Mahasiswa UHO Presentasikan Lulo, Raih Penghargaan di Forum Budaya Asia

Wakil Rektor III UHO, Dr Nur Arafah ketika menerima mahasiswa yang mendapatkan penghargaan internasional, didampingi Dr Rizal Selaku dosen pendamping.

SULTRAKINI.COM: Pada bulan Oktober 2024, sebuah perhelatan budaya yang menggabungkan masa lalu dan masa depan berlangsung di Kuching, Sarawak, Malaysia. Di sana, para pemuda dari 20 negara Asia berkumpul dalam sebuah forum yang bertujuan untuk merayakan dan mempromosikan warisan budaya tradisional, yaitu Asian Culture Heritage Youth Forum.

Forum ini mengusung tema yang penuh makna: “Kreatif Memanfaatkan Kebijaksanaan Tradisional, Inovasi dalam Mempromosikan Perlindungan Warisan Budaya.”

Salah satu proposal yang berhasil mencuri perhatian adalah karya dari tim Indonesia yang dipresentasikan oleh mahasiswa Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara. Proposal tersebut berjudul “Preserving the Lulo Dance as Nation’s Integration: Attractive, Creative, Not Changing the Characters and Values in It” atau dalam bahasa Indonesia, “Melestarikan Tarian Lulo sebagai Integrasi Bangsa: Menarik, Kreatif, Tanpa Mengubah Karakter dan Nilai-Nilai di Dalamnya.”

Proposal ini berhasil menyabet penghargaan bergengsi Best Proposal Incommunity Engagement, menjadi salah satu karya terbaik yang dinilai dari berbagai aspek.

Dipresentasekan oleh kolaborasi sejumlah mahasiswa dari UHO, UNJ, dan Nantong College of science and Technology, yakni Viola Nurhaliza Rachmadini (Universitas Halu Oleo), Nur Dwi Ningsih Rizal Keala (Nantong College of science and Technology), Muh Fajrul Ibsyah Rizal Keala (Nantong College of science and Technology) dan Nur Aura Dewi Bultom A.K (Universitas Negeri Jakarta).

Tarian Lulo adalah tarian tradisional yang berasal dari suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Meskipun sederhana dalam gerakannya, tarian ini menyimpan makna yang mendalam, baik dari perspektif lokal maupun global.

Dalam proposal ini, para mahasiswa berusaha mengangkat tidak hanya asal-usul dan perkembangannya dalam dunia pendidikan, seni, dan pariwisata, tetapi juga bagaimana Tarian Lulo dapat menjadi simbol perdamaian dan kerja sama antarbangsa. Dengan demikian, Lulo tidak hanya sekadar ekspresi seni tradisional, tetapi juga sebuah pesan universal tentang persatuan dan keharmonisan global.

Asal Usul Tarian Lulo: Dari Padi hingga Persahabatan

Tarian Lulo memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Menurut catatan sejarah dan tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat, gerakan Lulo awalnya terinspirasi oleh aktivitas menumbuk padi.

Dalam komunitas agraris, gerakan memutar dan menginjak yang menjadi dasar tarian ini menggambarkan proses pengolahan padi. Seiring berjalannya waktu, gerakan ini diadopsi menjadi bentuk tarian yang merangkum nilai-nilai sosial, seperti persahabatan dan kebersamaan.

Tarian ini sering kali dilakukan dalam berbagai acara adat dan perayaan, di mana masyarakat berkumpul untuk bergandengan tangan, bergerak dalam lingkaran, maju mundur mengikuti irama musik tradisional. Dalam budaya Tolaki, tarian ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga media untuk mempererat hubungan sosial, bahkan menjadi ajang mencari pasangan hidup.

Perkembangan Lulo dalam Pendidikan, Seni, dan Pariwisata

Proposal ini menyoroti bagaimana Tarian Lulo mulai diintegrasikan dalam dunia pendidikan, seni, dan pariwisata. Di sekolah-sekolah di Sulawesi Tenggara, tarian ini diajarkan sebagai bagian dari kurikulum kebudayaan lokal, menjadi salah satu cara untuk melestarikan warisan leluhur dan mengenalkan generasi muda pada identitas budaya mereka.

