Kisah Penuh Perjuangan Sepasang Nakes Asal Baubau Bertugas di Rumah Sakit Buton Selatan

  • Bagikan
Amrin menggunakan APD untuk melakukan pelayanan. (Foto: Dok pribadi)

SULTRAKINI.COM: BAUBAU – Seorang perawat UGD, Amrin Oihu (27) dan bidan bersalin, Yerni (26) tetap mengabdi meski harus berhadapan dengan Covid-19. Musuh tak kasat mata namun nyata adanya. Belum lagi jarak yang harus ditempuh keduanya dari Kota Baubau ke Kabupaten Buton Selatan (Busel).

Usai lulus di salah satu akademi keperawatan di Kota Baubau pada 2015, Amrin mengabdi di RSUD Busel sebagai perawat di unit gawat darurat. Demi menjalani keinginan dan cita-citanya sejak kecil, pria 27 tahun ini bekerja sukarela tanpa diberikan insentif sejak bertugas pada Agustus 2015 hingga 2017. Padahal ia harus pulang balik Kota Baubau-Buton Selatan yang ditempuh selama 30 sampai 45 menit perjalan menggunakan motor tuanya.

Tantangan Amrin tidak berhenti di situ, ketika Covid-19 mulai mewabah, ia bersama rekan sejawatnya berjibaku memberikan pelayanan. Rumah sakit tempat Amrin bekerja nampak belum siap dengan kondisi tersebut, seperti halnya beberapa rumah sakit daerah lain di Indonesia.

Amrin menggunakan APD ala kadarnya untuk melakukan pelayanan. (Foto: Dok pribadi)

Fasilitas alat rapid test untuk mendeteksi awal virus ini sangat terbatas, bahkan alat pelindung diri (APD) yang dikenakan oleh para tenaga medis masih ala kadarnya kala itu. Bahkan, petugas kesehatan menggunakan jas hujan dan sepatu boot agar mereka terlindungi selama sekitar dua bulan. Setelah itu, APD standarpun akhirnya dimiliki pihak rumah sakit agar meminimalisir terjadinya penularan virus kepada tenaga medis.

“Pertama kita pakai baju hujan yang tebal, kemudian kita pakai jas hujan yang tipis kayak kantong plastik sekali pakai, tapi tidak ada celanya, lalu pakai sepatu karet boot, ada bantuan di Busel baru kita pakai baju hazmat,” cerita Amrin kepada Sultrakini.com (6/11/2020).

Petugas kesehatan di RSUD Busel. (Foto: Dok pribadi)

Permasalahan barupun datang, pakaian hazmat sangat menyiksa perawat selama bertugas. Penggunaan APD lengkap diakui Amrin membuat keadaan fisiknya menurun, mual, pernapasan terganggu, hingga sakit kepala. Bahkan ia beberapa kali muntah ketika harus merujuk pasien ke rumah sakit di Kota Baubau. Kondisi itu dirasakannya sebab APD harus tetap digenakannya selama dalam ambulans yang pengap dan panas.

“Susahnya itu (memakai APD lengkap selama bertugas). Panas, bergerak tidak bebas, kalau kita pakai kacamata itu susah melihat,” tambahnya.

Tidak jarang, kata Amrin, saat melayani pasien terpaksa dia harus membuka kacamata APD dan hanya menutupi menggunakan face shield sebab kacamata yang dipakai berembun sehingga mengurangi penglihatannya ketika merawat pasien. Sementara pemasangan infus membutuhkan konsentrasi dan penglihatan yang jelas. Hal ini akan berbahaya pasien jika pemasangannya tidak tepat dilakukan.

Menghadapi pasien di tengah pandemi

Sebelum pandemi, Amrin berangkat kerja hanya mengenakan pakaian dinas, namun sekarang ditetapkan mulai dari berangkat meninggalkan rumah harus menerapkan protokol kesehatan 3 M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun. Ketika tiba di rumah sakit juga harus cek APD level satu, level dua, sampai level tiga.

Amrin mengaku tidak mudah menghadapi pasien di masa pandemi, terutama pada pasien yang tidak paham atau bahkan cuek dengan protokol kesehatan. Tidak sedikit didapatinya pasien merasa tidak nyaman dilayani oleh petugas rumah sakit yang menggunakan APD lengkap.

“Kadang itu mereka bilang, ‘hi kalian ini pakai juga begituan (APD), kayak kita corona saja,” ucapnya menirukan perkataan pasien.

Belum lagi adanya pasien marah-marah saat menunggu tenaga medis menggunakan APD yang tentu saja membutuhkan waktu, apalagi jika pasien kecelakaan yang tiba-tiba datang pada jam pergantian tim atau jam istirahat, perawat harus melengkapi kembali APD-nya sebelum bertemu pasien.

