Kultur Hemat Energi Bagi Generasi Milenial

  • Bagikan
Albar Madeali

Oleh Albar Madeali

Indonesia telah memasuki era industry 4.0 sudah saatnya warganya melakukan inovasi energi. Inovasi meliputi perbaruan energi baru dan perbaruan energi alternatif. Usaha ini tentunya bertolak dengan kultur masyarakat secara umum. Masyarakat biasanya menggunakan bahan bakar fosil karena dianggap harganya murah dan tersedia (Bindar, 2017). Kultur tersebut segera beralih kepada kultur hemat energi baru terbarukan. Pada kajian kali ini, penulis (peneliti) akan mencoba menguraikan tentang bagaimana membangun kultur hemat energi bagi generasi millenial.

Akhir Cerita Energi Fosil di Indonesia
Energi fosil merupakan salah satu bentuk energi yang masih diminati oleh masyarakat Indonesia. Definisi energi sendiri diartikan sebagai salah satu sektor strategis dan mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.

Menurut Chontanawat et.al (2006), ada dua peranan energi dalam perekonomian. Pertama, dari sisi permintaan menyatakan bahwa energi merupakan salah satu produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen demi memaksimalkan utilitasnya. Kedua, dari sisi penawaran energi merupakan faktor kunci bagi proses produksi di samping modal, tenaga kerja, dan material lainnya. Sektor energi terutama bahan bakar minyak serta bahan bakar dari fosil lainnya secara umum ketersediaannya mulai menurun.

Cadangan BBM berbagai fosil atau minyak bumi yang tidak terbarukan sudah sangat menipis; yaitu cadangan terbukti hanya sebesar 3,7 miliar barel (2008) dengan produksi pertahun 0,36 milyar barel atau hanya cukup 11 tahun (Dewan Energi Nasional, 2010).

Hasil penelitian dari Sa’adah, et.al (2017), menyatakan bahwa pada tahun 2017 sampai 2025 penyediaan BBM tidak dapat memenuhi penyediaan BBM dalam negeri. Perkiraan pada tahun 2025 penyediaan BBM mencapai 651.092 juta barel dan konsumsi BBM mencapai 719.048 juta barel. Sehingga terdapat kekurangan kebutuhan BBM sebanyak 67.956 juta barel. Hal ini menunjukkan bahwa energy fossil telah menunjukkan kelemahannya dan tak mungkin lagi dieksploitasi kembali untuk memenuhi kebutuhan.

Selain persediaan bahan bakar fosil nasional mulai turun, juga ada dampak lain dari penggunaan bahan bakar fossil yang tidak ramah lingkungan. Seperti dalam studi kasus penelitian dari Sitorus, et.al (2014), menyatakan bahwa, “Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang cepat, 21,17% per tahun menyebabkan pertumbuhan konsumsi BBM yang cukup besar dan menimbulkan pertambahan pencemaran udara. Di perkotaan, transportasi jalan paling besar menimbulkan pencemaran 60-80% dan menyebabkan kerugian kesehatan yang cukup besar pula” (Sitorus et.al,2014). Melihat ketersediaan bahan bakar minyak yang menurun, dampak penggunaan bahan bakar fosil yang berdampak pada pencemaran lingkungan maka perlu adanya usaha untuk berpindah ke energi terbarukan.

Mobilitas Energi Fosil ke Energi Baru Terbarukan
Mobilitas dalam bahasa latin yang berarti berpindah. Mobilitas energi berarti perpindahan energi dari energi fosil ke energi alternatif. Perpindahan energi ini tak hanya dilakukan oleh sekelompok tertentu saja, tapi juga kelompok masyarakat lainnya. Hal yang paling penting adalah peran serta dukungan pemerintah setempat. Artinya perubahan dalam energi dinilai sebagai upaya structural dengan melibatkan aspek kekuasaan, adanya peningkatan sejumlah peranan yang diharapkan.

Keinginan dan kebutuhan hidup masyarakat akan sumber energi fosil yang selalu meningkat menjadi hal penting bagi masyarakat serta pemerintah dalam memenuhinya. Sayangnya, kelangkaan akan sumber energi fosil sebenarnya telah disampaikan pada seminar nasional oleh perwakilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa, peran minyak bumi dalam pemenuhan kebutuhan energy primer masih terbilang tinggi. Sementara pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) masih terlalu kecil (Pusdatin ESDM, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sudah 8 tahun yang lalu masyarakat telah diingatkan oleh pemerintah agar berganti kepada energi baru terbarukan.

