Krisis Legitimasi Penanganan Covid-19

  • Bagikan
Dr. Laode Harjudin (Pengajar pada Jurusan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari)
Dr. Laode Harjudin (Pengajar pada Jurusan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari)

Oleh: Dr. Laode Harjudin (Pengajar pada Jurusan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari)

Sudah sekitar tiga bulanwabah virus corona (Covid-19) memapar Indonesia. Puluhan ribu orang telah terinfeksi, ribuan orang meninggal dunia, dan jutaan orang telah merasakan dampak negatif dari wabah tersebut. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya mengatasi penularan virus ini, baik pencegahan maupun penanganan korban terinfeksi namun belum mampu meredam penyebaran wabah Covid-19.  Bahkan daftar korban semakin panjang.

            Kesan yang sangat menonjol dalam upaya penanganan wabah Covid-19 adalah pemerintah kesulitan memperoleh kepatuhan masyarakat untuk mentaati kebijakannya terkait penanganan wabah tersebut. Berbagai kebijakan ataupun himbauan pemerintah terkesan diabaikan atau tidak dipatuhi masyarakat. Mulai dari himbauan menjaga jarak, tetap di rumah, sampai dengan penggunaan masker seperti tak dihiraukan. Terbukti masyarakat tetap banyak beraktifitas di luar rumah. Kerumunan warga juga masih tampak dimana-mana. Bahkan menjelang lebaran, masyarakat beraktifitas secara “normal”, berhimpitan di mal, di pasar, di stasiun dan terminal. Masyarakan pun masih tetap nekad melakukan mudik meski pemerintah mengeluarkan larangan mudik. Untuk mengamankan kebijakannya, pemerintah terpaksa mengerahkan aparat keamanan (polisi, TNI, Satpol PP, dan instansi lain)  secara besar-besaran.

            Ketidakpatuhan masyarakat terasa agak aneh karena imbauan dan  kebijakan tersebut sebenarnya demi keselamatan bersama. Lalu, mengapa masyarakat tidak patuh? Adakah yang salah dengan kebijakan pemerintah? Untuk memahami fenomena tersebut, tulisan ini mencoba menggunakan konsep legitimasi. Secara umum, konsep legitimasi menjadi sentral dalam ilmu politik yang menjelaskan bagaimana kekuasaan diwujudkan dan digunakan dalam cara yang diterima anggotanya (Gilley, 2005: 31). Legitimasi, dalam hal ini adalah dukungan dan persetujuan dari berbagai pihak sehingga kebijakan tersebut dapat dijalankan secara efektif.

Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak memiliki legitimasi sehingga kebijakannya kurang dipatuhi? Secara prosedural formal, pemerintah memiliki legitimasi yang sah melalui pemilu. Legitimasi prosedural menjadi karakter gagasan demokrasi prosedural yang berasumsi bahwa pemerintah (the governor) memperoleh kekuasaan jika yang diperintah (the governed) memberikan persetujuan mereka kepada penguasa. Dalam konteks demokrasi prosedoral, legitimasi untuk memerintah disperoleh melalui penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu). Asumsinya, banyaknya pemilih menandai luasnya persetujuan terhadap penggunaan kekuasan pemerintahan yang dikendalikannya.

Namun asumsi prosedural tampak berlebihan karena tidak selamanya ada pengaruh signifikan antara legitimasi dalam pemilu dengan legitimasi kebijakan yang dihasilkan. Tidak jarang, dukungan yang diperoleh dalam proses kebijakan tidak mencerminkan legitimasi dalam pemilu. Secara teoritis, sesungguhnya, pemilu lebih berperan memberikan kewenangan formal kepada pemerintah. Pemilu hanya melegitimasi kedudukan pemerintah sebagai penentu kebijakan, bukan substansi kebijakan yang hendak diberlakukan pemerintah. Yang diberikan melalui vote adalah kewenangan formal, dan hal itu bukanlah satu-satunya faktor yang mengendalikan keputusan dan tindakan politik.

            Kalau menggunakan asumsi prosedural, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan suara mayoritas dari rakyat dalam  pemilu,  semestinya tidak kesulitan memperoleh dukungan dalam setiap keijakannya termasuk kebijakan yang tidak populer. Mandat yang luas dari pemilih memungkinkan pemerintah untuk membuat kebijakan tanpa adanya penolakan dari masyarakat. Tapi, asumsi seperti ini justru mengundang pesimisme para ilmuwan politik seperti Kennet Janda dkk., (1994 : 274-275) yang mengatakan sulit menemukan bukti kongkret terkait dukungan publik yang luas terhadap range kebijakan-kebijakan tertentu kandidat pemenang akan tercapai (to pursue). Karena itu, dalam  teori Kontrak Sosial Rosseau, menegaskan bahwa pemilu hanya merupakan mekanisme transfer (social contract) kedaulatan dari rakyat (the ruled) kepada penguasa (the ruler) yang bisa memiliki kemungkinan sebagai pernyataan kedaulatan (sovereignty) atau hanya pernyataan keinginan tertentu dan tindakan administrasi belaka.

Menyaksikan maraknya pengabaian masyarakat dalam penanganan Covid-19, justru menimbulkan penilaian bahwa pandangan proseduralisme yang sangat mengagungkan banyaknya vote sebagai basis legitimasi politik seakan menjadi sekedar mitos demokrasi. Mitos ini dibangun di atas asumsi yang telah usang bahwa perolehan suara menandai kuatnya legitimasi pemerintah yang berkuasa.  Namun sesungguhnya sangat sering terjadi dukungan terhadap kebijakan tidak mencerminkan dukungan dalam pemilu. Fenomena ini banyak terjadi terutama di negara-negara yang basis demokrasinya masih sangat rapuh.

Realitas yang terjadi dalam penanganan Covid-19 menunjukkan bawha pemerintah sedang mengalami, apa yang disebut Habermas, krisis legitimasi. Habermas (1975) melihat munculnya  krisis legitimasi karena terjadi disintegrasi sosial dan manajemen krisis pemerintah gagal. Dalam kondisii demikian, pemerintah tidak jarang memaksakan sanksi atau menggunakan kekuatan paksa (forces) untuk menjamin keteraturan. Efektifitas pemerintahan lebih terjamin oleh persetujuan (consent), dan urgensi untuk melakukan tindakan paksa (coercion) menjadi berkurang jika pemerintah dan kebijakan-kebijakan yang dirumuskannya memiliki cukup legitimasi. Sebaliknya, jika mengalami defisit legitimasi, pememerintah mendapatkan tentangan (resistensi), dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, peraturan dan keputusannya akan meluap. Dalam keadaaan seperti ini, pemerintah biasanya justru tergoda untuk menggunakan kekuatan kasar (brute to force).

Sebagai reaksi atas katidakpatuhan masyarakat, pemerintah menggunakan aparat keamanan (TNI, Polri, maupun Satpol PP) untuk memaksa masyarakat patuh terhadap himbauan dan kebijakannya. Pergelaran aparat secara massif sebagai kekuatan paksa menjadi pemandangan menyolok selama penanganan Covid-19. Bukan saja sebagai pengaman kebijakan, TNI/Polri juga sangat mendominasi struktur organisasi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dari pusat sampai ke daerah. Namun sesungguhnya penggunaan aparat secara berlebihan menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah atau rejim dalam menjalankan fungsi-fungsinya, terkait krisis legitimasi yang dialaminya. Dalam kondisi legitimasi yang kritis, pemerintah tidak dapat secara efisien  menunjukkan fungsinya tanpa menggunakan kekuatan paksa.

Penanganan Covid-19 hanyalah satu contok kasus. Sudah cukup banyak pengerahan aparat secara berlebihan dalam setiap kebijakan pemerintah. Salah satu contoh lain yang cukup menjadi sorotan adalah tindakan represif aparat saat menghadapi aksi massa yang mengakibatkan tewasnya dua orang  mahasiswa Universitas Haluoleo Kendari tahun 2019. Pengerahan aparat sebagai kekuatam paksa dalam setiap kebijakan pemerintah sesungguhnya menegaskan kegagalan kewenangan terebut.  Hannah Arend (1983) menyatakan penegasan itu bahwa “yet authority th use external mans of coecion, where forced is used, authority itself is failed.”

