Menggagas Pembiayaan Pilkada Alternatif

  • Bagikan
La Husen Zuada
La Husen Zuada

Oleh: La Husen Zuada (Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Untad, Palu)

Problematika yang seringkali muncul dalam setiap pelaksanaan Pilkada adalah persoalan anggaran untuk melaksanakan Pilkada. Problematika penganggaran Pilkada ini menyangkut dua hal: Pertama, mahalnya biaya untuk menyelenggarakan Pilkada. Kedua, mekanisme penganggaran Pilkada melalui proses politik. Pada poin pertama, yaitu besarnya anggaran untuk melaksanakan Pilkada ini seringkali menyulitkan pemerintah daerah yang miskin APBD, sehingga menganggu tahapan Pilkada. Sedangkan pada poin kedua, yaitu mekanisme penganggaran Pilkada melalui proses politik mempengaruhi besar kecilnya anggaran Pilkada, ikut pula mempengaruhi tahapan Pilkada.

Dalam hal mahalnya biaya Pilkada memang tak bisa dipungkiri, sejak Pilkada 2005 hingga 2018, anggaran pembiayaan Pilkada terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, pelaksanaan Pilkada menghabiskan anggaran sebesar 1,3 triliun rupiah, jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 3,54 triliun rupiah. Selanjutnya, pada era Pilkada serentak, jumlah anggaran Pilkada terus mengalami kenaikan. Tahun 2015 berjumlah 7,09 triliun rupiah, tahun 2017 sebesar 5,96 triliun rupiah, tahun 2018 sebesar 15,16 triliun rupiah. Besarnya anggaran Pilkada ini seringkali mendowngrade pelaksaanan Pilkada langsung karena terlalu boros, sehingga memunculkan pemikiran untuk mengembalikan Pilkada lewat DPRD sebagai solusi dalam mengatasi persoalan anggaran.

Isu yang tidak kalah menariknya dalam penganggaran Pilkada adalah adanya proses politik didalamnya yang memungkinkan terjadinya konflik kepentingan, sehingga berpontensi menganggu integritas dan independensi pemilukada. Hal ini dikarenakan anggaran Pilkada bersumber dari APBD, yang mana dalam proses pembahasannya melibatkan eksekutif, legislatif dan penyelenggara Pemilu. Tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara Pemilu adalah, bagaimana dalam proses pembahasan anggaran Pilkada mampu menjaga integritas dan independensi pelaksanaan Pilkada, ditengah tarik menarik kepentingan politik DPRD dan pemerintah daerah yang menjadi bagian dari peserta Pilkada, terutama partai politik dan kandidat peserta Pilkada.

Model Pembiayaan Pemilu di Indoensia

Upaya untuk menyelesaikan problem penganggaran Pilkada telah menjadi perhatian para sarjana politik dan pengambil kebijakan. Meski demikian, solusi yang ditawarkan masih berkutat pada dua hal yaitu mengembalikan Pilkada lewat DPRD dan menyelenggarakan Pilkada serentak. Pelaksanaan Pilkada lewat DPRD tentu bertentantangan subtansi demokrasi (kekuasaan rakyat). Hal ini juga memperlihatkan miskinnya kreativitas para aktor pengambil kebijakan. Sementara Pilkada serentak, nyatanya tidak serta merta mengatasi problematika pembiayaan Pilkada yang memberatkan pemerintah daerah. Berangkat dari problematika tersebut, maka penting untuk mendiskusikan dan mengkaji model pembiayaan Pilkada alternatif.

Dalam literatur kepemiluan, setidaknya ada empat sumber anggaran pemilu yang dipraktekan oleh berbagai negara didunia yaitu: pertama, bersumber dari anggaran negara yaitu biaya pemilu yang dialokasikan dari anggaran negara. Kedua, lembaga internasional yaitu anggaran yang bersumber dari lembaga-lembaga donor internasional, seperti PBB, Komisi Eropa, USAID, dan lain-lain. Praktek semacam ini lazim ditemukan di negara-negara konflik atau pasca konflik, seperti: Kamboja, Mozambik, Bosnia dan Herezgonica, Timor Timur, Sieera Lone, Afghanistan, Irak dan Palestina (IDEA, 2016). Ketiga, bantuan donasi dari korporasi, pengusaha, filantropis. Praktek semacam ini dilakukan oleh Afrika Selatan, Namibia dan Bostwana (IDEA, 2016). Keempat, penggalangan dana oleh penyelenggara Pemilu, yang bersumber dari denda pelanggaran pemilu, iuran pencalonan, deposit kandidat, proses administrasi pemilu, ongkos percetakan data registrasi pemilu dan biaya publikasi. Penganggaran semacam ini dipraktekan oleh Australia, Hungaria dan Zambia (IDEA, 2016).