“Sudah ada pasien teriak-teriak marah memanggil dari ruang UGD, sementara kita lagi pasang APD,” tambahnya.

Di satu sisi, kebiasaan keluarga pasien saat menjenguk secara kelompok juga tidak jarang ditemukan. Amrin harus dengan sabar menegur keluarga pasien dan memberikan pemahaman agar jumlah penjenguk dibatasi. Hal tersebut dilakukan berulang setiap penjenguk yang berbeda bertandang ke rumah sakit.

Meski demikian, kebiasaan baru tersebut tidak serta merta menyurutkan semangatnya menjadi perawat. Malahan dia semakin peduli dengan kesehatan termasuk kesehatan pasien di rumah sakit.

Dukungan orang tua dan keluarga

Bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit membuat Amrin bertemu dengan banyak orang. Begitu juga pasien yang datang tidak menutup kemungkinan terpapar virus. Memakai APD lengkap saat pelayanan tidak menjamin akan terbebas dari Covid-19.
Setiap sebelum pulang dan bertemu keluarga di rumah, Amrin sangat waspada. Mandi dan membersihkan semua pakaian yang dikenakan selama bertugas sebelum meninggalkan rumah sakit mulai menjadi kebiasaannya. Bahkan sampai kendaraannya disemprot disinfektan oleh tm satgas.

Orang tuanya juga selalu berpesan untuk berdoa, berhati-hati, meski orangtuanya tidak begitu paham dengan perlengkapan apa saja yang dikenakan anaknya ketika melayani pasien.

“Kalau ada perintah dari atasan diikuti terutama dalam penerapan protokol kesehatan, pokoknya jangan melanggar, terutama doa,” pesan orang tua Amrin kepadanya.

Amrin juga sempat beberapa kali memutuskan untuk tidak pulang ke rumah karena melakukan pelayanan pada pasien dengan gejala Covid-19. “Sempat saya tidak pulang, tanggung risiko sendiri, kalaupun harus pulang, sebelum pulang mandi, disemprot baju, motor, semua disemprot oleh pihak BPBD,” terangnya.

Yerni bersama rekan sejawatnya. (Foto: Dok pribadi)

Di ruangan lainnya RSUD Busel ada Yerni. Istri Amrin ini juga harus bolak balik Kota Baubau-Busel. Mereka belum lama ini melangsungkan pernikahan pada Oktober 2020. Namun dari segi tugas, wanita 26 tahun ini berprofesi bidan di ruang bersalin rumah sakit itu sejak 2017.

Selama pandemi, Yerni juga harus merasakan pengapnya pakaian hazmat. Selama observasi-tidak ada rentang waktu berapa jam tepatnya dia berjaga mendampingi pasien, bisa lebih cepat, bisa juga lebih dari 8 jam berjaga. Dan tentunya APD wajib dikenakan.

Mendampingi pasien bersalin berjam-jam adalah hal biasa dilakukan Yerni, namun berbeda saat pandemi. Pakaian APD yang membuat tidak nyaman membuatnya seolah merasa setengah-setengah dalam melayani pasien.

“Cuman yang berat (tantangannya) itu pakaian, apalagi waktu masih pakai jas hujan itu belum kita lihat dirinya pasien kita lihat diri sendiri saja sudah susah karena keringat, panas, pengap, buang air kecil juga susah, pokoknya tidak nyaman,” ceritanya.

Ia juga merasakan kesulitan melihat sebab kacamata yang dipakainya berembun. Sementara menurutnya menolong persalinan itu harus betul-betul melihat pasien, namun dengan keadaan tersebut kadang dirinya menyokong pasien sebisanya.

“Kadang kita ambil risiko mi buka penutup karena kalau berembun tidak bisa melihat. Jadi tanggung risiko saja, kalau pasiennya kena Covid-19, kita juga berarti harus rapid test dan harus di-Swab. Kalau ada pasien reaktif, petugas yang melayani juga harus test rapid, kalau ada pasien atau petugas yang hasil Swab-nya positif, berarti satu rumah sakit harus di-Swab,” jelasnya.

Namun, ia mengaku selama bertugas-pasien yang dilayani di rumah sakit tempat dia bekerja tidak terkonfirmasi positif. Hal ini karena pasien yang datang ke rumah sakit sebelumnya melalui pemeriksaan di puskesmas melalui rapid test.

Data gugus tugas Covid-19 Provinsi Sulawesi Tenggara hingga 5 Movember 2020, Kabupaten Busel berada di zona kuning dengan catatan kasus terkonfirmasi positif covid berjumlah 28 orang, tiga orang di antaranya masih diisolasi; serta nol kasus untuk kontak erat, suspek, dan probable. (A)

Laporan: Aisyah Welina
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan