Konservasi Anoa di Bumi Mekongga Sebagai Fauna Endemik Sulawesi

  • Bagikan

SULTRAKINI.COM:- Bumi Mekongga merupakan julukan bagi provinsi Sulawesi Tenggara. Provinsi ini terletak di Pulau Sulawesi yang merupakan bagian dari kawasan Wallacea, sebuah kawasan yang dikenal sebagai  wilayah istimewa dengan keunikan tersendiri karena banyaknya flora dan fauna endemik yang dapat hidup di dalamnya serta merupakan kawasan peralihan antara benua Asia dan Australia.

Salah satu fauna endemik yang hidup di pulau Sulawesi adalah Anoa. Anoa berasal dari bahasa Sulawesi yang berarti “kerbau” dan  merupakan jenis kerbau liar terkecil yang terdistribusi hanya di Pulau Sulawesi dan Buton. Anoa (Bubalus spp) adalah salah satu mamalia yang merupakan bagian dari keragaman hayati ciri khas Pulau Sulawesi serta menjadi satwa terbesar diantara populasi satwa di daratan Sulawesi. Sayangnya, selain berstatus endemik, satwa ini juga termasuk ke dalam daftar spesies prioritas konservasi di Indonesia yang mana keberadaannya ada diambang kepunahan karena jumlah populasinya yang semakin menurun di habitat alaminya.

Biologi dan Ekologi Anoa

Sebagai satwa herbivora, Anoa memperoleh kecukupan energi dan nutrien dari hutan maupun pemukiman, dengan cara seleksi melalui pola konsumsi yang mendahulukan pemenuhan kebutuhan energi yang dimulai dari buah, pucuk atau daun muda dan terakhir rumput. Mereka hidup dan berkembangbiak di alam liar yakni di kawasan hutan yang belum sama sekali dijamah oleh manusia. Dengan usia harapan hidup 20-30 tahun.

Di Indonesia, terdapat dua spesies anoa yang dikenal hingga saat ini, yakni anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis Smith) dan anoa dataran tinggi/pegunungan (Bubalus quarlessi Ouwens). Anoa dataran rendah relatif lebih besar dibandingkan anoa pegunungan. Anoa dataran rendah memiliki kaki depan putih, ekor panjang, dan rambut jarang pada saat dewasa. Tanduk berbentuk triangular, pipih dan berkerut dengan panjang 1,83-3,73 cm. Sedangkan anoa pegunungan memiliki rambut cokelat kehitaman, tebal dan agak keriting. Tanduk berbentuk bulat tanpa ada jalur-jalur cincin pada pangkal tanduk dengan panjang berkisar 14,6 cm-19,9 cm.

Jika dilihat dari jenis kelaminnya, Anoa jantan dan betina sama-sama memiliki tanduk. Warna tubuh jantan lebih gelap. Anoa memiliki reproduksi yang sangat lambat. Satu anakan dapat diperoleh melalui masa kebuntingan selama 275-315 hari.

Persebaran Anoa

Anoa dapat ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pegunungan. Habitat anoa pada umumnya berada pada hutan yang belum terjamah (virgin forest) dengan kisaran suhu udara harian 22-27 . Anoa menyukai hutan di sepanjang aliran sungai dan hutan bambu serta menempati daerah dengan dengan ketinggian dan kelerengan yang bervariasi.

Persebaran populasi Anoa, menurut Gunawan 1996 di pulau Sulawesi meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Sehingga dapat dikatakan bahwa Anoa hidup hampir di seluruh daratan Sulawesi.

Anoa Sebagai Satwa Terancam

Anoa adalah satwa yang dilindungi undang-undang Indonesia. Di seluruh Sulawesi, jumlah populasi Anoa saat ini diperkirakan kurang dari 2.500 individu dengan laju penurunan populasinya di alam selama kurang lebih 14-18 tahun terakhir ini sekitar 20%. Pada tahun 2002 populasinya diperkirakan berjumlah 3000-5000 ekor dan dari waktu ke waktu cenderung terus mengalami penurunan.

Sejak tahun 1986 sampai saat ini, oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), anoa dikategorikan sebagai satwa yang terancam punah (endangered species). Sedangkan, oleh Convention of International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dimasukkan ke dalam Appendix I yang artinya bebas dari segala bentuk perdagangan.

Faktor utama penyebab penurunan populasi Anoa adalah karena terjadi kerusakan terhadap habitatnya yang disebabkan oleh kebutuhan manusia di dalam pemanfaatan hutan yang semakin meningkat, penangkapan dan perburuan secara liar hampir tidak pernah berkurang sehingga satwa ini semakin sulit untuk dijumpai di habitat aslinya. Selain itu, berkurangnya populasi Anoa juga diduga karena tingginya predator, kejadian penyakit, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, perindustrian dan pemukiman serta penebangan dan penambangan liar sehingga habitatnya berkurang dan terjadi fragmentasi.

