Langit Tak Pernah Memilih Warna, Begitu-pun Dirimu

Oleh: Zahra Chairunisa Liziqri

SULTRAKINI.COM: Kalian tahu?

Hal yang paling lucu adalah ketika seseorang menyadari bahwa dirinya bisa melakukan lebih banyak dari kemarin, tapi rasionalitasnya justru memilih menyerah, terkurung dalam jeruji besi pikirannya sendiri. Bertahan dalam renungan naif tanpa mengerti kenapa dirinya justru marah.

Manusiawi.

Busuk sekali bahwa diri sering merasa bak malaikat yang jatuh ke bumi. Harusnya sudah luka-luka, penuh lebam merah kebiruan. Tapi yang justru membiru gelap adalah isi hatinya—semakin gelap hingga ke ujung paling dalam Mariana.

Ia lahir tahun 1971, di sebuah daerah pinggiran Jakarta yang luasnya mengalahkan rumahnya—rumah panjang ke belakang, diapit dua bangunan mewah yang bahkan peta pun tak familier dengan ejaannya.

Usianya baru tiga bulan saat ibunya pergi. Pergi beneran. Bukan pergi-shopping-balik-lagi.

Sejak saat itu, ia belajar bahwa dunia ini tak selalu memberi penjelasan, apalagi permintaan maaf. Dunia memperkenalkannya pada kehilangan, bahkan sebelum ia bisa mengeja kata “ibu.”

Anak keenam dari tiga belas bersaudara. Dua ibu, satu ayah, dan satu garis nasib yang penuh sial dan liku.

Tidak ada dongeng pengantar tidur, hanya tugas yang tiba-tiba datang: menyapu halaman, mencuci baju anak-anak kakaknya yang masih bocah, menahan lapar kalau lauk hanya cukup untuk dua orang.

Rumah itu penuh suara, tapi tak selalu penuh kasih. Kadang ia hanya butiran kecil dalam rumah yang agak pengap.

Ia anak keenam. Tapi tak pernah merasa cukup keenam.

Rumah itu lebih mirip Stasiun Manggarai—ramai, tapi semua sibuk sendiri, mengejar waktu yang tak tahu mau dikemanakan.

Sekolah? Pernah. Sampai Madrasah Tsanawiyah.

Setelah itu, hidup bilang: “Udah cukup belajarnya, sekarang waktunya kerja.”

Maka ia bekerja. Tanpa tanya. Tanpa jeda.

Karena kadang, memilih pun bukan hak semua orang. Kan?

Hidupnya butuh tangan yang kuat, bukan selembar ijazah.

Ia masuk pabrik. Jadi buruh sepatu bermerek luar—harganya bahkan lebih mahal dari gaji bulanannya yang entah habis buat apa.

Di pabrik sepatu Reebok. Di Jalan Surabaya, tepatnya. Sekarang, katanya, pabrik itu sudah tutup, jadi rumah orang kaya.

Sepatu yang dulu cuma ia dengar lewat iklan Prambors Radio.

Tangannya cekatan. Pikirannya lebih cepat lagi—memikirkan segala keuangan di dunia. Memikirkan dapur. Memikirkan “besok makan apa.”

Pernah juga jaga tempat gym.

Tapi bukan buat angkat barbel, hanya jaga pintu, bersihin lantai, menyapu kesedihan agar tak terlalu terlihat.

Lucu, ya?

Menjaga tempat orang melatih otot, sementara ia melatih sabar.

Lalu Singapura. Jadi TKW.

Membawa banyak harapan, pulang dengan cerita pahit.

Katanya, kerja di luar negeri bisa bikin hidup lebih terang. Tapi ternyata hidup punya cara bercanda yang agak kejam.

Nyatanya, paspor ilegal menjebaknya dalam drama yang hanya cocok jadi sinetron tengah malam.

Setengah tahun kerja, lalu dideportasi.

Ia pulang. Utuh.

Tanpa banyak suara. Diamnya bukan karena kalah—hanya menyimpan letih di dasar dada.

Cinta menemukannya di usia akhir tiga puluhan.

Bukan seperti FTV sore. Bukan juga cinta yang bermandikan bunga.

Ia menikah dengan lelaki sederhana—buruh harian lepas. Gaji tak pasti, tapi hati cukup setia, walau cinta kadang seadanya.

Tapi katanya, cinta tak butuh banyak alasan.

Bersama mereka membangun rumah tangga dari nol—benar-benar nol. Kadang malah minus. Hahah.