Dari empat model pembiayaan Pemilu di atas, Indonesia menganut konsep yang pertama, dimana anggaran pemilu bersumber dari anggaran negara, yang terbagi dalam dua kluster pemilu, nasional dan lokal. Pemilu nasional bersumber dari APBN, sedangkan anggaran pemilu lokal bersumber dari APBD. Akibat dari pembiayaan yang dibebankan pada APBD ini kajian FITRA tahun 2010 memperlihatkan adanya beberapa daerah yang mengalami keterlambatan dalam pembahasan, pengesahan dan pengalokasian anggaran Pilkada. Hal ini selain dikarenakan jadwal pembahasan APBD tidak sejalan dengan jadwal Pilkada, juga diakibatkan oleh tarik menarik kepentingan dalam pembahasan anggaran yang melibatkan penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif).

Disisi lain penganggaran pembiayaan Pilkada lewat APBD sangat rentan dengan konflik kepentingan lokal, terlebih lagi jika petahana ikut berkompetisi (Rizkiansyah dan Silitonga, 2019). Studi Pratama, Agustiyati dan Sadikin (2018) menemukan bahwa di daerah-daerah dengan calon petahana yang mendapat dukungan minoritas Parpol di DPRD, maka DPRD cenderung memotong jumlah anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Sebaliknya, di daerah-daerah dengan calon petahana yang mendapat dukungan mayoritas Parpol di DPRD, maka DPRD cenderung menyetujui atau bahkan menambah jumlah anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Selain itu, daerah-daerah yang tidak memiliki calon petahana atau calon petahana yang berasal dari wakil kepala daerah sebelumnya, cenderung memotong jumlah anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dengan alasan efisiensi dan keterbatasan anggaran.

Mengenalkan Corporate Political Responsibility

Salah satu solusi dalam mengatasi problem pembiayaan Pilkada adalah memungkinkan keterlibatan korporasi dalam pembiayaan Pilkada atau Corporate political responsibility (CPR). Istilah CPR ini meminjam konsep corporate social responsibility (CSR), yaitu bentuk tanggung jawab sosial yang dibebankan pada setiap perusahan yang menanam investasi pada suatu kawasan. Logikanya adalah bahwa setiap perusahan memiliki tanggung jawab sosial dalam melakukan aktivitas perusahan yang diwujudkan dalam bentuk pembiayaan pendidikan, kesehatan dan keberlangsungan lingkungan hidup.

Pembiayaan Pilkada oleh korporasi sangat dimungkinkan, karena sejatihnya perusahan memiliki kepentingan atas hasil pemilukada, sekurang-kurangnya adalah kelangsungan investasi mereka, terlebih lagi jika suatu daerah memiliki sumber daya yang dapat menarik investasi. Pembiayaan Pilkada melalui CPR bukan berarti memberatkan korporasi akibat adanya alokasi anggaran khusus kegiatan politik. Porsi anggaran CPR tidak perlu memunculkan anggaran baru dalam pengeluaran perusahaan, tetapi cukup mengikut pada anggaran CSR yang selama ini dibebankan pada perusahan. Sehingga, CSR selain memiliki item untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan dan lingkungan, perlu memasukan pula tanggung jawab politik.

Pembiayaan Pilkada melalui anggaran CSR akan memperjelas akuntabilitas pengelolaan dana CSR, yang selama ini masih hitam putih dalam pengalokasian dan pengelolaannya. Lebih dari itu, pembiayaan pilkada oleh korporasi juga sebagai bentuk proses legalitas korporasi untuk terlibat dalam Pilkada yang bertujuan untuk kemaslahatan publik secara luas. Yang mana selama ini korporasi sesunggunhya telah secara diam-diam (illegal) terlibat dalam arena Pilkada, namun hanya menguntungkan sejumlah elit politik melalui bantuan pendanaan Pilkada pasangan calon. Akan lebih baik, praktek illegal korporasi ini dilegalkan untuk kepentingan publik lebih luas, salah satunya pembiayaan anggaran Pilkada yang selama ini sepenuhnya bersumber dari anggaran negara. ***

  • Bagikan