Oleh: Laode Harjudin (Dosen Ilmu Politik UHO Kendari dan Sekretaris Asosiasi Ilmiu Politik Indonesia (AIPI) Sultra)
GENDERANG politik pilkada serentak 2024 makin kuat bergema seiring pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tercatat empat pasangan calon, yakni Lukman Abu Nawas-Laode Ida, Tina Nur Alam dan Iksan Taufik Ridwa, Ruksamin-Sjafei Kahar, dan Andi Sumangerukka-Hugua. Mereka siap bertarung untuk memperebutkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra periode 2024-2029. Jika menilik kekuatan figur dan latar belakang karir politik keempat pasangan calon tersebut dapat dikatakan hampir merata. Sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman sebagai bupati dan anggota DPR RI. Mungkin yang sedikit berbeda pada figur Lukman Abu Nawas dan Laode Ida dengan pengalaman keduanya, masing-masing sebagai wakil gubernur dan pimpinan lembaga tinggi negara (DPD RI).
Tapi, agaknya kekuatan figur dan pengalaman politik belum cukup kuat menjadi faktor penentu kemenangan dalam Pilgug nanti. Belajar dari pengalaman pemilu legislatif yang lalu terbukti beberapa dari kandidat pilgub kali ini gagal mendulang suara untuk kursi parlemen. Ironisnya, justru mereka kalah bersaing dengan politisi-politisi pendatang baru, yang sama sekali belum memiliki pengalaman politik. Realitas politik tersebut menunjukkan bahwa kekuatan figur dan pengalaman politik bukan faktor utama dalam pertarungan politik.
Lalu, faktor apa saja yang dapat menentukan keterpilihan dalam pilgub nanti? Belajar dari beberapa pengalaman perhelatan politik sebelumnya dan realitas politik yang berkembang saat ini, paling tidak, ada dua faktor utama yang bisa menjadi penentu kemenangan dalam pilgub Sultra 2024. Faktor pertama terletak pada komposisi etnis yang ada di Sultra saat ini. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, persentase komposisi etnis asli Sultra (Muna, Tolaki, Buton, Moronene) total berjumlah 62,90 persen dari keseluruhan etnis di Sultra. Selain itu terdapat Etnis Bugis/Makasar berjumlah 24,94 persen. Selebihnya ada etnis lain seperti Jawa, Sunda, Bali, Sasak, NTT, Sumatera, Maluku dan lain-lain yang secara keseluruhan berjumlah 12,15 persen. Sementara itu, melihat latar belakang etnis figur-figur calon gubernur dan wakil gubernur terdiri dari tiga pasangan calon gubernur/ wakil gubernur berasal dari etnis asli Sultra (Lukman Abu Nawas, Tina Nur Alam, Ruksamin) yang didampingi calon wakil gubernur masing-masing dari Muna dan Buton. Di pihak lain ada satu calon gubernur memiliki latar belakang etnis bugis (Andi Sumangerukka) dengan calon wakil gubernur dari Wakatobi (Hugua).
Jika pada pilgub November nanti diasumsikan suara etnis asli Sultra terbagi secara merata kepada tiga pasangan yang berlatar belakang etnis asli Sultra (Lukman Abu Nawas-Laode Ida, Tina Nur Alam-Ikhsan Ridwan, dan Ruksamin-Sjafei Kahar,) maka masing-masing akan memperoleh 20,96 persen suara. Sebaliknya jika pemilih etnis Bugis/Makasar solid mendukung calon dari etnis yang sama maka Andi Sumangerukka akan unggul dengan memperoleh suara sebanyak 24,94 persen. Skenario ini masih bisa berubah dengan melihat arah dukungan etnis lain yang jumlahnya cukup signifikan sebanyak 12,15 persen. Kalkulasi politik berdasar etnis ini sangat mungkin terjadi mengingat sebagian besar pemilih masih dapat dikategorikan sebagai pemilih tradisional. Preferensi politik pemilih tradisional mendasarkan pilihannya pada ikatan emosional seperti etnis dan kekeluargaan.
Faktor penting lain yang dapat menentukan keterpilihan dalam pilgub adalah kekuatan modal. Faktor ini sudah sangat familiar di tengah masyarakat Indonesia pada setiap event-event politik seperti pemilihan kepala desa (pilkades), pemilu, dan pilkada. Sudah bukan rahasia lagi jika dalam setiap momen politik seperti itu para calaon harus mengeluarkan banyak uang untuk mempengaruhi masa pemilih yang sering disebut dengan istilah “serangan fajar.” Biasanya dilakukan saat menjelang pemungutan suara, dengan memberikan uang, atau materim lainnya untuk memperoleh suara para pemilih. Indikasi pengaruh kekuatan modal sudah tampak sejak pasangan calon berupaya mendapatkan rekomendasi sebagai peserta pilkada dari partai politik. Para kontestan harus mampu membayar “tarif” partai politik untuk mendapatkan rekomendasi sebagai syarat calon kepala daerah. Partai politik membanderol kursi partainya hingga mencapai puluhan milyar rupiah. Tentu saja, hanya mereka yang memiliki kekuatan modal besar yang sanggup membayar tarif tersebut untuk memenuhi syarat dukungan partai politik. Sementara orang yang tidak memiliki modal akan terpinggirkan dari pentas politik.
Tradisi “serangan fajar” besar kemungkinan masih terus berlanjut pada momentum pemungutas suara pilgub. Bahkan mungkin akan mengalami ekskalasi yang lebih luas tergantung tingginya intensitas persaingan dan besarnya ambisi calon untuk memperoleh kekuasaan. Dengan empat pasangan calon yang bertarung diaykini akan semakin memnbuat persaingan semakin sengit untuk memperebutkan suara para pemilih. Dalam kondisi seperti ini, para kandidat akan menggunakan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan termasuk cara yang tidak pantas seperti money politic ataupun cara lain di luar batas nalar politik.
Jika kalkulasi politik yang dijelaskan itu terjadi dalam pilgub maka kekuasaan hanya akan menjadi mainan para pemilik modal. Kondisi ini akan semakin menyuburkan kekuasaan oligarki dalam politik. Berjalin berkelindan dengan faktor etnis, penetrasi kekuatan modal dalam politik menunjukkan bahwa demokrasi sudah terpapar dengan sangat parah oleh faktor-faktor yang irasional. Sesungguhnya, faktor-faktor tersebut mengingkari prinsip-prinsip demokrasi yang sudah beberapa abad lamanya memperjuangkan rasionalitas dalam berpolitik. Demokrasi menghendaki pertarungan gagasan dan kapasitas intelektual dalam kompetisi politik demi mendapatkan figure pemimpin politik terbaik dan berkualitas.
Inilah ironi demokrasi di negeri feudal. Dan ini pula ironi kebebasan dalam demokrasi. Bila kebebasan berjalan tanpa kendali maka akan melahirkan hukum rimba dalam politik. Siapa yang kuat menjadi pemenang. Siapa yang bermodal yang menjadi penguasa. Yang lemah dan yang papah akan tertindas atas nama kebebasan. Tapi, tetaplah berharap pada kebaikan demokrasi. Jangan berhenti berharap. Wallahualam.