Lima Inspirator Gerakan Untukmu Bumiku

  • Bagikan
Sebanyak 223 anak muda mendeklarasikan Manifesto Orang Muda Indonesia Untuk Perubahan Iklim pada Youth Virtual Conference
Sebanyak 223 anak muda mendeklarasikan Manifesto Orang Muda Indonesia Untuk Perubahan Iklim pada Youth Virtual Conference

SULTRAKINI.COM: “Tindakan keseharian yang bisa kita terapkan dan mulai dari diri sendiri, antara lain tidak memakai plastik sekali pakai, mengadaptasi spirit jagawana yang setia dan tangguh menjaga hutan. Berani mengambil sikap dan tindakan sekecil apa pun, demi kepentingan masyarakat dan bumi. Kami adalah bagian dari solusi terhadap tantangan perubahan iklim. Kami adalah bagian dari solusi ketimpangan sosial ekonomi yang melebar. Dengarkan kami. Berjalan bersama kami. Duduklah bersama kami. Bertukar pikiran dengan kami, bersama daya kreativitas kami, dengan musik, film, menulis, dengan passion kita sendiri dan memperkaya dengan berjejaring dengan berbagai kalangan.”

Ini penggalan dari Manifesto Orang Muda Indonesia Untuk Perubahan Iklim. Sebanyak 223 orang muda mendeklarasikan manifesto ini pada Youth Virtual Conference #UntukmuBumiku yang digelar 6 Juni 2021. Kegiatan ini merupakan acara puncak dari diskusi yang dibangun di ruang-ruang virtual selama satu minggu penuh, ruang yang dihidupkan oleh 11 inspirator dan peserta yang punya semangat untuk mengatasi perubahan iklim.

Salah satu inspirator, Rara Sekar, memandang, “Manifesto ini menjadi fondasi penting untuk kita bergerak lebih cepat lagi dalam merespons kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam yang terus dilanggengkan oleh sistem ekonomi hari ini. Semoga menjadi penyemangat anak muda untuk bersolidaritas, berkolektif, dan bekerja sama mencapai keadilan iklim.”

Inspirator lain yang masih sangat belia, Kynan Tegar, mengungkapkan, manifesto itu memperlihatkan semangat anak muda. “Namun, lebih jauh lagi, yang kita perlukan sebenarnya adalah aksi nyata, aksi yang bisa kelihatan hasilnya. Memang ini sesuatu yang sangat susah. Harus dimulai dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan di rumah. Seperti yang orang sering bilang, kita memerlukan systemic change, perubahan dalam skala yang lebih besar, karena masalah perubahan iklim ini lebih besar daripada kita semua.”

Mayoritas peserta acara yang digawangi Tempo Media Group dengan dukungan berbagai pihak ini berusia 17 – 24 tahun, duduk di bangku SMA hingga mahasiswa. Rata-rata berdomisili di Pulau Jawa, meski sejumlah peserta datang dari Indonesia bagian Timur. Menariknya, acara ini dihadiri oleh 59% peserta perempuan dan 41% peserta laki-laki.

Nama besar para inspirator yang bergabung di sini memiliki rekam jejak yang sangat baik dalam menjaga bumi agar senantiasa lestari. Inilah sekilas sepak terjang 5 inspirator yang akan terus membuat Anda terinspirasi.

RARA SEKAR

Musisi, Antropolog Budaya, Aktivis Lingkungan Hidup

Sejak 2016 Rara aktif menyuarakan isu-isu lingkungan dan mempraktikkan berbagai kegiatan ramah lingkungan, terutama berkebun. “Berdasarkan pengalaman pribadi, berkebun di rumah bisa membuka pintu menuju kepedulian yang lebih besar terhadap lingkungan. Merawat tanah berarti merawat lingkungan, sekaligus merawat ekosistem yang tumbuh dan tergantung pada tanah, termasuk manusia,” kata Rara, yang juga mengampanyekan pengolahan sampah rumah tangga menjadi kompos dan menggunakannya langsung di dua kebun keluarganya.

Musisi yang sempat menjadi bagian dari grup musik Banda Neira ini memandang, pada dasarnya manusia yang tinggal di kota seperti dirinya sendiri memang sudah tercerabut dari hubungan yang dalam dengan alam. Sehingga, aksi menanam sesederhana apa pun, dapat menjadi salah satu cara untuk mengembalikan lagi hubungan yang sudah rapuh dengan alam. Jika tidak memiliki kemewahan dalam rupa lahan luas milik sendiri, menanam di lahan terbatas sekalipun bisa dilakukan. Rara mencontohkan, bisa menggunakan pot, bisa memanfaatkan rooftop, bisa juga mengerjakan secara kolektif bersama tetangga.

