Mengupas 'Densus 888'

  • Bagikan
Oleh: Hasni Tagili (Dosen Universitas Lakidende & Aktivis MHTI Konawe) Foto: Ist

Oleh: Hasni Tagili

(Dosen Universitas Lakidende & Aktivis MHTI Konawe)

Dekadensi kesehatan serius (‘Densus’) terhadap masyarakat Kota Kendari ditimbulkan oleh pabrik kecap dengan merek 888. Bagaimana tidak, setelah dilakukan penggerebekan, pada hari Selasa 6 September 2016, pabrik kecap ini disegel. Hal tersebut dilakukan karena pabrik ini, walau sudah 22 tahun beroperasi, tidak memiliki kelengkapan surat dari instansi terkait termasuk dari BPOM. How come?

Dekadensi Kesehatan Serius ‘888’

BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Kota Kendari bersama Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dan Dinas Kesehatan Kota Kendari menggerebek pabrik kecap yang diproduksi oleh PT Sumber Baru. Dalam penggerebekan ini, telah disita 123 lusin produk kecap jadi atau setara dengan 1.476 botol, berikut dengan bahan-bahan lainnya, dan beberapa botol kecap kosong (Kabarkendari.com, 06/09/2016).

Kepala BPOM Sultra, Adilah Pababbari, mengatakan bahwa pabrik ini tidak memiliki kelengkapan surat dari instansi terkait termasuk dari BPOM. Selain itu, dalam proses pembuatan kecap, banyak ditemukan bahan tambahan pangan yang tidak terdaftar di BPOM yang disinyalir berasal dari Cina. Menurut Adilah, pabrik kecap 888 yang letaknya tepat berhadapan dengan Kantor Lurah Watulondo Kecamatan Puuwatu ini, sejak tahun 1994 tidak pernah memperbaharui izin produk, bahan-bahan yang di gunakan oleh pabrik kecap ini pun tidak memenuhi standar dan tidak terdaftar di BPOM (Rakyat Sultra, 07/09/2016).

Lebih lanjut Adilah membeberkan bahwa pihaknya menemukan bahan Caramel Color yang berasal dari Cina dan tidak terdaftar di BPOM. Jenis kedelai yang digunakan sebagai bahan dasar pun tidak terdapat sama sekali identitasnya dari produk itu. Mirisnya, suasana pembuatan kecap tidak memperhatikan unsur sanitasi. Belum lagi, peredarannya di Sulawesi Tenggara ternyata cukup ‘panjang umur’.

Selain tidak memiliki izin edar hasil olahan pabrik, berdasarkan hasil uji laboratorium, pengawet dan pemanisnya melebihi ambang batas. Tidak hanya itu, cara pengolahan kecap dari pabrik juga dinilai tidak sesuai dengan produksi pangan yang seharusnya. Untuk menghindari bahaya atau resiko terganggunya kesehatan, pihak BPOM akan memproses pabrik yang bersangkutan (Rakyat Sultra, 07/09/2016).

Adilah menyebutkan bahwa salah satu dampak yang ditimbulkan dengan beredarnya kecap ini yaitu merusak kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak. Apalagi, pabrik kecap yang beroperasi dari hari Senin sampai Jumat ini sudah berdiri selama 22 tahun. Hampir semua penjual bakso di gerobak dorong memakai kecap ini. Warung-warung juga memakainya, tetapi tidak semua. 

Sementara itu, keterangan berbeda diperoleh dari pemilik pabrik kecap 888, Anwar Que. Ia mengatakan bahwa pabriknya berdiri sejak tahun 2005. Menurutnya, izinnya sudah ada dari pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Kendari (Kabarkendari.com, 06/09/2016). Ia juga menuturkan bahwa bahan-bahan yang ia gunakan berasal dari Makassar dan Surabaya. Adapun Caramel Color digunakan sebagai penghitam kecap yang berasal dari Surabaya.

Anwar Que mengungkapkan bahwa dalam sepekan, pihaknya bisa memproduksi sekitar 3.000 botol kecap yang dipasarkan ke Kota Kendari dan Unaaha, Kabupaten Konawe.