Selain itu, dalam ranah seni, Lulo telah mengalami berbagai inovasi, tanpa menghilangkan karakter dan nilai aslinya, sehingga tetap relevan dan dapat dinikmati dalam konteks modern.

Dalam industri pariwisata, Tarian Lulo mulai menjadi daya tarik tersendiri. Wisatawan yang datang ke Sulawesi Tenggara sering kali disuguhi pertunjukan tarian ini, yang mengundang decak kagum tidak hanya karena keindahannya, tetapi juga karena nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Melalui upaya-upaya ini, Tarian Lulo tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dipromosikan sebagai kekayaan budaya yang patut dijaga oleh semua pihak.

Makna Global Tarian Lulo: Bundar, Berputar, dan Bersatu

Namun, yang paling menarik dari Tarian Lulo adalah makna global yang bisa ditarik dari gerakannya. Dalam forum Asian Culture Heritage Youth Forum, makna ini disampaikan oleh para mahasiswa Indonesia dengan cara yang sangat memukau para juri.

Lulo, yang gerakannya melingkar dan memutar, menyimbolkan rotasi bumi—bagaimana dunia ini berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Maju dan mundurnya langkah dalam tarian menggambarkan dinamika kehidupan manusia; terkadang kita berada di atas, terkadang di bawah.

Sementara itu, tangan-tangan yang bergandengan erat melambangkan persatuan umat manusia, bahwa kita semua harus bekerja sama dan saling membantu. Tidak ada bangsa yang bisa hidup sendiri tanpa dukungan dari yang lain.

Makna inilah yang membuat proposal mahasiswa Indonesia begitu istimewa. Pesan tentang perdamaian dan persatuan ini begitu relevan di tengah dunia yang terus menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan konflik antarbangsa.

Tidak heran, makna ini menjadi sorotan utama dalam sambutan Ketua Forum, yang menegaskan bahwa semangat kebersamaan yang ada dalam Tarian Lulo sangat relevan dengan tujuan forum ini, yaitu membangun jaringan antarbudaya di Asia.

Prestasi dan Harapan Masa Depan

Keberhasilan mahasiswa Universitas Halu Oleo tidak hanya diakui dalam forum tersebut, tetapi juga membuka peluang baru untuk kerja sama internasional. Salah satu hasil nyata dari keberhasilan ini adalah terjalinnya kerja sama antara Universitas Halu Oleo dengan Nantong College of Science and Technology, sebuah universitas ternama di China.

Kerja sama ini mencakup pertukaran mahasiswa dan kolaborasi penelitian, yang diharapkan dapat semakin memperkaya pemahaman lintas budaya di antara para mahasiswa dari kedua negara.

Dr. Rizal, S.Pd., M.Hum., yang mendampingi tim Indonesia dalam forum tersebut, menyatakan rasa bangganya terhadap pencapaian anak-anak didiknya. “Saya bangga melihat anak-anak tampil dengan baik dan penuh semangat. Mereka mampu bersaing dengan peserta lain dari 20 negara Asia, termasuk peserta dari China, Thailand, Malaysia, Filipina, dan India yang banyak di antaranya merupakan mahasiswa S2 dan S3,” ungkapnya.

Ia berharap prestasi ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya, khususnya di Universitas Halu Oleo, untuk terus berinovasi dalam melestarikan dan mempromosikan budaya Indonesia di kancah internasional.

Tahun depan, forum ini akan kembali digelar di Thailand, dan Dr. Rizal berharap mahasiswa Indonesia dapat kembali menunjukkan kebolehan mereka di panggung internasional. Keberhasilan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan panjang untuk mengangkat budaya lokal ke pentas dunia.

Laporan: Frirac

Exit mobile version