Salah satu contoh praktis yang menyebabkan berkurangnya populasi satwa endemik tersebut adalah pemanfaatannya sebagai bahan makanan terutama pada Anoa Pegunungan. Anoa gunung merupakan ruminansia liar yang mirip dengan kerbau, tetapi ukuran tubuh lebih kecil menyerupai kambing, sehingga mudah dikendalikan oleh masyarakat untuk dibudidayakan. Jika anoa dibudidayakan akan memberikan kontribusi sebagai sumber daging, namun di sisi lain populasinya mengalami penurunan karena siklus reproduksinya yang sangat lambat.

Regulasi yang Mendukung Konservasi Anoa

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna menyelamatkan Anoa dari ancaman kepunahan. Sejak tahun 1936 telah terbit peraturan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di dalamnya, anoa dinyatakan sebagai satwa langka dan wajib dilindungi karena sebarannya sangat terbatas.

Selain itu, ditahun-tahun sebelumnya telah ditetapkan regulasi yang menjamin keberadaan Anoa sebagai satwa yang perlu dilindungi adalah surat Keputusan Menteri Pertanian RI No: 421/KPTS/ UM/8/1970 dan surat Keputusan Menteri Pertanian No: 90/KPTS/2/1972. Perlindungan dan pelestarian terhadap anoa menunjukkan perkembangan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 54 Tahun 2013 yang mengatur tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa Tahun 2013-2022 yang berisi upaya pelestarian populasi anoa baik secara in situ maupun ex situ di tingkat nasional.  Upaya pelestarian terhadap satwa ini menjadi sangat penting terutama untuk menjaga keseimbangan ekosistem di alam seperti yang tercantum dalam Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Upaya Penyelamatan Anoa dari Kepunahan

Penangkaran menjadi kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar serta  tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaanya di alam dapat dipertahankan. Penangkaran Anoa telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, seperti yang dilakukan di beberapa taman nasional. Di Sulawesi Utara yakni di Taman Nasional Dumoga Bone, Minahasa, Gorontalo, Boolang  Mangondow; di Sulawesi Tengah tersebar di daerah Donggala, Toli-toli, Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Lore Kalamanta dan Morowali; di Sulawesi Selatan terdapat di Luwu, Mamuju dan Enrekang; sementara di Sulawesi Tenggara dapat dijumpai di wilayah Suaka Marga Satwa Tangjung Amolengo, di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dan juga terdapat di Kabupaten Kolaka salah satunya di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga.

Akan tetapi, masih minimnya informasi mengenai populasi  dan pola reproduksi Anoa menjadi salah satu faktor penghambat upaya pelestariannya. Upaya pelestarian anoa saat ini juga terkendala minimnya data tentang struktur dan komposisi vegetasi habitat anoa. Selain itu, upaya pengembangbiakan di penangkaran tidak berjalan semestinya karena sifat soliter, liar, agresif dan perilakunya yang sulit diramalkan serta cenderung monogami.

Kesimpulan

Anoa merupakan satwa khas yang memiliki daya tarik tersendiri bagi pulau Sulawesi. Fauna peralihan yang menjadi ikon Sulawesi Tenggara sebagai “Bumi Anoa” tetapi juga yang keberadaan kian terancam yang melalui berbagai upaya dalam bentuk kebijakan dan konservasi oleh pemerintah, akademisi maupun aktivis lingkungan diharapkan dapat mempertahankan kelestarian Anoa di bumi Mekongga.

Untuk mendukung usaha konservasi Anoa, disarankan perlunya dilakukan penyesuaian terhadap jenis-jenis pakan yang tersedia di sekitar kandang penangkaran. Pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan satwa baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya akan mempengaruhi pertumbuhan maupun semua proses kehidupan satwa. Selain itu, dalam rangka meningkatkan populasi Anoa yang siklus reproduksinya tergolong lambat maka perlu dilakukan manajemen rekayasa reproduksi terutama pada siklus estrus, yang mana siklus ini sangat berlangsung sangat lama pada Anoa. Dengan melakukan rekayasa, betina akan segera lebih siap untuk kawin dengan hewan jantan.

Beriringan dengan segala upaya yang dilakukan, campur tangan masyarakat juga diharapkan mampu mendukung suksesnya penyelamatan Anoa. Bersikap lebih bijak dalam memanfaatkan alam berserta isinya sehingga dikemudian hari setiap tindakan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik.

 

Oleh: Ester Nurhana Kusumawati

Fakultas Bioteknologi UKDW Yogyakarta

E-mail              : [email protected]

No. HP            : 0822 9312 8812

Alamat            : Jl. Durian Lorong PPN Sakuli Kec. Latambaga Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara

  • Bagikan