Menakar Calon Kepala Daerah

  • Bagikan
ilustrasi pilkada.foto:google image

Oleh : Samsul

 

“Buta yang paling buruk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu harga kacang, harga ikan, harga sepatu dan harga-harga lainya semua naik dan turunya tergantung pada keputusan politik. (Bertolt Brecht, Penyair Jerman)”

Berangkat dari syair diatas, menarik untuk dibincangkan bagaimana seharusnya masyarakat berperan dalam politik. Hal ini dipandang perlu mengingat pilkada serentak akan dilaksanakan bulan juni diikuti 171 daerah diseluruh Indonesia yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Tak terkecuali pilkada sulawesi tenggara.

Pilkada merupakan sebuah momentum masyarakat untuk menentukan arah pembangunan daerah lima tahun kedepan. Dimana masyarakat akan memilih pemimpin yang membawah aspirasi pembangunan daerah. Karena pada dasarnya Cepat atau lambat pembangunan daerah tentukan oleh keputusan politik. Oleh karena itu, masyarakat harus mengenali calon kepala daerah sebelum menggunakan haknya.

Untuk memahami peran masyarakat dan memilih calon kepala daerah yang terpat, terlebih terlebih dahulu kita perlu memahami konsep demokrasi.

 

Demokrasi

Demokrasi Pertama kali lahir di zaman Yunani pada Abad ke-3 SM. Dimana rakyatnya memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk. Capaian praktis dari pemikiran demokrasi Yunani kuno adalah munculnya “negara kota”. Pada dasarnya, negara bertujuan memajukan kesejahteraan warga negaranya. Maka seseorang pemimpin atau penguasa harus mengerti apa yang akan dipimpin dan bagaimana mewujudkan cita-cita negara.

Abraham Lincoln, mengartikan demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (democracy is goverment of the people, by the people, for the people) yang kemudian dikenal sebagai demokrasi modern. Berangkat dari pemikiran tersebut, melahirkan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy). Atau dengan kata lain Pengisian jabatan kepala daerah menggunakan pemilihan langsung (direct democracy). Tetunya dengan harapan akan terpilih pemimpin yang bijak dalam memimpin.

Demokrasi langsung membuka peluang siapapun dan golongan apapun terlibat dalam pemerintahan. Lebarnya peluang tersebut, memungkinkan lahirnya kepala-kepala daerah yang buruk dari segi kualitas. Hal ini seakan terbukti dengan banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus Korupsi dan berurusan dengan KPK. Bahkan boleh dibilang ini adalah kelemahan dari sistem demokrasi.

Untuk menghindari terpilihnya kepala daerah yang memiliki perilaku koruptif. Patisipasi politik masyarakat dalam pilkada sangatlah penting.

Pilihan Yang Tepat

Apa yang harus dilakukan pemilih untuk menghindari pemimpin yang korup ? untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan tiga syarat yang harus dilihat dari calon kepala daerah.

Pertama, memilih Calon kepala daerah yang memiliki integritas (komitmen untuk berlaku adil dan jujur). Hal ini pernah tegaskan oleh Komisioner KPK La Ode Muhammad Syarif dalam diskusi publik “ Indonesia darurat Intergritas” Januari 2018 di Yogyakarta. Sebagian besar kepala daerah yang berurusan dengan KPK adalah yang tidak memiliki intergritas.  Sehingga kebijakan yang dibuat untuk memuluskan kepentingan-kepentingan para pemodal, kepentingan kelompok dan isi dompetnya. Untuk mengetahui seorang calon berintergritas atau tidak, masyarakat harus kepo (penasaran) terhadap kandidat kepala daerah.

 

Kedua, tidak memilih calon kepala daerah yang banyak mengeluarkan uang saat kampanye (money politic). Karena pengeluaran yang banyak tentunya akan menuntut pemasukan yang setimpal pula. Yah, hal ini terjadi kerena “Tidak ada makan siang gratis” dalam politik. Memilih yang banyak memberi akan melahirkan kapitalisai politik kedepannya. Apa gunanya pesta demokrasi yang membutuhkan biaya mahal dalam penyelenggaraan. Namun terus melahirkan pemimpin-pemimpin korup.

Ketiga, memilih kepala daerah berdasarkan ditawarkan program Pembangunan yang realistis. Realistis artinya dapat terlaksana. Memang agak sulit membandingkan atau menilai program pembangunan yang tepat untuk daerah dari para calon yang ada. Karena tidak ada satupun calon kepala daerah berani bertarung. Jika tidak ada ahli strategi politik dibaliknya. Bahkan beberapa calon berani membayar mahal konsultan politik untuk memenangkan pilkada. Namun perlu di ingat bahwa program Pembangunan yang bagus harus sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan dan kemampuan. Kadang calon kepala daerah menyusun program pembangunan sangat bagus namun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ketersediaan SDM/SDA dan kemampuan untuk melaksanakannya.

Tiga hal diatas perlu menjadi pertimbangan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya di TPS. Agar pemimpin yang yang terpilih yaitu pemimpin yang dapat membawah daerah lebih maju.

 

*)Samsul,

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Wakil Ketua HMP Universitas Gadja Mada 2018.

  • Bagikan