Sebagai musisi, Rara juga rajin menciptakan lagu yang terinspirasi dari pengalamannya berkebun, misalnya lagu Kebun Terakhir. Album terbarunya, Kenduri, bahkan baru dirilis 7 Juni lalu. “Nantinya akan ada rangkaian karya yang menjadi karya komplementer dari album musik yang berbasis penelitianku terhadap petani-petani muda di Jawa. Karena aku dan suamiku Ben bergerak di bidang pendidikan kritis, kami berusaha memperluas pengetahuan-pengetahuan ini agar bukan cuma menjadi pengetahuan pinggiran, melainkan juga pengetahuan arus utama, khususnya tentang isu lingkungan yang berkelindan dengan isu pembangunan dan isu sosial,” kata Rara, yang menjadi mentor di Arkademy, sebuah kolektif fotografi yang berfokus pada pendidikan fotografi kritis dengan pendekatan interdisipliner.

DU ANYAM

Pelaku Green Business Lewat Produk Anyaman

Berdiri sejak 2014, hingga kini Du Anyam berhasil memberdayakan 1.200 perempuan di 50 desa di seluruh wilayah Indonesia, terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua. Para perempuan ini membuat produk anyaman dan kerajinan tangan berkualitas tinggi dari tanaman lontar. Komunitasnya tak hanya berkembang di kawasan Indonesia Timur, Du Anyam juga melebarkan sayap hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Menjalankan konsep green business melalui wirausaha sosial, Du Anyam berkembang menjadi penyedia suvenir bagi lebih dari 500 perusahaan lokal dan internasional, dan ditunjuk sebagai merchandise resmi Asian Games 2018. Bagi Du Anyam, green business berarti bisnis yang mengakomodasi daya dukung lingkungan, tidak mengambil sumber daya alam lebih dari kemampuan regenerasinya.

“Sejauh ini kami belum pernah mengalami kekurangan bahan baku, karena pohon lontar tumbuh alami. Kami melakukan pemetaan ketersediaan daun lontar di desa-desa dampingan kami melalui masyarakat penyedia bahan baku. Kami juga melakukan kampanye untuk tidak memotong tunas-tunas tanaman lontar yang tumbuh liar, sehingga anakan lontar bisa beregenerasi,” kata Davit Manalu, Project Manager Du Anyam. Dari segi produksi, proses pewarnaan dan pengelolaan limbah pewarnaan dikerjakan sesuai SOP (Standard Operating Procedure). Limbah ditangani dan dibuang di tempat yang tersedia. Di sisi lain, dalam menjaga kualitas, misalnya dari segi pengawetan, Du Anyam tidak menggunakan bahan kimia, melainkan dengan penjemuran dan perendaman air garam.

Dalam upaya mengajak generasi muda membantu pelestarian alam, komunitas Du Anyam di Kalimantan Selatan membuat buku cerita mengenai tanaman purun dan pentingnya menanam ulang purun serta menjaga lahan gambut. “Kami juga melakukan kampanye untuk pelestarian lontar di desa-desa dampingan kami di Flores Timur. Selain itu, kami berencana melakukan penanaman ulang pohon lontar. Saat ini kami sedang melakukan riset dan pemetaan pohon-pohon lontar di Flores Timur, dan mulai membangun kerja sama dengan beberapa organisasi yang dapat membantu kegiatan ini,” kata Davit.

GEDE ROBI ‘NAVICULA’

Petani, Musisi, Produser Film

Navicula dikenal sebagai band grunge asal Bali yang lagu-lagunya vokal bersuara tentang isu sosial dan lingkungan, antara lain Di Rimba dan Orang Utan. Berbagai bentuk keprihatinan terhadap masalah lingkungan digemakan oleh Robi, sang vokalis Navicula. Saat kuliah, ia aktif menjadi sukarelawan di sejumlah organisasi sosial dan perjalanan sebagai sukarelawan merupakan proses belajar baginya. Mei lalu, Pulau Plastik, film dokumenter yang dibintangi dan digagasnya, tayang di bioskop komersial. Film ini menggambarkan keprihatinannya akan isu mikroplastik di lautan lepas.

Mengapa ia mengambil media seni untuk bersuara? “Saya percaya, media populer bisa lebih mudah menjangkau anak muda. Seberapa efektif persisnya, saya kurang tahu. Tapi, bercermin dari pengalaman saya pribadi, saya sangat terpengaruh oleh apa yang saya dengar (musik) dan saya tonton (film). Saya yakin, ada orang-orang di luar sana yang sama seperti saya.”

          Robi bercerita, ia menjadi petani kopi karena kebetulan lahir di keluarga petani dan punya lahan. Ia meneruskan dan melestarikan budaya ini karena menurutnya hal-hal ini merupakan suatu ‘kemewahan’. Ia tidak fokus berusaha membujuk publik untuk ikut menjadi petani. “Saya lebih tertarik untuk memberi contoh kepada orang-orang sekitar. Be simple, be sample. Kenapa organik? Karena, selaras alam. Selaras alam adalah meniru cara alam bekerja secara alami. Hasilnya bukan cuma bagus untuk saya pribadi dan keluarga, tapi untuk semua, termasuk ekosistem dan masa depan. Saya percaya, jika ada orang lain yang ikut melihat ini sebagai suatu ‘kemewahan’ dan sesuatu yang ‘keren’, niscaya mereka akan berusaha sendiri untuk mewujudkannya,” kata Robi, yang sempat berprofesi sebagai pengajar pertanian organik di beberapa sekolah.