Dalam proses perpindahan mindset atau cara berpikir masyarakat mengenai penggunaan energi fosil ke non fosil setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikritisi. Pertama, ketersediaan sumber energi terbarukan baik dari segi tenaga pelatih yang mensosialisasikan juga pihak kelompok yang akan diberikan sosialisasi materi pelatihan penggunaan energi baru terbarukan. Kedua, melihat perkembangan generasi yang berbeda karakteristik serta cara sosialisasinya, terutama generasi milenial.

Penelitian Terdahulu
Studi penelitian tentang perubahan pemanfaatan energi fosil menuju sumber energi alternatif menjadi tonggak awal kesadaran manusia untuk menghargai penemuan baru sekaligus menjadi aktor dalam inovasi energi. Studi penelitian dari China mengangkat isu multiple energy of non-fuel fossil to alternative energy. Pada tahun 2009, otoritas energi yang kompeten dalam bidang energi mengatur formulasi dari pengembangan energi konvensional ke modern.

Pada November 2009, sebelum terjadinya konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Pemerintah China telah melakukan uji emisi per unit PDB sebesar 40%-45%. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kontribusi pemerintah China secara nasional ingin mengurangi penggunaan karbondioksida melalui peningkatan kesadaran penggunaan energi non fosil. Antara tahun 2010 dan 2020 pemerintah China telah mengintensifkan proporsi penggunaan energi non-fosil, penggunaan energi industri dasar energi-intensif karena bahan baku minyak terus menurun.

Di sisi lain industri manufaktur pengolahan tinggi, dengan konsumsi energi yang lebih rendah akan terus meningkat. Upaya tersebut berdampak pada pertumbuhan industri tersier tumbuh cepat, penyesuaian struktural industri akan membawa efek penghematan energi yang jelas dan teknologi hemat energi sebagai sumber energi alternatif akan berkembang pesat. Berdasarkan data dari BPS [Badan Pusat Statistik].

China, Tahun 2015 menyatakan bahwa permintaan energi fosil mulai meningkat dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2020 dari 5,55% sampai dengan 7,0%. Hal ini menunjukkan bahwa di Negara China saja penggunaan fosil sudah mulai berkurang tapi di Indonesia, produk non sudah tersedia tapi masyarakat masih terus mengkonsumi energi fosil yang ketersediaannya semakin lama semakin berkurang.

Studi penelitian dari Yordania yang dilakukan oleh seorang peneliti menyatakan bahwa, peningkatan pengetahuan dan kesadaran publik berkorelasi positif dengan dukungan publik terhadap energi terbarukan (RE). Energi terbarukan tetap menjadi salah satu masalah paling kontroversial di Asia serta di provinsi Ontario, Kanada. Langkah ini sebagai usaha untuk menghindari teknologi intensif karbon sehingga dapat mengunci energi bahan bakar fosil serta secara tidak langsung dapat mengurangi konsekuensi iklim antropogenik. Hal ini juga mempengaruhi trend peningkatan matrik berkelanjutan dalam bidang energi.

Salah satu paradigm baru dalam pengembangan energi terbarukan milik Suku Aborigin yang menyediakan sejumlah manfaat, lingkungan dan sosial. Alhasil dari pengembang energi terbarukan Kanada berhasil memperoleh keuntungan sebesar $124 juta sebagai investasi.

Studi penelitian terakhir dari Volkan, S.Ediger (2019) menyatakan, bahwa di tengah-tengah masa transisi dari rezim energi yang didominasi bahan bakar fosil ke rezim rendah karbon yang lebih berkelanjutan gas alam adalah jembatan energi dalam rangka menghadapi krisis bahan bakar fosil. Selain itu, pemanfaatan energi gas dapat dijadikan sarana untuk menciptakan sistem energi dunia yang multipolar serta multienergi terbarukan.

Hemat Energi Alternatif bagi Generasi Millenial: Perspektif Sosio-Antropologis
Perubahan mindset masyarakat terhadap energi terbarukan tidaklah mudah. Salah satu usaha yang dilakukan adalah memahami karakteristik masyarakat. Masyarakat Indonesia hari ini, terdiri dari beberapa generasi antara lain; generasi Y (millennial) dan generasi X (generasi tua). Generasi millennial lekat dan berinteraksi secara terus-menerus dengan teknologi dan komunikasi modern.

