Mengenal Pogeraha Adhara yang Bernilai Sejarah Ribuan Tahun

  • Bagikan
Atraksi dua ekor kuda jantan perebutkan kuda betina (coklat tua) oleh masyarakat Suku Muna di lapangan bola Desa Liabalano, Kecamatan Kontunaga. (Foto: Arto Rasyid/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: MUNA – Keindahan pariwisata Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, tidak hanya terkenal dengan objek baharinya. Pulau di tenggara Sultra ini, menyimpan kekhasan budaya yang ada sejak ribuan tahun silam. Dikalangan orang Muna, dikenal dengan sebutan ‘Pogeraha Adhara’ atau atraksi adu kuda.

Atraksi melibatkan dua kuda jantan yang dipertemukan di lapangan sebagai tempat arena adu kuda. Ada juga peran pawang yang ikut melancarkan jalannya atraksi, termasuk menjaga penonton disekitar jika kuda mulai agresif. 

Tidak ada istilah menang atau kalah dalam pertunjukkan tradisional itu, pawang kuda akan melerai keduanya ketika salah satu kuda terlihat terpojokan yang artinya pertarungan dirasa cukup.

Pogeraha Adhara memiliki makna filosofi tinggi sebagai simbol harga diri yang harus dipertahankan, begitula orang Muna mengenalnya. Dilansir dari Kompas.Com, Bupati Muna yang ketika itu dijabat LM. Baharuddin mengatakan, harga diri yang dapat dipelajari dari adu kuda, yakni dalam situasi normal, kuda jantan tidak akan bersikap agresif apabila keluarga dalam kelompok yang dipimpinnya tidak diusik. Tetapi ia akan berjuang mati-matian membela keluarganya apabila diganggu kuda lain.

Jadi wajar saja sebelum atraksi kuda, para pemiliknya memisahkan masing-masing kuda jantan dari betinanya kemudian mendekatkan kuda itu ke yang bukan pasangannya. Disitulah awalnya adu kuda terlihat agresif.

Tradisi turun temurung tersebut, salah satunya terselenggara di Desa Liabalano, Kecamatan Kontunaga. Seperti dikatakan Tokoh Masyarakat desa setempat, Laode Mukadas, bicara tentang kuda tentu tidak terlepas dari Gua Liang Kobori di Desa Mabolu, Kecamatan Lohia. Sebab terdapat ornamen lukisan kuda berumur ribuan tahun lalu di sisi-sisi dalam gua yang menceritakan nenek moyang Suku Muna menggunakan kuda sebagai alat transportasi berburu dan berperang sejak zaman purbakala.

Menurut Mukades, zaman Kerajaan Muna dulu populasi kuda mencapai ribuan ekor. Oleh para bangsawan dan masyarakat, kuda juga dijadikan alat transportasi. Tidak jarang hewan ini dijadikan hiburan menyambut tamu penting kerajaan melalui atraksi adu kuda. Sehingga hewan ini kemudian dijadikan lambang Pemerintah Kebupaten Muna hingga kini.

“Itulah kuda merupakan hewan yang memiliki fungsi sosialnya tinggi,” katanya usai atraksi adu kuda kepada SultraKini.Com, Rabu (12/04/2017).

Beda halnya di zaman sekarang ini, populasi kuda kian menurun di daerah tersebut. Efeknya juga terasa di atraksi yang jarang terselenggara, apalagi di hari-hari besar setiap tahunnya.

“Dulu perkelahian kuda bisa dilihat dimana saja, karena hampir setiap masyarakat beternak kuda. Tapi karena seiring perkembangan, kuda sekarang hanya di miliki orang tertentu. Mudahan kedepannya Pemda Muna menjadikan perkelahian kuda sebagai salah satu destinasi wisata di Kabupaten Muna,” ucap Mukadas.

Laporan: Arto Rasyid

  • Bagikan