Mereka tak punya banyak. Tak punya rumah mewah. Tak punya foto bulan madu.

Tapi mereka punya dua anak perempuan yang perlahan menjelma jadi alasan untuk terus hidup, terus kuat, terus bangun lebih pagi dari matahari.

Anak sulungnya kini hampir 21 tahun. Kuliah.

Ya, kuliah.

Sesuatu yang tak pernah ia cicipi, kini tumbuh di darah anaknya.

Sementara si bungsu mulai sibuk menyetrika seragam SMK-nya sendiri.

Mulai belajar jadi kuat. Mungkin seperti ibunya. Walau belum tahu seberapa kuat ibunya sebenarnya.

Ia bukan siapa-siapa. Tak viral. Tak pernah masuk TV.

Tapi hidupnya layak ditulis dalam banyak buku motivasi.

Tangannya tak pernah mulus, tapi tahu cara memegang dunianya agar tidak runtuh.

Tangan yang hafal betul rasa sabun cuci piring dan deterjen murah.

Kaki yang tahu riuhnya pasar.

Dan hatinya?

Ah, hatinya seperti karung beras—kuat menahan banyak, walau kadang sobek diam-diam.

Tak semua pahlawan pakai jubah.

Ia cuma pakai daster lusuh, kadang robek di bawah.

Ia mungkin tak paham apa itu self-love.

Tapi setiap kali membungkus bekal anaknya, menyisakan lauk untuk suaminya, menabung sedikit dari uang belanja—itu semua adalah bentuk cinta yang sederhana dan paling jujur.

Ketika orang-orang sibuk bicara soal pemberdayaan perempuan, perempuan ini tak pernah tahu istilah itu.

Ia tak tahu apa itu kesetaraan gender. Tak kenal feminisme. Tak tahu apa itu emansipasi.

Tapi setiap langkahnya adalah pemberdayaan itu sendiri.

Karena sejak dulu, ia sudah jadi bukti bahwa perempuan bisa berdiri sendiri, bahkan saat hidup terus-menerus mencoba menjatuhkannya ke titik terendah.

Seorang yang tak sempat bermimpi, tapi menjadi alasan bagi mimpi anak-anaknya tumbuh tinggi.

Langit tak pernah memilih warnanya.

Ia tak bertanya apakah pagi itu biru cerah atau kelabu sendu.

Begitu pun ibu.

Ia hanya hadir—selalu ada, selalu tangguh, meski tak selalu dipahami.

Dan dari pelukannya, anak-anak belajar satu hal penting:

Bahwa cinta bisa bertahan, bahkan dalam keadaan yang paling keras sekalipun.

Begitu pula perempuan ini.

Satu kata dalam namanya: Anisah.

Mamaku. Surgaku.

Beliau tak pernah memilih lahir dari rahim siapa, tak pernah memilih jalan mana yang dilalui, tapi ia terus berjalan, terus tumbuh, dan terus mencintai… dengan caranya yang paling hebat.

Mamaku ini bukan tokoh utama dalam drama besar. Tapi di rumah kami, ia adalah poros semesta.

Ia tak lahir untuk dipuji, tapi pantas disyukuri oleh siapa pun yang beruntung jadi bagian hidupnya.

Kalau kamu tanya apa arti tangguh, lihatlah dia.

Yang tak punya siapa-siapa, tapi terus memberi banyak hal kepada semua orang—walau kadang berlebihan.

Dan dari keberanian itu, dua anak perempuannya kini belajar berdiri.

Belajar bahwa menjadi perempuan tak harus menunggu diselamatkan.

Karena mereka telah melihat mamanya yang tak pernah jadi ratu di istana, tapi selalu jadi penjaga rumah tangga dengan hati seorang ratu.

Sehat terus, ya, Maa…

Mamaku bukan siapa-siapa di buku sejarah.

Tapi di dua pasang mata anaknya, ia sudah menulis berjilid-jilid kehebatan, dan berseri-seri film motivasi.

Perempuan yang dulu cuma punya seragam Tsanawiyah dan sepasang sandal jepit, kini punya dua anak perempuan yang tumbuh dengan lebih banyak pilihan.

Dulu dia nyaris tak punya apa-apa.

Kini, dia mungkin masih tak punya banyak hal—

Tapi siapa bilang dia kalah?

Karena hidup bukan soal siapa yang paling punya,

tapi siapa yang paling kuat bertahan.

Dan jika benar ada kehidupan setelah ini,

Even in another life, when the stars write a new story, I hope they still call me your daughter.***