SULTRAKINI.COM: MUNA – Sejumlah warga penggarap lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kecamatan Napabalano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara akhirnya mau angkat bicara terkait konflik lahan yang terjadi antara masyarakat setempat terhadap kehadiran perusahaan PT Sele Raya Agri yang beroperasi sebagai Perusahan Minyak dan Gas di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan salah satu tani penggarap lahan HTI bahwa sebagian warga menyayangkan sikap dari ratusan masyarakat yang kontra dengan masuknya PT Sele Raya Agri sebagai perusahaan investor Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (PHHK) di HTI Napabalano. Sebab justru dengan kehadiran perusahan tersebut dapat memberikan solusi kepastian hukum perihal lahan HTI yang sudah digarap masyarakat sekira 15 tahun lalu.
Kemudian PT Sele Raya Agri yang telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Menhut RI) selama 60 tahun tersebut memberdayakan masyarakat dapatkan keuntungan dari skema bagi hasil yang tetap mengacu pada pedoman aspek pelestarian HTI.
“Motivasi kami bermitra dengan perusahan ini (PT Sele Raya Agri), ingin mendapat kepastian hukum, karena selama ini kami menggarap lahan HTI tidak nyaman, apakah sudah jadi milik kami atau masih milik pemerintah. Jadi kami benar serius mendukung hadirnya perusahaan, agar harapan kami dapatkan kepastian hukum itu bisa jelas,” kata Bardal Aditya kepada SultraKini.Com, Senin (12/2/2018).
Nantinya jika status lahan telah legal, lanjutnya, diharapkan mampu menjadi jembatan bagi masyarakat, dapat memberikan kontribusi nyata, melindungi guna mencapai kesejahteraan yang berkeadilan. Selain itu juga, masyarakat akan diberikan semacam edukasi, pembinaan taat hukum, dan pengetahuan tambahan bagaimana meningkatkan kesejahteraan dalam PHHK HTI itu sendiri.
Sementara itu, berdasarkan hasil invetarisasi luas area IUPHHK HTI yang dikelola PT Sele Raya Agri mencapai 1042 hektar.
Kemudian masyarakat yang telah bersedia gabung saat ini tercacat sebanyak 72 petani penggarap lahan dengan luas area kelola perorang sekitar 112 hektar.
“Sebenarnya perusahan juga tidak mau bermitra kalau masyarakat itu tidak pro aktif. Tapi masih ada sekitar 80-90 petani berpotensi gabung, hanya saja sedikit terkendala administrasi yang belum lengkap. Ada juga masyarakat berharap kalau konflik berakhir langsung ikut bergabung,” terang Bardal.
Menurutnya, sudah rasional dalam penerapan skema bagi hasil pihak perusahan mendapat persen lebih besar. Sedangkan 12,5 persen untuk masyarakat dan 2,5 persen BUMDes untuk sekali produksi. Sebab PHHK HTI bukan jenis tanaman langsung produksi, melainkan sistem tanaman dengan jangka panjang yang membutuhkan waktu sekitar 8-10 tahun untuk sekali produksi.
“Dengan waktu selama itu segala resiko ditanggung perusahaan dengan biaya sangat besar. Misalnya terjadi bencana alam, kebakaran, hama yang menyebabkan kualitas harga jual turun, biaya produksi dan lainnya. Sebenarnya yang kontra itu tidak setuju dengan angka 12,5 persen tapi kita yang pro setuju,” jelasnya.
Ditambahkannya, tidak hanya dari skema bagi hasil saja masyarakat bisa mendapat keuntungan .Namun dari upah tenaga kerja yang dibayarkan pihak perusahaan mulai dari proses pembukaan lahan, penanaman, pemupukkan sampai dengan proses perawatan. Selain itu, masyarakat juga bisa bercocok tanam dengan tanaman jangka pendek (tumpang sari) di sela jarak tanam Jati 5X4 meter seperti jagung, ubi dan lainnya sebagai penghasilan sampingan sambil menunggu jangka waktu produksi sekitar 8-10 tahun tersebut.
Olehnya itu, dia berpesan kepada masyarakat Napabalano untuk satukan pemikiran melihat fenomena dengan hadirnya PT Sele Raya Agri yang bisa memberikan perubuhan signifikan terhadap pola kerja bertani secara profesional sehingga bisa membantu pemerintah setempat dalam percepatan pembangunan daerah.
“Khusus teman-teman yang kontra mari edukasikan masyarakat dalam aspek kepastian hukum karena kita tahu lahan yang dikelola hari ini ilegal. Berikan kepastian hukum agar kita bisa berladang, bertani secara nyaman tanpa ada gangguan, berdaya dan mampu menghasilkan produk pertanian dan kehutanan yang berkualitas,” ungkapnya.
Untuk diketahui, 29 Januari 2018 lalu, ratusan masyarakat Napabhalano melakukan aksi demonstrasi di kantor Bupati Muna, terkait penyelesaian konflik lahan yang melibatkan PT Sele Raya Agri. Sebab masyarakat yang menolak perusahan tersebut yang ingin melakukan penanaman bibit pohon jati dengan segala bentuk tawaran kerja sama yang dianggap merugikan kesejahteraan rakyat.
Laporan: Arto Rasyid