Seperti yang dikemukakan oleh Adge dalam id.techinasia.com (2017) menyatakan karakteristik generasi milenial, (1) generasi milenial senang berkolaborasi artinya mereka tumbuh dalam budaya berbagi, mereka senang menjadi pencipta produk dan terlibat aktif dalam pengembangan produk maupun layanan tertentu. Bahkan pemilik perusahaan manapun sekarang ini lebih percaya dan loyal memberikan kesempatan bagi generasi muda dan milenial untuk mengembangkan potensinya di perusahaan yang Ia bidangi. (2) Generasi milenial sebagai pengguna perangkat mobile dan media sosial. Menurut Adge (2011) menyatakan bahwa millennial mengakses informasi dan melakukan pembelian onlie langsung dari smartphone masing-masing. Misalnya, saat melakukan perjalanan ke suatu tempat wisata, maka ada 64 persen millennial memesan hotel dan lokasi wisatanya dari ponsel mereka. (3) Millenial memiliki konten autentik. Artinya mereka dalam hal penerimaan informasi lebih kritis serta tidak langsung menyebarkan informasi begitu saja. Hal ini karena mereka dalam sehari rata-rata menghabiskan waktu rata-rata 25 jam per minggu berselancar di dunia maya. Mereka menjelajahi web,blog dan media sosial lainnya untuk saling berbagi informasi yang autentik hingga mengomentari semua hal yang mereka temukan di dunia maya. Menurutnya, kontek autentik akan lebih menggugah dan memotivasi mereka untuk terus menyebarkannya kembali kepada komunitas online.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sering disebut sebagai generasi X atau kelahiran 1966-1976 yang mana menurut teori generasi, bahwa masyarakat yang tergolong kelahiran tersebut dipandang sebagai generasi yang mandiri, cerdas dan kreatif. Kata X dalam novel yang berjudul “Generation X:Tales for an Accelerated Culture” (Douglas Coupland, 2010) menyatakan bahwa generasi X itu berperan dalam pembentukan cara pandang dan karakter mereka. Mereka mendapatkan pendidikan tinggi dan sanggup menyelesaikan tugas dengan baik. Sayangnya, mereka termasuk kelompok yang sulit mengakses informasi melalui smartphone sehingga dari segi pencarian informasi tertinggal oleh generasi milenial. Dari kedua generasi yang sudah dijelaskan, menunjukkan bahwa dalam mengajarkan tentang penemuan ibaru terbarukan juga lebih banyak diajarkan melalui sosial media yang lekat dengan generasi millennial. Meskipun demikian, warga dari generasi sebelumnya juga dapat mengikuti melalui kegiatan seminar atau pelatihan bekerjasama dengan kementerian tenaga kerja dan transmigrasi guna pencapaian pemanfaatan energi terbarukan secara menyeluruh. Artinya, mindset yang dibangun adalah bukan hanya produk baru yang diciptakan tapi pemahaman baru tentang enerasi masyarakat yang ditemuinya.

Kajian penelitian tentang perubahan mindset masyarakat dalam hal energi terbarukan dapat dilihat dari teori perubahan sosial dari Soelaman Sumardi (2010). Menurut Soelaman Soemardi dalam Marono (2011) menyatakan bahwa perubahan sosial meliputi perubahan kultural dan struktural. Perubahan struktural memfokuskan pada otoritas wewenang yang berkuasa dalam melanggengkan kebijakan tertentu. Sementara perubahan kultural dilihat dari kebiasaan masyarakat yang membudaya serta menjadi pedoman dalam perilaku seseorang. Senada dengan teori perubahan sosial bahwa setiap orang yang akan mengikuti perubahan dalam pemanfaatan energi terbarukan maka selain melihat kebijakan pemerintah yang berwenang juga perlu menyesuaikan pola pikir masyarakat yang sudah berkembang serta kebiasaan mereka sebagai saluran mobilitas sosial dalam hal penggunaan energi terbarukan tersebut. Misalnya, setiap orang yang ingin diajarkan tentang pemanfaatan energi terbarukan biogas bagi generasi milenial, maka perlu melalui sosial media atau presentasi tentang cara pemanfaatan biogas untuk kebutuhan listrik rumah tangga. Sementara untuk generasi tua (generasi X) dapat dilakukan diskusi publik dan serasehan serta musyawarah seperti gegar pendapat dengan tokoh masyarkat sekitar. Dengan demikian, usaha pemerintah dalam peningkatan kesadaran masyarakat akan kelebihan energi terbarukan dapat terealisasikan. Kuncinya adalah perubahan mindset tak bisa hanya diajarkan tapi juga adanya pendampingan baik melalui media maupun melalui pelatihan yang berkelanjutan. Kultur masyarakat terhadap penghematan energi terbarukan senada dengan teori ekologi budaya. Bahwa setiap penemuan energi alternatif dan terbarukan merupakan unsur teknologi yang mana menurut Steward (1955) disebut sebagai inti budaya. Artinya unsur tersebut dapat digantikan dan dapat diperbarui serta berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagaimana Steward (1955) menyatakan bahwa ekologi budaya dipahami sebagai “fitur-fitur utama yang dianalisis secara empiris untuk pemanfaatan lingkungan, dimana proses penghidupan dipengaruhi oleh cara yang ditentukan budaya masyarakat setempat”. Salah satu fitur ekologi budaya adalah inti budaya. Inti budaya (Culture Core) adalah unsur budaya yang berkaitan dengan kegiatan subsistensi. Beberapa unsur tersebut meliputi; sistem sosial (interaksi sosial), sistem ekonomi (cara produksi, pembagian kerja), sistem politik (organisasi sosial dan peran pemimpin), dan teknologi (alat pertanian dan teknologi pertanian). Berkaitan dengan teori tersebut sebagai pisau analisis bahwa masyarakat terutama generasi muda perlu menganalisis teknologi yang tepat untuk menghemat energi baru terbarukan atau energi alternatif. Misalnya, untuk energi biogas dengan cara pemanfaatan, pengelolaan, dan pengolahan kotoran ayam dan ternak lainnya untuk sumber energi listrik. Kedua, pemanfaatan serasah dari daun-daunan untuk penciptaan pupuk organik sehingga mengurangi polusi tanah yang mengganggu kesuburan tanah. Beberapa teknologi tersebut merupakan salah satu proses adaptasi ekologi budaya yang menggunakan unsur inti budaya guna menjaga keseimbangan ekosistem.