Dominasi penggunan kekuatan paksa dalam setiap kebijakan bukanlah karakter pemerintah yang memiliki legitimasi kuat. Dalam konteks legitimasi, hubungan antara pemerintah (the governor) dan yang diperintah (the governed) terbangun atas dasar persetujuan (consent) reflektif, bukan paksaan. Menurut konsep legitimasi Marc Coicaud (2004) menyetujui (to consent) berarti menerima situasi yang melibatkan ukuran-ukuran  penerimaan atau penolakan yang dimanifestasikan dalam kewajiban untuk patuh (obey). Singkatnya,  hubungan legitimasi bersifat perintah dan kepatuahan (command-obedience).

Relasi kekuasaan yang dibangun dengan paksaan mengarah pada bentuk dominasi dan penaklukan (domantion-submission). Relasi kekuasaan seperti ini lebih menampakkan karakter pemerintahan otoriter.  Dalam konteks ini kewenangan (authority) berubah menjadi kesewewnang-wenangan (authoritarian) bila menggunakan cara-cara paksaan. Sebagian ilmuwan politik, terutama dari Chicago School (aliran Chicago) seperti Harrold Laswell, Abraham Kaplan dan Charles E. Merriam tidak menafikan penggunaan paksaan dalam penyelenggaraan kekuasaan (exercise of power) tapi dalam takaran proporsional. Namun justru sisi paksaan inilah yang menjadi sasaran kritik Habermas. Bagi Habermas, legitimasi politik adalah suatu bentuk jastifikasi moral yang diterjemahkan Thomas McCarthy (1984) sebagai moralitas yang mengambil bentuk suatu etika komunikasi dimana semua keputusan signifikan secara politik terikat dengan formasi konsensus (consensus) rasional dalam diskursus  yang tidak terbatas.

Ekses tragis politik pencitraan

Pemikiran kritis Habermas berangkat dari keresahan atas kondisi masyarakat pada masa yang disebut era kapitalisme lanjut (the late capitalism). Di era ini muncul suatu paradigma kehidupan baru yang dikenal dengan postmodernisme. Terminologi postmodernisme awalnya merupakan sebuah gerakan seni kemudian mengalami perluasaan makna yang merefleksikan gaya hidup, gerakan perubahan, dan menjadi sebutan kurun waktu kekinian. Secara spesifik, postmodernisme merupakan tata perubahan baru yang bergaung dalam tulisan Jean Baudrillard (1983) dan Jean-Fracois Lyotard (1984) yang mengandaikan suatu gerakan menuju era pasca-industri dengan teknologi dan informasi sebagai episentrumnya. Baudrillard menegaskan bahwa peran teknologi dan informasi menjadi pusat pergeseran dari pola produktif ke pola reproduktif, dengan peningkatan berbagai simulakrum (peniruan) dan model yang menyusun dunia sehingga perbedaan antara realitas dan pemampakan (citra) menjadi kabur.

Dalam bentuknya yang paling ekstrem, peran teknologi dan informasi telah melahirkan fenomena “imagologi” dimana pencitraan (image) telah mengalahkan realitas. Aspek penting imagologi adalah permainan citra (image game) sebagai suatu cara mereduksi realitas dengan mengangkangi keseriusan dan kehati-hatian. Permainan telah menjadi metafora  postmodernisme yang lebih mementingkan pencitraan (permukaan) dari pada kedalaman isi. Karena itu, gejala permainan citra masa kini sering dicibir hanya merayakan keisengan hidup yang mensubversi keseriusan intelektual.

 “Virus” imagologi tak bisa dielakan juga mewabah dalam wilayah politik yang mengambil bentuk politik pencitraan. Sebagai bagian dari penampakan demokrasi, politik pencitraan merupakan suatu fenomena politik masa kini yang lebih menonjolkan citra ketimbang isi (content) program politik. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulakra (simulacrum), suatu eksplorasi berlebihan terhadap tanda dan citra yang melampaui batas sehingga antara citra politik yang ditawarkan dan realitas para politisi sebenarnya sangat berbeda. Dalam balutan pencitraan, panggung politik menjadi sekedar etalase yang memajang berbagai retorika, mitos, fantasi, dan halusinasi  para politisi yang ditampilkan seolah-seolah sebagai realitas. Bahkan secara sinis, Terzic (Berlin) (2005) mengidentikkan pertarungan politik (political struggle) sebagai “parodi” untuk menggambarkan kedangkalan permainan citra dalam politik.

