SULTRAKINI.COM: KOLAKA – Ratusan warga dari lima desa Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara berunjukrasa di DPRD setempat, Kamis (6 Oktober 2016). Mereka memprotes pembagian lahan eks kawasan hutan yang konon diberikan Pemda Kolaka kepada warga dari daerah lain, sementara mereka tidak kebagian padahal merasa pemegang hak ulayat.
Presidium Forum Swadaya Masyarakat (ForSda) yang mengkoordinir aksi unjuk rasa, Jabir mensinyalir terjadinya sengkarut pendudukan lahan kawasan hutan karena adanya mafia tanah yang sebagian diketahui aparat pemerintah. Masyarakat menilai Pemda Kolaka tidak independen menyelesaikan pendudukan lahan sekitar 1.000 hektar pasca pengusulan penurunan status kawasan hutan.
“Kami adalah penduduk pribumi asli dari lima desa. Kawasan hutan yang telah diturunkan statusnya itu separuhnya merupakan tanah ulayat. Tapi kenapa hak-hak kami selaku pewaris tidak diberikan. Justru yang kini kuasai lahan itu adalah bukan penduduk pribumi asli,” urai Jabir dalam orasinya.
Jabir menuding, ada oknum pemerintah yang turun ke lokasi memasang patok, bahkan membagi-bagikan lahan. Anehnya, kalau warga pribumi mau berkebun di areal kawasan pasti diusir atau diancam mau dipenjarakan. Tapi banyak penduduk luar Tanggetada justru dibiarkan masuk menggarap lahan.
Aksi dijaga ketat aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja. Perwakilan demonstran diterima Komisi I DPRD Kolaka. Dalam pertemuan yang dipimpin Musdalim Zakir, ikut dihadiri Asisten I Pemkab Kolaka, Ismail Bella, Kadis Kehutanan Ahmad Bakri dan Kabag Pemerintahan Arifin Jamal. Di sini warga kembali menumpahkan rasa kesalnya.
Warga mengungkapkan, pengusulan penurunan status kawasan hutan seharusnya dalam pemanfaatannya dapat mengakomodir hak-hak masyarakat pribumi asli yang memiliki warisan tanah ulayat sesuai Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
“Kami minta Pemda Kolaka melakukan reformasi agraria. Kemudian tim yang sudah ada dibubarkan karena ditengarai tidak independenn lagi,” tegas seorang warga.
Mendengar keluhan warga, Ismail Bella berjanji akan menindaklanjuti aspirasi demonstran. “Tim yang sudah ada akan dievaluasi kinerjanya. Kalau memang tidak independen lagi tentu akan ditinjau keberadaannya,” ujar Ismail.
Ismail berharap untuk menghindari konflik sebaiknya tidak dibolehkan ada warga yang menggarap lahan dalam kawasan hutan. “Penurunan status kawasan hutan di Kecamatan Tanggetada kan masih berproses. Jadi sebelum keluar surat resminya jangan ada dulu aktivitas warga di dalam kawasan,” pintanya.
Karena itu, lanjutnya, ia berjanji dalam waktu dekat ini akan menggelar rapat dengan tim yang sudah ada. Pemerintah Kecamatan Tanggetada serta pemerintah desa dihimbau untuk bersikap tegas terhadap warga yang melakukan aktivitas pembukaan lahan dalam kawasan hutan.
Terkait dugaan adanya oknum mafia ataupun makelar yang memperjual belikan lahan kawasan hutan, Ismail menyarankan agar oknum itu dilaporkan kepada aparat penegak hukum. “Kalau ada oknum yang menjual lahan dan didukung bukti-bukti silahkan dilaporkan saja di kepolisian. Dan, kalau ada pegawai Pemda Kolaka yang terlibat pasti diberi sanksi tegas,” tutur Ismail.
Sedangkan menyangkut status tanah ulayat yang diklaim warga akan dikoordinasikan dengan pihak BPN dan pihak Kementrian Kehutanan. “Supaya terang benderang mengenai tanah ulayat di Kecamatan Watubangga, kami akan pertanyakan ke pihak instansi terkait,” kata Musdalim dari Komisis I DPRD Kolaka.
Sementara itu, anggota legislatif Rusman dalam rapat menuturkan, dirinya selaku perwakilan Dapil 5 meliputi Kecamatan Tanggetada, telah berulang kali menyampaikan kepada Pemda Kolaka agar serius menyelesaikan pendudukan lahan kawasan hutan.
“Persoalan ini sering saya sampaikan, baik dalam paripurna maupun koordinasi. Tapi sepertinya Pemda Kolaka terkesan kurang serius. Apakah nanti terjadi konflik berdarah baru serius,” sorot Rusman.