Memang Bisa Dongeng Tanpa Suara?

  • Bagikan
Pandu (kanan) mendongeng dengan bahasa isyarat di lantai 7 Perpustakaan Nasional atau Pernas, Jalan Merdeka Selatan, dalam Festival Dongeng Internasional Indonesia 2017, Sabtu (4/11/2017) (Foto: Kompa

SULTRAKINI.COM: Tentunya dongeng bukan hal biasa lagi, utamanya di kalangan anak-anak. Berbagai tema akan didengarkan sembari melihat potongan gambar-gambar menyambung alur seritanya. Tapi bagaimana dengan mendongeng tanpa bersuara?

Adalah Pandu, seorang ahli bahasa isyarat yang memperlihatkan pertunjukkannya di panggung Festival Dongeng Internasional Indonesia 2017 di lantai 7 Perpustakaan Nasional, Sabtu (4/11/2017).

“Nye-brang, nye-brang, nye-brang,” Pandu tak bersuara, tetapi bibirnya menggambarkan kata itu, sambil juga sekujur tangan-tangannya bergerak-gerak menggambarkan orang yang sedang menyeberang, seperti dilansir di Kompas.com.

Diaksinya itu, Pandu memeragakan dongeng tentang anak bernama Lula yang berusaha meminjam sepatu ajaib supaya menang lomba lari dan memperoleh hadia untuk diberikan kepada ayahnya.

Selama pertunjukkannya, dia ditemani rekannya yang bercerita dengan suara. Sebab panggung dongeng juga dihadiri pengunjung umum.

Sementara itu, penonton Pandu adalah sebagian anak-anak yang duduk berderet di depan, yang juga menggunakan bahasa isyarat. Dongeng tanpa suara itu spesial untuk mereka.

Karena ritme cerita yang cepat, Pandu sebisa mungkin berbahasa isyarat dengan singkat. Kata yang dipakai pun hanyalah intinya supaya penontonnya paham dengan konsep cerita yang didongengkan.

“Saya kurang tahu mereka (penonton berkebutuhan khusus) biasa pakai (cara komunikasi) yang mana, jadi saya pakai bahasa isyarat dua-duanya, oral (gerak mulut) dan tangan,” ujar pria yang berkegiatan di Pusat Layanan Juru Bahasa Jakarta yang disingkatnya dengan PLJ itu.

Kehadiran Pandu di festival ini sendiri diminta oleh Ariyo Zidni, salah satu pendiri Ayo Dongeng Indonesia, komunitas yang menyelenggarakan festival internasional ini.

Tujuannya agar peran pemberi bahasa isyarat bisa disisipkan dalam dongeng untuk mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus.

Selain Pandu, festival yang berlangsung 4-5 November di gedung baru Pernas—yang punya fasilitas lift braille dan garis-garis timbul pengarah di lantainya—ini sendiri menyuguhkan puluhan pendongeng dari dalam dan luar negeri.

Kelompok teater boneka asal Yogyakarta, Papermoon Puppet Theater, dari dalam negeri, serta Seung Ah Kim (Korea Selatan), Uncle Fat (Taiwan), dan Craig Jenkins (Inggris) merupakan sekian dari sederet pengisi acara.

“Dari cerita-cerita ajaib, kami berharap anak-anak Indonesia akan mampu berimajinasi seluas-luasnya dan mengembangkan kreativitasnya, dan di sinilah peran orangtua dan guru menunjukkan keajaiban sebuah cerita kepada anak-anaknya,” ujar Ariyo.

Sumber: Kompas.com

  • Bagikan