Fenomena imagologi seakan telah menjadi “wabah pandemik” global masa kini yang tak bisa terhindarkan ikut memapar kehidupan politik Inonesia. Fenomena ini makin terasa eksistensinya sejak Era Reformasi, terutama setelah penerapam pemilu secara langsung. Sejak saat itu, politik pencitraan tidak dapat dipisahkan dari proses politik di Indonesia, terutama pada masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, maupun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Masa kampanye dan sosialisasi menjadi ajang “menjual” citra diri dan partai demi meraih kekuasaan.

Pemerintahan yang terbentuk pasca reformasi, terutama terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden selalu diidentikan dengan politik pencitraan. Dapat dikatakan, proses politik pemilihan presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, maupun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah membuktikan bahwa pencitraan menjadi warna kental dan sangat berperan penting di panggung politik Indonesia saat ini. Hampir tidak ada lagi ruang  tersisa tanpa pencitraan dalam kehidupan politik.

Sejatinya, pencitraan merupakan hal yang wajar dalam demokrasi sejauh dalam batas-batas yang proposaional mendukung program dan kinerja para politisi. Namun kemudian menjadi tidak wajar ketika politik lebih menonjolkan aspek citra ketimbang kualitas program dan kapasitas individu. Pencitraan yan berlebihan membuat proses politik sekedar menjadi ajang tebar pesona (appearance) para politisi secara berlebihan, bahkan terkadang telah melampaui kapasitas, kemampuan, kompetensi, dan realitas. Inilah yang disebut  Baudrillard sebagai simulacra, bahwa citra disamping mencerminkan suatu realitas, namun juga bisa dalam bentuk gambaran yang salah akan realitas, juga menggambarkan tidak adanya realitas, bahkan tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun. Dengan demikian, pencitraan telah mengubah arena politik menjadi sekedar panggung yang menyajikan ekstasi hiburan dan kepuasan bahkan parodi tanpa ada celah untuk menginternalisasikan makna-makna politik yang sesungguhnya.

Pencintraan yang berlebihan hanya akan melahirkan demokrasi yang semu tanpa fondasi politik yang kuat. Sistem politik seperti ini rentan terhadap berbagai krisis yang menimpanya. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia ketika menghadapi wabah pandemik global Covid-19. Pemerintah seakan mengalami gagap politik dalam merespon wabah tersebut. Ada kesan pemerintah merespon munculnya wabah Covid-19 dengan gaya pencitraan. Ketika virus corona sudah mewabah di beberapa negara, pemerintah masih berkilah bahwa Indonesia aman dari virus mematikan itu. Bahkan, saat beberapa negara mulai berjibaku menangani virus corona, sebagian pejabat negeri ini masih sempat bermain tik-tok di istana.  Setelah WHO menetapkan wabah corona sebagai pandemik global barulah pemerintah sadar bahwa ternyata masalahnya cukup serius dan mulai mengambil langkah kebijakan. Namun, sejak awal kebijaakan pemerintah tampak tidak memiliki grand design penanganan virus corona yang jelas sehingga terjadi tumpang tindih dan terkesan tidak konsisten. Di satu sisi, memperketat masuknya warga negara asing, tapi di sisi lain membiarkan tenaga kerja asing (TKA) asal negara sumber virus corona ke dalam negeri.  Ironisnya, kedatangan TKA tersebut saat terjadi gelombang PHK tenaga kerja dalam negeri. Carut marut penanganan wabah covid-19 juga diperparah oleh adanya benturan kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengambil langkah sensdiri.          

Dalam kondisi kebijakan seperti dijelaskan di atas agak sulit mengharapkan kepatuhan masyarakat. Tidak mengherankan bila terjadi pengabaian karena esensi kebijakan membingungkan publik. Di samping itu juga karena telah terbiasa dengan gaya pencitraan sehingga masyarakat merespon kebijakan dan himbauan pemerintah dengan santai. Bahkan, tidak jarang, publik memparodikan kebijakan dengan berbagai anekdot dan meme di media sosial.

Realitas yang terjadi dalam penanganan covid-19 mengajak bangsa ini untuk mulai belajar menjalani demokrasi secara substansial, dan  perlahan-lahan mengurangi formalisme dan permainan citra belaka. Persoalan bangsa ini tidaklah cukup diselesaikan dengan hanya tebar pesona di media massa atau media sosial. Hal ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat agar memilih pemimpin lebih memperhatikan kualitas dan tidak mudah terpedaya oleh penampakan yang jauh dari realitas sesunggunhnya. ***

  • Bagikan