Ada beberapa rencana yang tertunda karena keterbatasan tenaga dan waktu. Tapi, pria yang sempat mewakili Indonesia dalam forum Asia 21 Young Leader ini masih akan melanjutkan dan mengembangkan hal yang sudah pernah ia kerjakan sebelumnya. “Masih di seputar memberdayakan media seni (musik dan film), edukasi, dan memelihara kebun di kampung untuk ruang kreasi, pendidikan keluarga, sekaligus benteng pertahanan dan kedaulatan,” kata Robi, yang melihat makin banyak orang peduli tentang kelestarian alam, tapi di sisi lain kerusakan lingkungan juga bertambah cepat.

KYNAN TEGAR

Filmmaker dan fotografer

Pemuda adat sekaligus siswa homeschooling berusia 16 tahun ini tak menyangka bisa mendapat kesempatan langka untuk bicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Pemuda PBB pada September 2019. Di depan ratusan orang muda yang punya kepedulian tentang masyarakat adat, Kynan berbagi kisah tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Iban yang tinggal di Sungai Utik, Kalimantan Barat. Film dokumenter pertamanya yang berjudul Maali Umai juga diputar pada acara Bali International Indigenous Festival 2019.

          Melalui bidikan kamera dan film dokumenter yang dibuatnya, Kynan memperlihatkan tradisi dan ritual yang diwariskan oleh leluhurnya dalam menjaga alam. “Tanah ini adalah ibu kami, hutan ini adalah bapak kami, sungai ini adalah darah kami. Kalau ada orang mencemari sungai, artinya ia juga mencemari darah kami. Saya sangat mengagumi berbagai nilai kehidupan luhur yang terus dipertahankan oleh masyarakat adat kami. Kami berburu rusa dan babi hutan sebagai bahan makanan, kami mengambil kayu dari hutan, dan mendapatkan air bersih dari sungai. Tapi, kami ambil secukupnya saja, tidak berlebihan, agar ekosistem tetap terjaga. Inilah salah satu value yang kami pegang teguh dalam memelihara alam yang menjadi sumber kehidupan kami,” kata Kynan, yang ingin mengubah mindset orang yang menganggap bahwa masyarakat adat adalah komunitas yang terbelakang.  

          Kynan yang sangat fasih berbahasa Inggris ingin terus berbagi kepada dunia tentang masyarakat adat melalui film dokumenter. Menurutnya, semakin ke sini, menjaga kampungnya dari penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk kelapa sawit semakin sulit, karena dibukanya kesempatan bagi investor untuk masuk ke Indonesia. “Kami berharap, kampanye yang terus dilakukan untuk menjaga masyarakat adat di mana pun bisa terus dilakukan,” kata Kynan, yang tergabung dalam If Not Us Then Who, suatu lembaga donasi di Amerika Serikat yang mendukung kampanye kepedulian global tentang pentingnya peran masyarakat adat dalam melindungi bumi.

ALFIRA ‘ABEX’ NAFTALY

Eco Traveler dan Travel Blogger

Kecintaan Abex terhadap lingkungan ditunjukkannya dengan menjelajah alam dan mendaki gunung. Tak hanya mendaki gunung-gunung tertinggi di Indonesia, ia juga bertualang ke negeri lain, termasuk trekking di Himalaya. Kala menjalani berbagai petualangan tersebut ia melihat dampak besar aktivitas traveling terhadap lingkungan, termasuk masalah sampah. Karena itu, Abex mencoba menggugah dan memberi pemahaman tentang pentingnya menjaga bumi selagi traveling, salah satunya dengan menyematkan pesan cinta lingkungan pada tulisan di blog-nya.

          “Mencintai lingkungan sering kali identik dengan ribet. Padahal, tidak. Kita hanya perlu mengubah mindset, melakukan suatu hal baru untuk menjadi kebiasaan baru. Kalau kita melihatnya sebagai sesuatu yang sulit, jadinya akan sulit. Tapi, kalau kita bergerak, kita akan terus mencoba mencari solusi saat terbentur masalah. Jika ingin membuat perubahan besar, mulailah dari satu langkah perubahan kecil. Tidak perlu menjadi eco traveler untuk menjaga lingkungan. Pikirkan dampaknya bagi kehidupan anak-cucu kita,” kata Abex, yang saat Youth Virtual Conference mendapatkan gagasan dari peserta untuk mengubah kaos tak terpakai menjadi lap atau saputangan sebagai pengganti tisu.

          Abex menilai, kita tidak bisa mengubah orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kita, misalnya tidak membuang sampah sembarangan. Tapi, kita bisa memengaruhi orang lain dengan aksi yang kita lakukan. “Sebar dan luaskan hal baik dan bermanfaat agar bermanfaat juga bagi orang lain. Jika ada 50 orang saja yang melakukan hal baik yang kita lakukan, saya percaya, kita bisa mengurangi dampak perubahan iklim. Bumi akan bisa menjadi lebih baik lagi,” kata Abex, yang menekankan bahwa hidup akan selalu berproses. 

Publisher: M Djufri Rachim

  • Bagikan