Mencegah Money Politik; Pendekatan Agama dan Budaya

  • Bagikan
Aminuddin Ketua GP Ansor Kabupaten Buton Tengah.fOTO:IST

SULTRAKINI.COM:Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan lain sebagainya.

Selain itu, Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat juga bertujuan untuk memilih pemimpin politik untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah merdeka 1945, Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu, dimulai sejak tahun 1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu pertama tahun 1955 diikuti oleh 39 partai, dan yang memperoleh suara terbanyak yaitu partai PNI dengan jumlah suara sebanyak 8.434.653 atau (22,3%).

Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, Pemilu tahun 1955 belum ada lembaga yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pemilu, kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap lembaga penyelenggara saat itu, menjadi dasar yang kuat oleh pemerintah dalam membentuk kepanitiaan Pemilu tanpa ada lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggara. Pelanggaran pemilu pertama kali terjadi pada Pemilu tahun 1977 dimana terjadi manipulasi perhitungan suara sehingga menimbulkan protes dari partai PPP dan PDI. Protes ini pada akhirnya direspon pemerintah dengan baik membentuk lembaga pengawas Pemilu yang disebut sebagai Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu, untuk mendampingi Panitia Pemilihan Indonesia pada pemilu tahun 1982.

Pasca jatuhnya kekuasaan orde baru, keinginan masyarakat untuk membentuk lembaga peenyelenggara yang bersifat independen semakin menguat, terkhusus lembaga pengawas pemilu mengalami perubahan nomenklatur dari panitia pengawas pelaksanaan pemilu (panwaslak pemilu) berubah menjadi Panitia Pengawas Pemilu. Perubahan mendasar Panitia Pengawas Pemilu yaitu setelah diterbitkannya UU No. 12 tahun 2003. Menurut undang-undang ini lembaga pengawas pemilu bersifat adhoc dari pusat sampai daerah, dan selalu disempurnakan mulai dari terbitnya UU No. 22 tahun 2007, UU No. 15 tahun 2011, terakhir pada UU No. 7 tahun 2017.

Dinamika kelembagaan pengawas pemilu sampai saat ini masih terus berjalan terutama pada penguatan kewenangan dalam menangani sengketa pemilu. Sejak UU No. 15 tahun 2011, hingga UU No. 7 tahun 2017, semakin mempertegas tugas Bawaslu menjadi lebih kompleks untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik dalam pemilu.

Penguatan kelembagaan pengawas pemilu pada aspek wewenang telah menjawab segala persoalan teknis penyelenggaraan. Namun, ada persoalan penting yang sampai sekarang masih menjadi polemik, yaitu terkait praktek money politik. Pendewesaan dalam berpolitik dengan cara pendidikan pemilih yang konservatif belum mampu secara maksimal menyelesaikan persolan praktek money politik.

Money Politik adalah ancaman besar terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Praktek politik uang dalam setiap pemilukada merupakan persoalan yang harus dicari jalan keluarnya. Masyarakat yang meyakini pemilu merupakan sarana untuk memperoleh keuntungan akan berpengaruh terhadap sosialisai visi-misi kandidat, karena hanya akan dianggap sebagai syarat formalitas kandidat. Selebihnya masyarakat hanya fokus pada seberapa besar transaksi uang yang dilakukan.

Sebagaimana diketahui bahwa Politik uang dilarang sebagaimana telah diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal 187 huruf (a) sampai (d). Dari data survey yang diperoleh Founding Father House (FFH), 71% masyarakat memilih menerima suap yang diberikan oleh kandidat, dan 21% memilih menolak. Selain itu, Bawaslu menerima laporan sebanyak 600 kasus pelanggaran praktek Politik Uang pada Pilkada serentak tahun 2017. Selain itu, larangan penggunaan politik sara juga diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal 69 huruf (b) meskipun dianggap masih kurang maksimal, karena ada keterbatasan penindakan hukum.

Secara prinsip, bentuk pelanggaran pemilu terkhusus praktek money politik telah masuk keranah kultural. J. Piliang (2011) menyatakan bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan umum, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Disini dipahami dengan jelas bahwa tidak ada batasan yang jelas untuk membatasi praktek politik uang dengan dana kebutuhan kampanye dan sebagainya.

