Memaknai Jejak Hang Tuah Sebagai Tokoh Legendaris Melayu

  • Bagikan
Memaknai Jejak Hang Tuah Sebagai Tokoh Legendaris Melayu. Foto:Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Memaknai Jejak Hang Tuah Sebagai Tokoh Legendaris Melayu. Foto:Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

SULTRAKINI.COM: Tiga negara, 130 penyair, 350 lebih puisi, berkumpul dalam satu jazirah untuk memaknai jejak-jejak Hang Tuah. ‘Jazirah’ merupakan judul buku antologi puisi dengan tebal 400 halaman. Perhelatan yang digelar Kamis (29/11) malam lalu tersebut, seakan membuat sosok Hang Tuah ‘hidup’ kembali.

Para penyair dari berbagai belahan ranah estetik menulis sajak tentang pahlawan Melayu legendaris dari abad ke-15 itu, dalam perspektif dan diksi puitika masing-masing. Para penyair dengan penuh kegembiraan bergema bersama melantunkan sajak pahlawan melayu tersebut.

Delapan dekade silam, Chairil Anwar mungkin cukup baginya menyerukan sejarah lewat puisi, memanggil-manggil nama Diponegoro, mahawira Nusantara pada abad ke-19 yang lebih muda.

“Di zaman pembangunan ini, Tuan hidup kembali,” demikian Chairil berkalam mengenang Pemimpin Perang Jawa itu, “…berselempang semangat yang tak pernah mati.”

Bagi Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi, saat ini diperlukan lebih banyak suara demi merawat dan melestarikan nilai-nilai historis Chairil. Sebab, tiga bulan lalu, bersama Ketua Dewan Kesenian Kepri Hoesnizar Hood, Datuk Rida mengundang sastrawan tanah air dan mancanegara merayakan sosok Hang Tuah melalui bait-bait puisi sebagai sumbangan karya sastra terhadap sejarah.

“Awalnya saya dan Hoesnizar ragu, jangan-jangan tema Hang Tuah yang diangkat ini kurang akrab di telinga para penyair”.

Namun keraguan itu seolah pupus. Pasalnya, beberapa pekan setelah pengumuman jemputan menulis puisi jejak Hang Tuah tersiar di kalangan publik sastra, surat elektronik panitia tak henti-henti menerima kiriman naskah.

“Hampir seribu karya puisi yang masuk,” terang Ketua Panitia Fatih Muftih. Setelah melalui proses kurasi yang ketat, mahkamah para pengadil bijak bestari, Datuk Sutardji Calzoum Bachri, dan Hasan Aspahani dari total 900-an karya puisi akhirnya hanya 350-an judul dinyatakan lulus.

Ya, 350 lebih puisi yang ditulis oleh 131 penyair dari Indonesia, Malaysia, dan singapura terhimpun dalam sebentang jazirah, mencari ruang-ruang pemaknaan baru pada tapak besar tamaddun Melayu yang diwariskan oleh Laksamana Hang Tuah.

Pada Kamis malam yang sedikit rintik pada pelataran MTQ Telukbakau, Bintan, kitab antologi puisi Jazirah diluncurkan secara takzim, sekaligus menandai dibukanya perhelatan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan.

Ketua Dewan Kesenian Kepri, Hoesnizar Hood, memiliki pandangan menarik soal Festival Gunung Bintan. Festival ini, setakat panggung para penyair untuk memberi sumbangsih akal-budi tatkala menapak-tilasi jejak kebesaran Hang Tuah yang memang berawal dari kaki Gunung Bintan ujar Nizar, dalam rilis yang diterima SultraKini.Com.

Namun lebih dari itu, Festival Gunung Bintan menurutnya salah satu jeda atau rehat terbaik darin segala kegemparan politik. Melalui Festival Gunung Bintan, kearifan budaya Melayu meyakinkan kita semua bahwa Indonesia itu ‘Jazirah Puisi’, bukan hanya tanah tumpah hoaks”.

Sumber: Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Laporan: Hariati

  • Bagikan