Oleh Erwin Usman
Telepon pagi dari kawan lama di Sulawesi Tenggara. Bukan tentang perkara hukum. Atau serupa itu. Bukan.
Kali ini, dia curhat soal fenomena. Gejala. Situasi. Keadan. Tentang kampus. Wabil khusus tentang akademisinya. Dosen (untuk mahasiswanya, katanya nanti saja, karena lebih rumit membacanya).
Begini isi curhatnya. Di Sultra ada 3 universitas negeri (PTN). Karena kampus negeri, sudah hampir pasti dosennya bukan kaleng-kaleng. Pakar dan ahli lintas ilmu banyak. Lulusan kampus dalam dan luar negeri yang top. Profesor, Doktor, Master, berjejer rapat.
Kampus swasta (PTS) tidak kalah banyak. Baik di Kendari, maupun di kota kabupaten. Dosennya juga bukan kaleng-kaleng. Berkaliber. Banyak master dan doktornya.
Di kedua jenis kampus itu, kita dengan mudah temukan ahli hukum, sospol, pemerintahan, antropologi, teknik, ekonomi, pertanian, pendidikan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, ekonomi, pertambangan (bidang-bidang ilmu yang bersentuhan langsung dengan kebijakan publik).
Sayangnya, masih curhat kawan tersebut, minim sekali kepedulian dan perhatian mereka, para pakar itu, pada isu-isu aktual strategis di daerah ini.
Misalnya? Rentetan kasus berdimensi korupsi, ketidakadilan hukum, kekerasan dan pelanggaran HAM, perampokan berjamaah sumber daya alam, rendahnya budaya literasi, perusakkan masif lingkungan hidup, kesenjangan kaya-miskin, dan runtuhnya sektor UKM akibat pandemi covid-19.
Ada lagi: pungli, layanan kesehatan dan pendidikan, rendahnya kualitas layanan publik, infrastruktur yang buruk, pembangunan yang berjalan timpang, dan pemerintahan yang dikuasai kroniisme, korup dan auto pilot, serta konsolidasi masyarakat sipil yang makin melemah, nyaris tak diberi perhatian ekstra.
“Situasi ini sudah berjalan sepuluh tahun terakhir,” katanya.
“Minimal berkomentar di media. Atau gelar diskusi publik, membuat petisi bersama akademisi, menulis opini atau memberi pencerahan rutin di sosial medianya. Pilihan aksinya, tersedia banyak di era kekinian,” bebernya bersemangat.
Padahal, harapan masyarakat kecil –mereka yang tidak punya cukup akses pada keadilan – agar jeritannya bisa dibantu disuarakan para akademisi. Karena, di kampus sumber daya lengkap.
Atas curhat tersebut, saya menjawab, barangkali saja mereka selama sepuluh tahun ini sudah maksimal berbuat sebagai intelektual kampus. Kaum terdidik di menara gading yang tinggi. Melancarkan kritik, beri masukan dan saran. Bahkan, berkomentar keras. Cuma, mungkin dengan cara yang senyap. “Beda strategi,” bijak saya, sambil serup kopi. Pelan.
Senyap? Iya. Aman juga.
Maksudnya? Ceklah makna dua kata itu di kamus KBBI. Ada itu, kawanku. Baiklah. Saya periksa dulu maknanya. Nanti kita sambung lagi telepon.
Dan catatan ini, saya akhiri sampai di sini. Kopi saya sudah hampir tandas. Dingin. ***