Limbah Tahu sebagai Bahan Bakar Masa Depan

  • Bagikan
Penjaga anjungan memamerkan kebolehan sepeda motor berbahan bakar limbah tahu karya peneliti muda LIPI, Arifin Nur, yang dipamerkan di Indonesia Science Expo (ISE) 2017 di Balai Kartini, Jakarta, 23-2

SULTRAKINI.COM: Bunyi klakson sepeda motor menarik perhatian di salah satu sudut ruang. Sepeda motor bertransmisi otomatis berwarna putih turun dari anjungan pajang, dikendarai oleh seorang pria.

Muncul pertanyaan dibenak orang, untuk apa ada sepeda motor di dalam ruang pameran yang bahkan tidak cukup luas untuk jalan laju sepeda motornya? Bentuk fisiknya pun tidak ada yang istimewa, bukan gubahan bengkel modifikasi ala anak motor futuristik yang mampu menarik perhatian lawan jenis dengan berbagai konsepnya.

Tak disangka, memang ada yang istimewa dengan kuda besi transmisi otomatis tersebut. Suara mesinnya lebih halus layaknya sepeda listrik. Emisi gas buang dari knalpot tidak berbau sama sekali, tidak seperti karbon monoksida (CO) yang beracun membuat pusing serta lemas.

Hanya udara hangat yang berhembus dan mirip uap air yang keluar dari lubang pembuangan emisi tersebut.

“Bahan bakar motor ini dari ampas tahu mas,” seru seseorang yang berbaju putih yang tak lain adalah Arifin Nur, seorang peneliti muda dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Seakan jauh dari logika, pertanyaan umum yang muncul adalah bagaimana bisa tahu yang faktanya adalah makanan, namun bisa menggerakkan laju sepeda motor?

Arifin pun menjelaskan dengan menjawab pertanyaan tersebut. Pada dasarnya bahan bakar sepeda motor kembangan LIPI tersebut adalah biohydro yang awalnya ide ini dikembangkan oleh peneliti LIPI lainnya Dwi Susilaningsih.

“Jadi sebenarnya dari biohydro atau biohidrogen yang muncul akibat reaksi kimia dari mikro alga yang hidup di limbah tahu tersebut,” ujar Arifin.

Mikro alga ini akan memunculkan gas apabila dipicu dengan sinar matahari langsung. Secara teknis limbah tahu tersebut menjadi media hidup dari mikro alga. Walaupun mikro alga juga dapat hidup di media lain namun ampas tahu dianggap paling efisien waktu dan biaya untuk menghasilkan hidrogen.

Ketika motor dihidupkan untuk membuktikan rendahnya tingkat polusi emisi gas buang, ia menyuruh untuk mendekatkan kaca ke mulut knalpot serta gas dipacu sekuatnya. Hal yang terjadi adalah kaca tersebut berembun seperti ketika kita menghela nafas di depan kaca.

Tidak ada kandungan berbahaya apapun kecuali hanya uap air dan karbondioksida (CO2) yang keluar bersama dengan udara. Teknik konversi sepeda motor tidak membutuhkan biaya yang ekstrem. 

Hanya biaya Rp3 juta sudah dapat mengubah dari bahan bakar minyak jenis premium menjadi biohidrogen. Bahkan Ron dari bahan bakar ini sudah mencapai tingkat Ron 102. Lebih tinggi dari Ron Pertamax Racing oktan 100 milik PT Pertamina yang biasanya digunakan mobil supercar, seperti Ferrari, Porsche dan Mercedes Racing.

Kajian penelitian ini masih terbatas pada mesin kapasitas 110 cc yang sesuai pada motor matic. Sebab lebih dari itu akan membutuhkan daya tampung yang lebih besar.

Hambatan

Tidak serta merta lantas inovasi bahan bakar ini mendapat sambutan baik untuk diproduksi secara masal sebagai bahan bakar masa depan. Secara teknis hasil kaji ini masih dalam tahap pengembangan. 

