Konsolidasi Partai dan Viabilitas Kandidat Menuju Pilkada Sultra 2024

  • Bagikan
La Husen Zuada
La Husen Zuada

Oleh: La Husen Zuada (Dosen FISIP Universitas Tadulako)

PILKADA 2024 tersisa tiga tahun lagi, namun mesin politik mulai menghangat. Para politisi yang menyatakan diri akan tampil mulai bekerja, membuat baliho, membangun tim pemenangan, hingga menurunkan tim survei. Tujuannya adalah bagaimana bisa meningkatkan elektabilitas mereka, dan memenangkan pertarungan pada Pilkada nanti. Selain elektabilitas, aspek yang tidak kalah penting bagi para politisi adalah viabilitas atau peluang mereka untuk dicalonkan. Melalui sistem pencalonan pilkada saat ini yang memberatkan calon independen, dan semakin dominannya partai politik yang berwatak oligarkis, seringkali elektabilitas dikesampingkan jika tidak memberikan kontribusi bagi partai politik, elit partai dan kepentingan para oligark yang memodali partai politik saat ini. Sehingga tentu, kandidat yang memiliki viabilitas lebih berpeluang memenangkan pemilu (Abramowitz 1989).

Dalam kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini seringkali politisi yang memiliki elektabilitas tinggi gagal tampil sebagai kandidat karena tidak memiliki viabilitas. Fenomena ini pernah menimpa Dr. Laode Ida pada Pilkada Sulawesi Tenggara tahun 2007, dan pasangan Anwar Hafid-Sigit Purnomo Said (Pasha) pada Pilkada Sulawesi Tengah tahun 2020. Para politisi itu dikenal memiliki tingkat elektabilitas tinggi, namun langkah mereka terhenti karena keengganan partai politik mencalonkan mereka atau tidak tercukupinya kursi dukungan partai politik. Fenomena ini bukan tidak mungkin terjadi kembali pada Pilkada 2024.

Membaca viabilitas kandidat Pilkada 2024 di Sulawesi Tenggara masih sangat mungkin mengalami perubahan. Ini karena sistem pencalonan dalam Pilkada berbeda dengan sistem pencalonan pada pemilihan presiden. Dalam pencalonan presiden, partai politik yang berhak mencalonkan kandidat presiden merujuk pada perolehan kursi hasil pemilu 2019, dimana hanya 9 partai politik yang berhak mencalonkan yaitu PDI.P, Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PKB, PAN, PPP dan PKS. Lain pula dalam sistem pencalonan Pilkada yang merujuk pada perolehan kursi hasil pemilu legislatif 2024. Berangkat dari itu, maka perolehan kursi legislatif ditingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota hasil pemilu 2019 tidak memiliki arti apa-apa, karena yang menentukan nanti adalah partai yang memiliki kursi pada pemilu 2024.

Regulasi pencalonan dan pelaksanaan Pilkada 2024 menuntut kerja keras partai politik dan kandidat secara bersama-sama minimal mulai saat ini partai politik ditingkat lokal harus memperkuat kaderisasi internalnya dan mulai menominasikan kandidat yang bisa memberikan coattail effect bagi partai politik pada pemilu 2024. Sistem pencalonan Pilkada ini tidak menguntungkan bagi figure yang memiliki elektabilitas tinggi, namun partainya tidak memiliki kursi di parlemenpada 2024. Terlebih lagi, jadwal Pilkada 2024  tidak menguntungkan bagi kepala daerah yang jabatannya akan berakhir 2022 dan 2023, maka bagi kepala daerah atau politisi yang memiliki elektabilitas tinggi penting bekerja terlebih dahulu membesarkan partai politik dan menghindari ‘one man show’ guna membuka peluang dan memudahkan proses pencalonan. Pekerjaan ini tentu tidak mudah.

Sebagai antisipasi dari regulasi pencalonan Pilkada, partai Nasdem di Sulawesi Tenggara tampak mulai menyusun strategi dengan merangkul tokoh-tokoh lokal yang punya popularitas dan elektabilitas serta memiliki rekam jejak keluarga politik suskes pada masa lalu, semisal bergabungnya Tina Nur Alam dan anaknya Giona Nur Alam, Rajiun Tumada dan Siska Karina Imran. Tina Nur Alam dan Rajiun Tumada merupakan representasi Nur Alam, sedangkan Siska merupakan representasi dua figur keluarga politik, Imran dan Asrun. Nur Alam, Imran dan Asrun merupakan politisi yang pernah berjaya di masa lalu, yang sampai saat ini masih memiliki figuritas yang kuat dalam politik lokal Sulawesi Tenggara.  Bergabungnya geneologis dan loyalis Nur Alam, serta geneologis Imran dan Asrun di Partai Nasdem ini membuka peluang bagi partai Nasdem meningkatkan elektabilitas menuju pemilu legislatif 2024.

