Maksiat yang Mengundang Bencana

  • Bagikan
Ilustrasi. (Foto: Google)

Oleh : Dewi Sartika

(Staf Rekam Medis RS BLUD Kolaka)

SULTRAKINI.COM: Selama beberapa minggu terakhir, benar-benar menjadi peristiwa duka bagi negeri ini. Banjir besar yang menjebol tanggul dan merendam sejumlah rumah di berbagai kota, angin kencang, longsor, gunung mletus, cuaca tidak menentu, terasa begitu mudah dijumpai. Dan baru-baru ini pulan jawa terkena gempa yang berpotensi tsunami. Kejadian-kejadian alam tersebut tidak mengenal daerah, negeri ataupun penduduk semuanya terjadi.

Bencana yang datang membuat kita berfikir, kenapa bencana ini sungguh rajin berkunjung. Kita seolah diajak untuk mengingat kembali bahwa Indonesia bukan hanya negeri yang kaya akan sumber daya alam tapi juga negeri yang punya potensi bencana alam melimpah. Indonesia berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia-Australia dan antara Hindia-Pasifik. 

Faktanya, rentetan peristiwa yang dating silih berganti tidak juga membuat bangsa ini belajar. Bisa dikatakan kita lah maestro dunia dalam menghadapi bencana, dan bangsa lain harusnya belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru dihadapi dengan sebatas tawakal.

Kemaksiatan Manusia

Apakah semua bencana yang hadir hanyalah fenomena alam semata yang dikarenakan letak wilayah Indonesia yang rawan terjadi bencana? Secara geografis meskipun kita berada dalam area rawan bencana namun semua ini tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah, pemilik semesta alam. Maka ini bukanlah sekedar fenomena tapi bagian dari kehendak Allah SWT. Dia-lah yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Dzat yang mengatur atau memerintah segala makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-Nya.

Terkait bencana banjir dan yang serupa, di dalam Al Quran, Allah SWT tegas menyatakan bahwa berbagai kerusakan di daratan dan di lautan lebih banyak disebabkan karena kemaksiatan manusia: Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar-Rum [30]: 41).

Ummul Mukminin Aisyah ra pernah menuturkan, bahwa jika langit mendung, awan menghitam dan angin kencang, wajah Baginda Nabi SAW yang biasanya memancarkan cahaya akan terlihat pucat-pasi karena takut kepada Allah SWT. Beliau lalu keluar dan masuk ke masjid dalam keadaan gelisah seraya berdoa, “Ya Allah…aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hujan dan angin ini, dari keburukan apa saja yang dikandungnya dan keburukan apa saja yang dibawanya.”

Aisyah ra bertanya, “Ya Rasulullah, jika langit mendung, semua orang merasa gembira karena pertanda hujan akan turun. Namun, mengapa engkau tampak ketakutan?

Nabi SAW menjawab, “Aisyah, bagaimana aku dapat meyakini bahwa awan hitam dan angin kencang itu tidak akan mendatangkan azab Allah? Kaum ‘Ad telah dibinasakan oleh angin topan. Saat awan mendung, mereka bergembira karena mengira hujan akan turun. Padahal Allah kemudian mendatangkan azab atas mereka.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).

Sungguh sumber keberkahan ada pada ketakwaan dan sumber bencana ada pada kemaksiatan, baik kemaksiatan dalam bentuk pengrusakan lingkungan (pembalakan hutan secara liar, dsb), atau kemaksiatan yang lebih besar lagi, yakni pengabaian syariah Islam. Inilah bentuk kemaksiatan terbesar yang saat ini berlangsung di tengah-tengah umat. Yakni saat hukum-hukum Allah dicampakkan dan hanya menjadi teori dan tidak diterapkan dalam aspek kehidupan. Manusia berpaling dari agamanya sendiri tidak peduli dengan aturan yang telah Allah tetapkan.

Saat hukum Allah hanya diterapkan sebagian dalam aspek kehidupan pribadi sementara dalam aspek kehidupan muamalah aturan Allah ditiadakan. 

Islam tidak hanya sekedar agama, syariat Islam tidak hanya berkaitan aspek ibadah dan kerohanian seperti shalat, zakat, puasa, atau haji semata atau hanya berkaitan dengan masalah moral/akhlak saja. Tetapi meliputi segala hal dan perkara seperti dalam masalah muamalah, ekonomi, politik, pendidikan, sosial-budaya, hukum, keamanan dan sebagainya. Maka sebagai bentuk ketakwaan total kita kepada-Nya tidak lain dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh.

Bersegera terapkan Islam Kaffah

Seharusnya ini semua menjadi bahan renungan bagi kita, makhluk lemah yang tidak memilikidaya dan kekuatan, mengevaluasi diri dari segala kekeliruan dan perbuatan dosa adalah hal yang harus kita lakukan, disamping meminta ampunan dan bertaubat atas segala kemungkaran yang dilakukan. Lebih dari itu, melalui bencana, Allah ingin menunjukkan kekuasaan-Nya kepada manusia. Dengannya Allah juga mengingatkan bahwa manusia itu lemah, akalnya terbatas dan membutuhkan bantuan Allah. Sehingga tidak sepantasnya sombong di hadapan kekuasaan Allah, atau menyangka telah sanggup menguasai dan mengatur dunia seraya meninggalkan petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana.

Maka hendaknya para penguasa dan umat Islam khususnya di Indonesia bermuhasabah atas segala bencana yang ada. Berusaha mengukur sejauh mana ketaatan kita kepada-Nya dan bersegera untuk melumpuhkan segala bentuk kemaksiatan mereka kepada Allah Zat Yang Maha Agung dengan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Itulah bukti sejati ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

  • Bagikan