Salah satu contoh kasus adaptasi ekologi budaya dicontohkan oleh Utomo (1975) yang melihat cara transmigran spontan Jawa di Lampung dalam belajar menanam lada, dimana proses adaptasi ekologi budaya yang dilakukan dengan mencontoh orang Lampung tentang cara menanam padi darat, menanam kedelai, menanam kopi dan mengumpulkan modal untuk membeli lahan sebagai lahan untuk tanaman lada. Menurut Utomo (1975), “ada dua sumber dalam melakukan adaptasi pertanian di daerah Lampung antara lain; (1) yang berasal dari pola kebudayaan sendiri yang dibawa dan hendak dipertahankan; (2) yang berasal dari mencontoh sesuatu dari pola kebudayaan golongan lain yaitu penduduk asli bagi Transmigran- Transmigran Jawa”.

Proses adaptasi yang telah dicontohkan menunjukkan bahwa tiap kelompok masyarakat tak lepas dari inti budaya kelompok masyarakat masing-masing. Penerapan inti budaya dalam studi kasus tersebut menunjukkan rumah tangga petani melakukan penyesuaian terhadap sistem pertanian yang ada, dengan memanfaatkan organisasi sosial produksi, teknologi serta keberadaan rumahtangga petani itu sendiri di dalam kegiatan pertanian (Populasi). Senada dengan proses pemanfaatan teknologi untuk penciptaan energi baru terbarukan tersebut bahwa setiap kelompok masyarakat yang memanfaatkan budaya dari setiap generasi terutama generasi milenial tentunya tujuan pembangunan energi terbarukan untuk kesejahteraan rakyat akan terealisasikan dengan baik.

Sebagai akhir dari tulisan untuk rekomendasi kebijakan mengenai kultur penghematan dalam penggunaan energi non fosil atau energi baru terbarukan (EBT) bagi kalangan milenial, bahwa setidaknya ada beberapa point sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan: Pertama, penggunaan energi secara efektif dan efisien serta tepat guna perlu disosialisasikan kepada publik media massa terutama melalui sosial media yang lekat dengan generasi muda dan milenial. Kedua, promosi tentang penggunaan energi alternatif seperti biogas, energi solar sell, energ listrik dengan menggerakkan turbin dari sumber air terjun dan pemanfaatan tenaga angin untuk irigasi diupayakan melalui pelatihan keterampilan bekerjasama dengan kementerian tenaga kerja dan imigrasi, sehingga masyarakat menyadari dan mengerti kebaikan dari penggunaan energi non fosil dan energi alternatif lainnya. Ketiga, kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah serta stakeholder terkait dengan penemu energi baru terbarukan perlu bahu-membahu dan berkomitmen tidak hanya menciptakan suatu penemuan baru, tapi juga perlu membudayakan pemanfaatan teknologi sejak dini terutama dalam bidang energi dan sumber daya mineral bagi kepentingan publik. Dengan demikian generasi penerus bangsa tetap menjaga amanah negeri untuk membangun Negara dengan energi alternatif serta peduli terhadap lingkungan demi keseimbangan manusia dan alam.

Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Madya pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi

  • Bagikan