Pada sisi yang lain, konsolidasi internal partai Nasdem yang merangkul kader-kader PAN menjadi kerugian bagi PAN yang sejak 2014 menjadi juara di legislatif Sultra. Pasca Nur Alam, PAN Sultra sesungguhnya tidak kehilangan stok kepemimpinan, namun partai ini gagal melakukan konsolidasi internal yang menyebabkan sebagian kadernya memilih hengkang dan pasif membangun partai. Sampai saat ini konsolidasi internal PAN belum juga menujukan kemajuan pasca Nur Alam dan pasca Munas 2020, yaitu masih diperhadapkan pada rivalitas internal antara Abdul Rahman Shaleh (ARS), Ketua DPW PAN Sultra yang mendukung Zulkifli Hasan, dan Kerry Saiful Konggoasa, Ketua Penasehat PAN Sultra yang berdiri bersama Amien Rais yang mendukung Mulfachri Harahap. Rivalitas internal ini tentu sangat melemahkan konsolidasi partai untuk meraih kursi legislatif pada 2024. Andai PAN pada pemilu legislatif 2024 nanti masih sama dengan perolehan kursi hasil pemilu 2019, maka dari dua kader PAN itu siapa yang memiliki viabilitas paling tinggi antara ARS dan KSK?

Konsolidasi Nasdem juga menjadi ancaman bagi eksistensi partai politik lainya di Sultra yang belum juga memperlihatkan strategi politik untuk memenangkan pemilu legislatif 2024. Partai Golkar sebagai pemenang kedua di Sultra secara internal relatif solid, namun partai ini tampak mengalami krisis kader untuk menciptakan coattail effect dan menominasikan calon gubernur, dimana selain Ridwan Bae, sangat minim kader Golkar yang bisa bersaing menuju Pilkada 2024, ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi Golkar. Sementara itu, PDI.P sebagai pemenang ketiga di legislatif Sultra dan partai penguasa di tingkat nasional, juga diperhadapkan pada viabilitas antara Hugua, Lukman Abunawas dan L.M Rusman Emba dimana ketiganya sudah mulai menampakan diri akan tampil pada Pilkada 2024. Rivalitas internal partai juga menghantui Partai Demokrat yang melibatkan Muh. Endang selaku ketua DPD Demokrat dan Rusda Mahmud, anggota DPR RI dari Demokrat Sultra yang masih memiliki elektabilitas lebih baik dibanding Endang. Lalu siapa yang memiliki viabilitas antara Endang dan Rusda?

Partai papan tengah yaitu Gerindra juga belum memperlihatkan strategi politiknya dalam meningkatkan elektabilitas partai. Di internal Gerindra pasca wafatnya Imran, mengalami krisis kader yang bisa menjadi coattail effect bagi suara partai. Saat ini ada sosok Mayjen Purn. Andi Sumangeruka yang ramai mensosialisasikan diri untuk tampil dalam Pilkada Sultra, dan disebut-sebut akan menggunakan partai Gerindra. Untuk memudahkan langkah sang Jendral, seharusnya ia lebih berani tampil bersama Partai Gerindra dan tidak membangun strategi yang samar-samar, sehingga kekuatan figur dan kekuatan partai dapat berjalan bersamaan. Tantangan yang mungkin juga terjal menuju Pemilu legislatif 2024 akan dihadapi Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai partai kader, partai ini sangat teruji, meski tidak memiliki figur yang kuat seperti di partai lain, PKS konsisten mempertahankan perolehan kursi legislatif pada Pemilu 2019. Pada pemilu 2024 partai ini akan mengalami ujian pasca konflik internal yang berujung pada lahirnya Partai Gelora.

Partai papan bawah yaitu PKB, PPP, Hanura dan PBB sedang mengalami situasi yang tidak lebih baik. PKB Sultra meski memiliki tiga kursi di legislatif provinsi saat ini, agak sulit mempertahankanya kecuali mampu membenahi kaderisasi internal. Salah satunya dapat dilakukan dengan menarik  figur yang saat ini belum memiliki partai namun memiliki elektabilitas tinggi, sehingga sosok tersebut bisa menjadi penarik suara (coattail effect) bagi PKB. Sementara PPP, akan dihadapkan pada konflik internal pasca penujukan Marsekal Muda. Purn Bahrim sebagai Ketua DPW yang mementahkan usulan DPC yang menjagokan Rasyid Sawal. Ini tentu menjadi hambatan bagi PPP untuk meningkatkan elektabilitas pada Pemilu legislatif 2024. Hanura dan PBB yang masing-masing memiliki satu kursi legislatif saat ini, kedepan akan relatif sulit pula, jika strategi partai masih sama dengan pemilu 2019 yang lalu. Oleh karena itu, konsolidasi partai sangatlah penting guna membangun kesepahaman, kerja sama dan power sharing, karena itulah permainan politik yang sesungguhnya sebagaimana kata Laswell bahwa “politic is who gets what, when and how”.

  • Bagikan