Kiriman Video Pornografi Anak Bawah Umur Dilaporkan ke DP3A dan Polres Kolaka

  • Bagikan
Kepala UPTD PPPA, Arfa Adianto AM

SULTRAKINI.COM: KOLAKA- Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Kolaka menerima laporan tindak asusila dan pornografi dari keluarga korban bawah umur. Korban adalah MH (14 tahun) dan terduga pelaku adalah AA (14 Tahun). Keduanya berteman dan tinggal di kecamatan yang sama, walau pun beda sekolah. MH masih duduk di bangku SMP kelas 3 sedangkan cowoknya sudah kelas 1 SMA.

Ceritanya, pelaku AA mengirimkan sejumlah foto dan video porno di akun Instagram MH. Bukan hanya itu, antara AA dan MH juga melakukan komunikasi yang mengarah ke pornografi.

Video dan foto vulgar yang di kirimkan pelaku ke korban ditemukan saat handphone korban disita, lalu pihak keluarga korban melakukan tangkapan layar sebagai barang bukti untuk dilaporkan.

SR selaku tante korban telah melaporkan pelaku kepada kantor DP3A dan Polres Kolaka, pada Rabu (18 September 2024).

“Siapapun yang mengadu di UPTD baik perempuan dan anak yang mengalami kekerasan apalagi itu dalam hal tindak pelecehan seksual adalah wajib dikawal dan dilindungi. Terkait kasus korban (MH) ini, untuk  menentukan pelaku bersalah atau tidak itu harus ada alat bukti, minimal dua alat bukti dan yang menentukan itu adalah penyidik,” kata Kepala UPTD PPPA, Arfa Adianto AM kepada SultraKini.com, Rabu (25 September 2024).

Lebih lanjut dijelaskan, tindakan PPPA adalah mengadvokasi dan mendampingi secara psikologi dan kesehatan pada korban. Sedangkan jika terkait hukum akan dilakukan advokasi.

Selain PPPA keluarga korban juga melaporkan kepada Polres Kolaka pada Senin (23 September 2024). Polisi piket yang menerima laporan Brigadir Polisi Satu Muh Riswandi Dahlan membenarkan telah menerima laporan pengaduan dugaan tindak pidana asusila terhadap korban (MH) yang di lakukan oleh pelaku( AA) yang merupakan kawan dekatnya.

Dosen Hukum Pidana Universitas 19 November Kolaka yang juga merupakan praktisi hukum pidana, Laode Awal Sakti, mengatakan berdasarkan laporan dari keluarga korban, maka hal pertama yang dilakukan adalah proses penyelidikan.

Penyelidikan adalah serangkayan tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Tujuannya untuk menentukan suatu peristiwa yang terjadi diduga sebagai tindak pidana atau tidak.

Apabila kemudian dari kesimpulan hasil penyelidikan bahwa peristiwa tersebut diduga sebagai tindak pidana maka kemudian lanjut ke proses penyidikan. Dalam menentukan patut tidaknya sutau peristiwa dilanjutnya ke tahap penyidikan, pejabat penyelidik berusaha mengumpulkan segala ionformasi yang berkaitan dengan peristiwa.

Proses penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

“Berdasarkan laporan dari keluaraga korban dikarenakan korban masih terkualifikasi sebagai anak maka regulasi yang bisa dirujuk yaitu Undang-Undang Perlingan Anak (UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2002). Di sisi lain, dikarenakan yang diduga sebagai pelaku juga masih terkualifikasi sebagai anak maka proses penanganannya tentu berbeda juga dengan orang dewasa,” jelasnya.

Proses penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tidak merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tetapi rujukannya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Lebih lanjut dijelaskan proses penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum memiliki banyak perbedaan dengan orang dewasa diantara mulai pada tahapan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan sidang  sampai pada tahapan pemidanaan.

Selain itu, dalam penanganan perkara anak pendekatan yang bisa digunakan adalah pendekatan restorative justice. Implementasi restorative justice yaitu melalui diversi. Namun, tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat dilakukan diversi dengan pendekatan restorative justice. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu tindak pidana yang dilakukan diancan dengan ancaman pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Itu pun,  kesepakatan diversi dapat terwujud apabila mendapat persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban.

Sementara itu dari Jakarta, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyampaikan apresiasi terhadap langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang baru saja membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) di Bareskrim Polri, yang kini dipimpin oleh Brigjen Desy Andriani. Pembentukan ini diharapkan dapat mempercepat penanganan kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak.

Dalam siaran pers yang dirilis pada Selasa (24/9/2024), Bintang menegaskan pentingnya respons cepat dan komprehensif dalam menangani masalah yang dialami oleh perempuan dan anak. 

Bintang berharap keberadaan direktorat baru ini dapat memperkuat penanganan setiap kasus, memastikan keadilan bagi korban sesuai dengan aturan yang berlaku.  Dia juga mengingatkan petugas untuk memiliki empati dan kepekaan terhadap trauma yang dialami korban, sehingga mereka tidak merasa bingung atau takut untuk melapor.

Laporan: Anti | Editor: M Djufri Rachim

  • Bagikan