Karena politik uang telah masuk ke ranah kultural, maka langkah pencegahannya semestinya masuk pula ke ranah kultural. Di sisi lain, penguatan regulasi seperti Pemilu yang memuat larangan politik uang dan menebar isu sara seyogyanya sudah mampu memberi dampak berkurangnya praktek Politik Uang dan isu sara tersebut. Keseriusan pemerintah dalam memerangi praktek politik uang tidak hanya sebatas sanksi sebagaimana dalam penindakan. Tetapi mesti ada langkah preventif yang terlembaga terkait praktek ini. Langkah pencegahan bisa dilakukan dengan ideologisasi kultur masyarakat Indonesia dengan mengambil pranata sosial dan doktrin moral agama untuk selanjutnya diinternalisasi dalam mekanisme sebagaimana diatur dalam regulasi.

Mekanisme pencegahan konservatif yang selama ini di jalankan masih belum mampu mengatasi persoalan politik uang, upaya menyelenggarakan pendidikan pemilih dengan cara seminar dan diskusi politik hanya dipandang sebatas statetment formal. Seharusnya, ideologisasi politik cerdas harus masuk dicelah praktek kehidupan bermasyarakat dan beragama, penguatan pranata sosial dan agama dalam lingkungan masyarakat harus berperan penting dalam mencegah praktek politik uang. Peranan tokoh agama, ulama dan masyarakat sangat diperlukan mengingat kultur masyarakat yang paternalistik ini dianggap sangat evektif dalam meng-ideologisasi aturan dan larangan dalam Pemilu. Ceramah dan khutbah ataupun pertemuan tokoh masyarakat sampai tingkat desa merupakan ruang yang sangat tepat dalam menggalang sosialisasi politik bersih dan cerdas.

Untuk itu, masyarakat harus memiliki pandangan yang sama dalam kontes praktek politik dan agama. Semua orang meyakini bahwa agama mengurusi segala urusan dunia dan akhirat. Dengan demikian, pencegahan praktek politik uang adalah hal yang seharusnya dijawab oleh keberadaan lembaga agama dan budaya. Pendidikan pemilih yang dianggap mainstream yang selama ini tidak mampu meminimalisir persoalan yang telah mengakar dan membudaya. Penekanan pada ideologisasi tentang pelanggaran pemilu yang pada tataran nilai tidaklah berbeda dengan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Jika membunuh dan mencuri selain melanggar hukum positif juga melanggar prinsip doktrin moral Agama dan Budaya, maka pelanggaran Pemilu dalam hal ini money politik, juga merupakan pencideraan terhadap prinsip dari doktrin moral Agama dan Budaya itu.

Doktrin moral yang dimaksud disini adalah menyangkut batasan tentang nilai baik-buruk, benar-salah. Agama melalui kitab suci sangat gamblang menggambarkan tentang parameter baik-buruk, benar-salah, serta halal-haram. Sebagaimana budaya telah memberikan hal yang sama dengan konsep kearifan lokal seperti budaya malu dalam melakukan hal-hal buruk yang tidak sesuai aturan. Money politik adalah sebuah tindakan pelanggaran Pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang, sekaligus pelanggaran terhadap prinsip Agama dan Budaya.

Infiltrasi pemahaman tentang pelanggaran Pemilu juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip agama dan budaya kepada masyarakat meski dilakukan. Dalam konteks ini, peran stakeholder sangat dibutuhkan. Dalam upaya perwujudan pencegahan money politik, bawaslu senantiasa melibatkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat, NGO, pemerintah, organisasi pemuda dan kemahasiswaan. Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu dengan kewenangan besar sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Pemilu maupun Pilkada, dalam mengejawantahkan tugas pencegehan pelenggaran pemilu, sedemikian mungkin mampu memformulasikan gagasan pendekatan agama dan budaya. Tentu saja, hal ini demi mewujudkan keadilan pemilu, sbagaimana telah menjadi slogan Bawaslu.

Oleh : Aminuddin
Ketua GP Ansor Kabupaten Buton Tengah

  • Bagikan