Keterwakilan Perempuan di Ranah Penyelenggara Pemilu suatu Keniscayaan

  • Bagikan
Suprihaty Prawaty Nengtias (Ketua KPU Kab. Kolaka Timur)
Suprihaty Prawaty Nengtias (Ketua KPU Kab. Kolaka Timur)

Oleh: Suprihaty Prawaty Nengtias (Ketua KPU Kab. Kolaka Timur)

Menurut Michelle Rosaldo ketidakadilan gender merupakan sebuah kondisi di mana perempuan secara universal di bawah laki-laki, di mana laki-laki menjadi dominan karena partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan merendahkan perempuan ke lingkungan domestik.

Di era globalisasi seperti saat ini, seharusnya sudah tidak ada lagi ketimpangan dan ketidak adilan gender antara laki-laki dan perempuan, yang ada adalah keseteraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Namun faktanya hari ini, ketimpangan peran laki-laki dan perempuan  masih terjadi, baik didunia eksekutif, legislative dan yudikatif serta di lembaga penyelenggara pemilu.

Ketimpangan itu terjadi karena kurangnya perempuan yang terlibat dalam pengambil kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil belum banyak yang  berpihak pada perempuan.

Ketimpangan ini dapat diatasi jika perempuan terlibat dalam penyusunan kebijakan tersebut karena hanya perempuan yang dapat memahami kebutuhannya.

Namun untuk mengatasi permasalah tersebut, tentunya butuh kerja keras dan kemauan kuat dari perempuan itu sendiri untuk memberdayakan kaummnya. Kekuatan itu tentu butuh suatu keberanian, keberanian untuk mengubah keadaan, dari yang tak berdaya menjadi berdaya.

Untuk mengisi ruang-ruang public tersebut perempuan tidak hanya butuh keberanian semata, tetapi juga butuh mental yang kuat, pengalaman dan  kualitas. Kualitas memimpin dari seorang perempuan.

Perempuan yang berkualitas harus cerdas, percaya diri, mempunyai mental yang kuat, mampu memberikan argument yang logis, mampu berelasi dengan semua pihak, mempunyai jejaring social yang baik, tegas, dan berkepribadian yang baik.

Perempuan seperti inilah yang dibutuhkan untuk terjun mengisi ruang-ruang public, Mengapa kita butuh perempuan yang berkwalitas karena krhadiran perempuan tersebut harus memberi warna tidak hanya hadir karena belas kasihan dengan keterpenuhan kuota 30% tetapi benar-benar perempuan yang mampu membuat kebijakan dan kebijakan yang dikelurkan nanti tentu tidak asal membuat, tetapi butuh kajian, butuh regulasi yang mendasari kebijakan tersebut dan tentu butuh argument yang kuat sehingga tidak mudah untuk digugat oleh pihak yang tidak mendukungnya.

Seorang perempuan harus memiliki posisi tawar yang kuat dan sejajar dengan kaum laki-laki. Untuk itu, perlu pengembangan potensi diri meliputi aspek fisik, intelektual, maupun mental spiritual.

Jadilah perempuan pemimpin yang asertif, visioner, bisa mendengar, berani mengambil keputusan, berani mengambil risiko, dan mempunyai citra diri positif.

Mengapa perempuan harus tampil memimpin dan ikut dalam pengambilan kebijakan, karena jumlah perempuan mencapai separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan. Selain itu, partisipasi perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan dalam menghadapi masalah stereotip terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan juga eksploitasi terhadap perempuan.

Jumlah partisipasi perempuan dalam bidang politik dari tahun ke tahun memang mengalami peningkatan, akan tetapi belum mencapai 30% dari jumlah keseluruhan nya

Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan UndaangUndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Pada UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 10 (7) Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU Provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 3O% (tiga puluh persen).

Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas komisi pemilihan umum dan badan pengawas pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.

Dari hasil riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI), menunjukkan antusiasme perempuan untuk mengikuti proses seleksi yang semakin baik. Namun, keterpilihan perempuan sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI masih terbilang rendah.

Dari 7 orang komisioner di KPU RI hanya 1 orang komisioner perempuan yaitu Evi Novida Ginting Manik, begitupun di Bawaslu RI dari 5 orang komisioner, hanya 1 orang komisioner perempuan yaitu Ratna Dewi Pettalolo, dari segi presentasi tentu masih jauh dari angka 30%

Pada level KPU Provinsi dari 185 orang komisioner hanya 39  orang komisioner perempuan (21,2%)  dan Bawaslu propinsi dari 188 orang  hanya 38 orang komisioner perempuan (20,2%)  dan pada level kabupaten untuk KPU Kab/Kota terdapat 2.542 orang komisioner dan jumlah perempuan hanya 441 orang komisioner perempuan (17,3%) dan Bawaslu Kab/Kota dari 1.914 orang komisioner,  komisioner perempuan hanya 315 (16,5%) orang.

KPU dan BAWASLU adalah Lembaga Penyelenggara Pemilu, yang memiliki Peran strategis sebagai lembaga pembuat kebijakan yaitu sebagai regulator dan implementator sehingga kehadiran perempuan adalah suatu keniscayaan untuk memastikan output dari kebijakan tersebut dari hulu ke hilir berpihak pada perempuan dan inklusif,

Kebijakan tersebut dapat terlaksana ketika kehadiran perempuan sekurang-kurangngnya 30%

Sri Budi Eko Wardani, akademisi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menyatakan kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dinilai penting, karena lembaga penyelenggara pemilu adalah jantung pembuatan keputusan politik yang mengatur seleksi kepemimpinan negara.

Kehadiran perempuan dalam politik sangat penting karena tidak ada kebijakn perspektif gender tanpa kehadiran perempuan, tidak ada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan. ***

  • Bagikan