Untuk kapasitas 250 mililiter atau satu per empat perbandingan setara dengan premium, bahan bakar biohidrogen ini mampu melajukan kuda besi dengan jarak tempuh maksimal tujuh kilometer. “Ini memang belum efisien untuk menandingi laju premium, karena belum ada penelitian lanjutan,” kata Arifin.

Tidak mempengaruhi kecepatan dapur pacu dari motor atas konversi limbah tahu ini, bahkan justu membuat tarikan mesin lebih halus. 

LIPI sendiri mmberikan target untuk kapasitas produksi saat ini dari daya tampung pada 250 mililiter akan meningkatkan laju hingga jarak tempuh 40 km. Jika sudah memenuhi target laju jarak 40 km barulah akan dibicarakan dengan pemerintah untuk memberikan porsi bahan bakar ini sebagai alternatif transportasi.

Biaya untuk memproduksi biohidrogen saat ini masih mahal sebab alat produksi belum memadai pada produksi masal. Bila harga BBM satu liter kisaran Rp7.000 maka satu liter biohidrogen dari limbah tahu ini dengan keterbatasan alat maka menghasilkan nilai Rp100 ribu.

Memang diakui harga efisensi, marginnya masih dianggap jauh dari jenis BBM transportasi saat ini. Terkait pengembangan penelitian hak paten formula ini diakui sudah dimiliki oleh LIPI, Arifin berharap dengan dukungan dari semua pihak mampu menjadikan produk inovasi lokal ini mampu menggantikan BBM di masa depan.

Baik dari segi mengurangi polusi dan efisiensi sumber daya alam. Pemerintah sendiri saat ini sedang mengembangkan bahan bakar nabati pada biodiesel, namun tidak menutup kemungkinan pada pengembangan bahan bakar nabati lainnya hingga biohidrogen.

Program B20 biodiesel yang dilaksanakan melalui Kementerian ESDM sebagai solusi energi terbarukan tersebut telah menyerap 2,7 juta kiloliter (KL) biodiesel sawit sepanjang 2016.

Program B20 biodiesel merupakan kewajiban mencampur 20 persen biodiesel sawit pada setiap minyak diesel (solar) yang dijual.

“Program B20 biodiesel 20 persen itu dipimpin oleh Kementerian ESDM dengan dukungan dana sawit telah menyerap 2,7 juta kilo liter biodiesel sawit. Ini lebih besar daripada target 2016 yang sebesar 2,5 juta kilo liter,” kata Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit Bayu Krisnamurthi.

Serapan ini juga lebih besar dari 2014 yang mencapai 1,84 juta KL saat program biodiesel masih didukung APBN 2014 dan penyerapan 2015 tanpa APBN sebesar 0,56 juta KL.

Untuk mendukung program B20 tahun 2016, dana sawit yang dugunakan mencapai Rp10,6 triliun. 

Program B20 pada 2016 juga dinilai telah memberikan manfaat besar dalam bentuk pengurangan emisi gas rumah kaca alias greenhouse gas emissions(GHG) sekira 4,5 juta ton CO2, pemanfaatan bahan bakar nabati berbasis produk dalam negeri 45,5 ribu barel/hari.

Sementara itu, Dewan Energi Nasional (DEN) tetap optimis program B20 ini berjalan lancar walau masih berkutat pada kendala teknis. 

“Memang ada keluhan dari pengguna. Pertama dari PT KAI, kedua dari industri besar pertambangan yang menggunakan kendaraan besar. Karena mesin lama belum sesuai dengan biodiesel ramah lingkungan tersebut,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Poernomo.

Saat ini sedang dibicarakan dengan Kementerian terkait seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar dapat menemukan jalan tengah bagi setiap mesin yang dapat menyerap biodiesel baik lama ataupun baru.

Sumber: Antaranews.com

  • Bagikan