Lingkaran Setan Media dan Pekerja Pers (Kado HUT Pers Nasional di Sulawesi Tenggara)

  • Bagikan
Ridwan Demmatadju

Oleh: Ridwan Demmatadju

Hari ini semua pegiat pers nasional berhimpun di Kota Kendari untuk merayakan harinya pekerja pers seluruh nusantara. Hajatan ini seharusnya dihadiri Presiden Jokowi, namun karena ada hal yang urgen di masa pandemi ini sehingga beliau urung datang ke Kota Kendari bersama jajaran pengurus Dewan Pers Indonesia dan sejumlah pejabat utusan dari Jakarta. Namun tak hadirnya orang nomor satu ini, saya percaya insan pers di Sulawesi Tenggara tetap semangat karena besarnya dukungan dari Gubernur Ali Mazi bersama Wakil Gubernur H. Lukman Abunawas sampai acara puncaknya.

Apa yang bisa dipetik dari peristiwa penting ini, dipusatkan di Sulawesi Tenggara?Setidaknya dengan momentum ini akan jadi ruang introspeksi bagi segenap pekerja pers, tak hanya di Sultra, tapi di seluruh nusantara bahwa pers sebagai pilar keempat dalam menegakkan demokrasi di negara ini. Pers harus tetap independen menyuarakan kepentingan rakyat banyak, fungsi kontrol sosial harus tetap dipegang teguh untuk mengawasi jalannya tata negara kita. Pada frame ini memang terasa berat bagi pegiat jurnalis yang tidak memahami fungsi pers yang sesungguhnya.

Saat ini sulit kita menemukan idealisme sekelas Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Dua sosok ini selalu jadi panduan bagi jurnalis yang ingin menekuni dunia jurnalis secara totalitas, mengikuti jejak perjalanan dua wartawan ini dalam sebuah memoarnya dia berkata, jangan bermimpi jadi kaya jika anda wartawan, kalau mau kaya jadilah pedagang atau pengusaha. Sikap idealisme ini lurus dengan kehidupan sederhana yang dijalani hingga akhir hayatnya. Tetap sederhana tapi disegani oleh penguasa di tiga zaman, Rosihan Anwar begitu predikat yang dia tinggalkan.

Begitu pula dengan Mochtar Lubis, jurnalis ternama kelahiran Kota Padang, Sumatera Barat, dia pendiri media Harian Indonesia Raya, 1949-1961. Perjalanannya sebagai wartawan pejuang menjadikan dirinya diganjar penghargaan Golden Pen of Freedom, penghargaan jurnalisme internasional, diterima tahun 1967. Mochtar Lubis tak hanya dikenal sebagai wartawan tapi juga seorang sastrawan, pelukis. Dia seniman yang jadi wartawan. Kalau anda pernah baca majalah sastra Horison, dia juga salah satu pendiri sekaligus penganggung jawab di majalah ini bersama sastrawan Taufik Ismail.

Sejumlah karya sastra novel, berjudul Senja di Jakarta, Harimau-Harimau, dan Jalan Tak ada Ujung dan masih banyak lagi karya novelnya. Mengikuti jejak Mochtar Lubis rasanya tak dapat dilampaui, nyaris sempurna sebagai wartawan dengan tulisan-tulisan yang membuat gerah penguasa dan harus dipenjara karena beritanya. Perjuangan kemerdekaan pers di Indonesia dia pelopornya.

Semangat kemerdekaan muncul dalam hati Mochtar Lubis yang belajar politik, sosial, dan berhasil dengan baik mempelajari beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman pada masa pendidikannya itu. Kemudian ia berhasrat ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran, tetapi ayahnya melarangnya. I pun pernah menempuh pendidikan di Thomas Jefferson Fellowship (East-West Center, University of Hawaii, USA). Dari sinilah ia menjadi legenda sebagai wartawan bernyali tinggi yang pernah ada di Indonesia dan diakui dunia.

Saat ini, memang tidak lagi kita membandingkan dua sosok ini. Zaman telah berubah peradabannya. Media cetak telah ditinggalkan pembacanya, kini media berbasis digital dan online menggantikan media cetak konvensional itu. Ethos kerja dan idelisme pekerja media pun hari ini, tak lagi melulu soal keberanian membongkar praktik korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Media dan pemilik modal telah menjadi bagian penting pertumbuhannya, pemilik modal menjadi sangat istimewa karena bisa mengatur urusan pemberitaan sensitif.

Sejak itulah media kerap kali jadi bulan-bulanan dicemoh karena tak berkutik menyoroti ketimpangan sosial di negara ini. Meski begitu, tetap ada menolak diintervensi namun konsekuensinya harus angkat kaki dari manajemen perusahaan media. Media saat ini telah berubah, pers tak lagi utuh sebagai penjaga zaman, mengkritik jalannya roda pemerintah, karena pemilik media juga mengejar keuntungan (profit oriented). Memang ada simbiosis mutualisme dalam bisnis ini. Modal harus kembali, dan wartawan, karyawan harus diupah sesuai standarnya. Inilah sekilas lingkaran setan media dan pekerja pers hari ini. Dan ini tak bisa hindari, simalakama.

Puncak Hari Pers Nasional di Kota Kendari, setidaknya akan memberikan nilai positif terhadap perjalanan sejarah pers nasional di Sulawesi Tenggara. Sekaligus akan jadi jejak sejarah bagi seluruh wartawan. Tak ada pilihan lain selain melakukan perubahan paradigma menjalani profesi mulia ini, karena tanpa mengikuti arus perubahan ini dipastikan wartawan akan ketinggalan kereta. Saat ini banyak tumbuh media berbasis online dengan sajian berita dari wartawan yang kerap kita temukan berita yang mengandung kebohongan bahkan tidak sedikit berita yang kita baca terkesan mencampur opini/pendapat sendiri dari wartawannya, saat ini kita berperang melawan hoaks alias berita bohong.

Disinilah peran asosiasi atau pehimpunan organisasi pekerja media, pers untuk menjaga kualitas dan kompetensi jurnalis. Tentu kita juga berharap Dewan pers Republik Indonesia tidak berjalan sendiri untuk urusan ini, dengan melibatkan akademisi perguruan tinggi untuk menguji kompetensi seorang jurnalis. Apakah ini cukup dengan cara ini ? Lagi-lagi belumlah cukup, meski seorang jurnalis telah mengikuti ujian kompetensi dan bersertifikat utama tak bisa jadi jaminan akan bersikap idealis, bernyali tinggi untuk menegakkan kebenaran. Semua akan terpulang pada panggilan jiwanya, serta pengetahuan yang cukup itu.

Semoga pers nasional tetap menjadi api yang tak kunjung padam.

Penulis, mantan aktifis pers mahasiswa, freelance journalist di Makassar, dan Wartawan Kendari Pos di Kolaka

  • Bagikan