yang diperoleh setelah menyelesaikan program pendidikan profesi dan gelarnya disebut dengan Psikolog. Biasanya ditulis dibelakang nama yang bersangkutan.
Sebelum disahkan UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022, pendidikan profesi tidak dipisahkan menjadi tiga-program profesi, program spesialis dan program sub-spesialis. Namun hanya satu saja, dimana gelar profesi bisa diperoleh ketika mahasiswa yang sudah menyelesaikan Program Sarjana Psikologi (S1), setelah itu mengambil pendidikan profesi. Lulusannya memperoleh gelar profesi yang disebut “psikolog” yang memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing. Walaupun di lapangan, ada psikolog klinik yang menangani masalah politik atau pendidikan (misalnya). Terserah apakah itu disebut malpraktek atau tidak, kita kupas ditulisan selanjutnya.
Pada artikel ilmiah yang berjudul “Definisi Dan Etika Profesi Guru” yang ditulis oleh Inayatul Khadijah, menjelaskan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus. Selain itu, profesi memiliki tanggung jawab dan kode etik tertentu.
Hal serupa juga dijelaskan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa sistem pendidikan profesi mempersiapkan mahasiswa memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus dan juga mendapatkan gelar profesi/keahlian tertentu.
Berdasarkan paparan sebelumnya, maka program sarjana (S1), program magister (S2) dan program doktor (S3) bukanlah profesi yang melalui pendidikan keahlian khusus, tidak menerima sertifikat profesi dan tidak mendapatkan gelar psikolog. Melainkan sebagai ilmuwan yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan seni tertentu.
Kesalahan yang dipelihara oleh pengurus HIMPSI selama 28 tahun
Mengutip kembali definisi HIMPSI sebagai induk organisasi yang menghimpun profesi psikologi dan mengkorelasikan secara rasional dari literatur akan arti kata “profesi”. Maka, selama kurang lebih 28 tahun HIMPSI terbentuk, organisasi tersebut masih terbawa dengan nostalgia dibawah tahun 1994 dan mewariskan kesalahan dalam mendefinisikan kata “profesi”, serta tidak mampu membedakan antara ilmuwan psikologi dan psikolog yang dapat disebut profesi sehingga dapat dihimpun berdasarkan definisi organisasi itu sendiri.
Ketidakmampuan tersebut menimbulkan hasty generalization fallacy. Suatu kesalahan berpikir yang dilakukan pengurus HIMPSI dari tahun ketahun. Dimana mereka menyamakan semua lulusan psikologi dalam satu konsep yang sama yakni profesi. Padahal sudah jelas dalam UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022 menjelaskan organisasi HIMPSI hanya untuk profesi psikologi, yakni Psikolog.
Sebelum undang-undang tersebut disahkan, sebenarnya ilmuwan psikologi tidak memerlukan kode etik psikologi untuk menertibkan dan mengatur ruang lingkup mereka; baik bidang pendidikan, keilmuan, keilmiahan, serta sikap kemanusiaannya. Sebab tanpa aturan tersebut, mereka sudah diatur oleh aturan pemerintah yang lebih memiliki kekuatan hukum dibandingkan berpayung kepada kode etik psikologi yang tidak jelas kekuatannya. Disisi lain, aturan tersebut tidak memiliki keuntungan apapun untuk ilmuwan psikologi. Apalagi undang-undang yang baru disahkan di tahun 2022.
Kesalahan Massal Ilmuwan Psikologi
Perbedaan posisi antara pengurus dan bukan pengurus dalam menanggapi persoalan ini seharusnya menggambarkan kalau pengurus akan cenderung lebih menerima secara dogma kesalahan ini karena adanya tujuan politik di dalamnya, dibadingkan orang yang bukan pengurus cenderung harus bisa bersikap kritis. Apalagi mereka seorang ilmuwan. Apalagi yang bekerja sebagai dosen dan peneliti.
Beberapa pendapat, seorang ilmuwan haruslah memiliki sikap ilmiah yang terinternalisasi dalam dirinya. Dari sekian banyak sikap-sikap ilmiah yang ada, ada sikap yang hilang dalam diri ilmuwan psikologi dalam menghadapi diskursus ini. Ditulisan ini, tidak akan menjelaskannya satu persatu, namun hanya menyebutkannya, yakni; sikap ingin tahu, kritis, terbuka, objektif, dan berani mempertahankan kebenaran.
Ingatkah kita, demo yang yang terjadi di bulan Agustus 2024. Jalan-jalan dibanjiri oleh massa dengan tempo sesingkat singkatnya, untuk memprotes dan mengkritisi kelakukan mayorita partai di DPR. Pemicu dari demostrasi tersebut disebabkan keputusan DPR yang merevisi 2 hal tentang UU Pilkada. Padahal, sehari sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.
Berbeda dengan psikologi yang menenggelamkan permasalahnya di bawah permukaan gunung es selama 28 tahun. Walaupun ada sebagian kecil yang mencoba bersuara tapi di silent oleh otoritas dan sistem. Sekarang dimana keberadaan para ilmuwan psikologi itu, baik yang lulusan sarjana, magister, doktor hingga profesornya? Terlihat mereka sedang diam dan melakukan kesalahan berpikir massal yakni argumentum ad verecundiam. Dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai appeal to authority yakni keyakininan terhadap suatu ucapan otoritas, baik yang memiliki status, gelar maupun jabatan yang tinggi sebagai kebenaran yang mutlak dan tidak boleh dikritisi serta ditolak.
Saatnya reformasi pemahaman dan Kritis
Cukup Orde Baru yang mencuci otak kita selama 32 tahun. Jangan jadikan HIMPSI sebagai wadah untuk menghilangkan daya kritis dalam diri kita. Apakah kita tidak membuka pikiran bahwa jelas-jelas HIMPSI sendiri mendefinisikan dirinya sebagai induk organisasi yang menghimpun profesi psikologi. Tafsiran apa lagi yang diperlukan agar ilmuwan psikologi berani melakukan reformasi pemahaman. Jangan sampai ilmuwan psikologi seperti kucing yang takut air sehingga tidak berani mengkritik HIMPSI.
Sampai generasi berapa ilmuwan psikologi masih merasa sebagai profesi sehingga merasa harus terhimpun di HIMPSI? Mari kita move on dari nostalgia dibawah tahun 1994. Sekarang, mari membuka pikiran kita, luangkan waktu untuk mendiskusikan ini, dan bersikaplah kritis. Ilmuwan psikologi bukan psikolog yang tidak bisa berkutik dihadapan HIMPSI karena nyawa mereka sebagai profesi masih dipegang oleh organisasi tersebut.***