Luka Tak Berdarah

  • Bagikan

Sekelompok anak muda yang hobi dengan travelling menemukan sebuah gubuk tua di dalam hutan. Dari jauh, sang ketua melihat gubuk tua itu sangat cocok untuk dijadikan tempat peristirahatan. Karena waktu semakin lama semakin gelap, mentari pun telah kembali pada tepat peraduannya dan kini mulai dengan kedudukan rembulan yang memerintah, maka mereka memutuskan untuk menginap di gubuk tua itu. Gubuk tersebut tidak seperti kebanyakan orang menceritakan. Ini diluar dugaan. Dari luar memang tampak lesuh. Tapi, ketika berada di dalam, gubuk itu memancarkan aroma khas yang tidak dimiliki oleh kaum awam. Walaupun malam telah menghadang, tapi sinar khas yang dimiliki gubuk tersebut tetap saja tak berubah. Di dalam gubuk ini, selalu tampak seperti pagi. Tak pernah siang atau pun malam. Berbeda dengan kenyataan setelah berada di luar gubuk.

Sesampainya di depan gubuk, ketua mengecek satu persatu anggota dan perlengkapan. Alhamdulillah, tak ada yang berkurang satu pun dari mereka, kecuali tenaga dan semangat. Karena perjalanan panjang ini sangat menghabiskan tenaga, sehingga ion dalam tubuh pun berkurang, mereka pun mencari tempat untuk beristirahat. Sebelum mereka menginap di gubuk, seperti biasa, mereka tetap meminta izin kepada yang punya. Sang ketua berkeliling dan berteriak mengitari areal gubuk. –“Permisi apakah ada orang di sana?”-. Namun, tidak ada satu pun pertanda bahwa ada orang yang menghuninya. Sang ketua pun memejamkan mata sejenak di belakang gubuk, seperti ia hendak bercakap-cakap dalam hati layaknya orang yang ingin meminta pertolongan. Kepada siapa? Itu yang tidak diketahui.

Setelah mendapat sebuah jawaban dari percakapan dalam hati tersebut, ia pun mengalirkan air dengan bacaan shalawat kesegala penjuru gubuk. Tidak tahu apakah ini sebuah tradisi atau tidak, tapi inilah hal positif yang selalu ia kerjakan, ketika ia mengunjungi suatu tempat.

Mereka pun berhasil membuka pintu gubuk.

“Subhanallah, luar biasa indahnya.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari apa yang mereka semua lihat, ketika sudah berada di dalamnya. Lalu, mereka menuju kamar masing-masing. Padahal mereka baru pertama kalinya mengunjungi tempat ini. Tapi, langkah kaki mereka bergerak dengan sendirinya, layaknya ada yang mengomandoi. Kamar yang ada telah disediakan sebanyak anggota yang datang.

Berbeda dengan ketua. Ia lebih memilih untuk tidur di luar gubuk dan tidur dalam ayunan. Karena, tugas ketua adalah menjaga anggota sebaik mungkin. Yang kita tahu, udara di luar rumah apa lagi sewaktu malam hari, lebih tajam daripada di dalam rumah. Namun, ketika berada di gubuk ini, segala kerisauan untuk orang yang kedatangan dengan maksud baik akan dilayani dengan baik pula. Sang ketua tertidur lelap. Tanpa harus berperang oleh ketajaman angin malam.

Di pertengahan malam, mereka semua bangun. Agenda malam ini akan dilaksanakan seperti yang telah direncanakan. Sebab, ketika senja telah tampak oleh mata, di sanalah mereka akan melanjutkan perjalanan kembali untuk menyelesaikan misi yang telah mereka rancang sedari dulu.

Mereka beramai-ramai menghidupkan api unggun sebagai penghangat tubuh. Masa yang sama selalu terjadi pada kayu dan api. Hubungan mereka seakan mulai renggang. Namun, kayu tetap saja mencoba untuk mecahkan kerenggangan itu menjadi keharmonisan.

Api: “Kayu, aku minta maaf padamu, karena selama ini aku telah menjelajahkan kata-kata yang membuat hatimu terluka.”

Kayu: “Apa? Tak salah dengarkah aku, sebuah api melantunkan permohonan maaf? Apakah aku bermimpi? Coba cubit aku.”

Api: “Kayu, aku tidak bercanda. Sekian lama kita telah berteman. Namun kurasa, deadlineku akan tiba esok?”

Kayu: “Apa yang kamu katakan? Lebaran masih lama. Santai saja. Lagian biarkan segala dosa mengalir dengan sendirinya. Lagi pula mereka tidak memikirkan yang namanya dosa. Happy guys, happy.”

Api: “Dalam lembaran kecil ini, aku telah menuliskan beberapa kisah yang kuarungi bersamamu. Dan mungkin engkau hanya akan bertemu dengan yang namanya cahaya yang akan membuat kamu lebih berarti.”

Kayu: “Arti. Apakah arti yang kau maksud di sini cinta? Arti cinta yang kau miliki adalah menyingkirkan orang-orang yang kau cintai. Itukah yang akan kau lakukan padaku sesuai dengan yang kau kutip dengan yang telah ada?”
Api: “Bukan. Bukan itu maksudku.”

Kayu: “Kamu kenapa tidak sehangat dulu?”
Api: “Karena kehangatanku akan ada, saat aku mengucapkan hal yang terpenting untuk kehidupanmu. Aku tidak ingin kamu bersedih dilain hari.”

Kayu: “Apa yang kamu pikirkan? Ceritalah, siapa tahu aku bisa membantumu.” Serunya dengan merayu pada api yang belakangan ini mulai murung.

Api: “Aku rasa, inilah saat dimana aku harus beristirahat.”
Kayu: “Maksud kamu apa? Jujur katakanlah padaku. Jangan membuat aku khawatir.”
Api: “Kelak engkau akan tahu dari kisah khalayak.”

Api yang awalnya meluap sejadi-jadinya kini merusut, menciut menjadi kecil, kecil, kemudian padam. Kayu kebingungan hendak mencari kemana perginya api. Padamnya api, membuat mereka kembali masuk ke dalam gubuk lagi.

Kayu: “Kini dia pun pergi tanpa pamitan kepadaku. Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa akhir-akhir ini ada yang berbeda dengan sikapnya? Apakah aku salah berkata? Sang pencipta jagad raya, aku mohon jangan hilangkan dia dari kehidupanku. Apa nanti jadinya kayu tanpa api? Izinkanlah api kecilku menjadi penyempurna hidupku dan kehidupan khalayak agar aku tetap berarti di lingkungan mereka yang sederhana.”

Angin malam pun datang dengan senyum sinisnya.

Angin: “Hahahaha, kasihan si kayu. Sekarang dia sigle. Mana ada lagi yang akan membuat warna pada kehidupanmu. Lusuh. Huh. Palingan engkau akan berarti setelah berteman dengan rayap. Uh,, rayap. Sakit. Ditinggal oleh kesederhanaan yang membuat hidup bijaksana dan berwarna. Sekarang permainan cinta anatara api dan kayu pun musnah. Hahaha.”

Kayu: “Hei angin. Apa yang kau katakan. Kisahku dengan api bukanlah sebuah permainan yang bisa kau perbuat sedemikian rupa. Api memang berbeda elemen denganku. Tapi perbedaan ini yang dapat membuatku bertahan hidup. Tak perlu setebal apa badai menerpa kehidupan kami. Asalkan kami tetap bersama. Semua akan kokoh dalam kebaikkan.”

Angin: “Kokoh? Bersama? Hallo kayu, apakah kamu sekarang bermimpi? Cobalah bangun dari mimpi indahmu. Kini kau tinggal seorang diri. Dan api kini telah pergi meninggalkanmu. Lantas apa yang bisa kau perbuat untuk mempertahankannya? Tidak adakan? Hahahah. Kehidupan kalian memang dua kutub magnet yang berbeda.”

Kayu hanya bisa menahan diri. Dia tak ingin berdebat. Kini kayu tinggal sendirian di tengah hutan yang gelap gulita. Tanpa api, tanpa suara, tanpa percakapan dan tanpa bersenda gurau. Hanya berteman dengan dingin dan sepi. Dia khawatir dengan hari esok. Dia takut tak bisa bertemu lagi dengan api. Kawan kecil yang selalu membuat dia berarti. Ternyata dia mengajari kayu banyak hal. Siapa lagi yang akan berteman dengannya, selain api yang membuatnya berarti?

Biodata penulis:
Eka Putri M Pane sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Riau. Berdomisili di Pekanbaru. Bergiat di Community Pena Terbang (Competer). Karya sastranya pernah dimuat di Expresi Riau Pos dan Detak Pekanbaru. Nomor ponsel 081246803461. Email: [email protected], Fb: Kasih Putri.

 

Redaksi SULTRAKINI.COM menerima kiriman karya sastra (puisi, cerpen, essai, dll) dari pembaca untuk dimuat dalam kanal Edukasi-Sastra. Setiap pekan akan dikoreksi oleh para kurator Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara serta penyair dan penulis handal Sultra. Karya dapat dikirimkan melalui email: [email protected] dengan melampirkan identitas jelas

  • Bagikan