Berkaitan dengan ilegalitas badan usaha, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada bulan Agustus 2014, mengidentifikasikan ada 750 perusahaan investasi penipuan. Pada bulan November 2014, OJK akhirnya merilis daftar 262 nama perusahaan ilegal tersebut. Dari jumlah tersebut, 218 merupakan perusahaan penawaran investasi tanpa izin dari pihak berwenang, sementara 44 sisanya terkait dengan kewenangan perizinan sejumlah instansi seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil Menengah, Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Berjangka (Bappebti), Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Akar Masalah

Terjadinya kasus ‘Densus 888’ ini diantaranya disebabkan oleh 3 hal. Pertama, pengurusan berkas administratif yang berbelit-belit. Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum ‘kerepotan’ pengurusan berkas administrasi apa saja, entah itu berkas KTP, pajak, SIUP, SITU, atau yang sejenisnya. Pabrik kecap berlabel 888 yang tidak mengantongi kelengkapan surat dari instansi terkait termasuk dari BPOM itu bisa jadi merasa kerepotan jika harus mengurus berkas administratif tersebut. Apalagi, cara mengurusnya, baik manual maupun online ternyata tidak seefektif yang diharapkan.

Dilansir dari Okezone.com (18/06/2016), salah seorang warga, Awalludin Amin, merasa bahwa perizinan di Indonesia masih berbelit-belit, khususnya dalam hal perpajakan. Awal memandang, inovasi yang dilakukan Ditjen Pajak dengan mengeluar sistem pembayaran online justru semakin menyulitkan. Pasalnya sistem internet yang ada masih sangat buruk, belum merata ke seluruh pelosok.

Kedua, maraknya calo perizinan. Azis Imam Samudra, warga yang berprofesi sebagao trader ini pernah punya pengalaman buruk ketika mengurus KTP. Ia menceritakan, kala itu dirinya hendak memperpanjang masa KTP sekaligus beralih ke E-KTP. Namun karena alamat KTP yang lama berbeda dengan tempat tinggalnya saat ini, maka urusannya pun berbelit-belit. Alhasil, Azis lebih memilih untuk membayar jasa Ketua RT-nya untuk mengurusi hal tersebut sebesar Rp500 ribu.

Dilansir dari Ampera.co (13/07/2015), mengurus izin usaha tanpa melalui perantara (calo) di kota Palembang ternyata masih tak semudah iklannya. Masih banyak kesulitan yang ‘dibuat’ berhari-hari dan masih munculnya biaya ‘lain-lain’ yang harusnya gratis. Selain itu, pengurusan rekomendasi camat dan persetujuan BKPMD harus diurus sendiri secara terpisah. Pengurusan rekomendasi camat ini ternyata bisa tuntas dalam satu hari yang sama (jika camat yang bersangkutan ada ditempat), namun ada biaya ‘sukarela’ untuk surat rekomendasi tersebut.

Ketiga, lalainya negara dalam menjaga kesehatan masyarakat. Sungguh miris mengetahui fakta bahwa pabrik kecap ‘ilegal’ berlabel 888 ini sudah 22 tahun berdiri. Kecap ini bahkan mampu memproduksi 1000 lusin/minggu dengan sasaran masyarakat umum. Negara pun ‘kecolongan’. Apalagi, dalam suasana pasar bebas saat ini, produk-produk makanan dan minuman sudah bebas dipasarkan dimana saja. Sehingga, bila tidak ada pengawasan yang ketat dari aparat teknis, maka masyarakat akan dirugikan. Ditambah lagi, tidak adanya ketaqwaan individu dari pihak pengelola yang mengoperasikan pabrik kecap ini secara serampangan. Kesehatan dan keselamatan orang lain tidak lagi diperhitungkan selama hal tersebut menguntungkan. Inilah sistem kapitalisme sekuler dimana kebanyakan orang standar berpikirnya menjadi individualistik. 

Pandangan Islam

Perniagaan atau perdagangan merupakan salah satu jenis pengembangan kepemilikan dan jelas terdapat dalam hukum seputar jual beli dan kerjasama usaha. Dalam Islam, perniagaan dibolehkan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 282, yang artinya “….kecuali merupakan perniagaan secara langsung/tunai (dihadiri kedua belah pihak); yang demikian itu tidak mengapa jika tidak kalian tuliskan.”  

Perdagangan ada 2 macam, perdagangan dalam negeri dan perdangan luar negeri. Perdagangan dalam negeri hanya terikat dengan apa yang telah dinyatakan dengan hukum syara’ yang terkait dengan jual beli. Jenis barang dan distribusinya diserahkan kepada setiap orang yang melakukan perdagangan dengan tetap mengacu pada syariat Islam. Negara tidak memiliki kewenangan, kecuali sekedar mengaturnya saja. Sedangkan, perdagangan luar negeri harus tunduk sepenuhnya pada kewenangan negara secara langsung (Taqiyuddin an-Nabhani, 2010, Sistem Ekonomi Islam, hal.194).

Adapun sistem pengurusan berkas administratif dalam Islam, termasuk perizinan dagang, pada hakekatnya sangat mudah untuk dipraktekkan sebab tidak memerlukan birokrasi yang bertele-tele dan calo ‘kapitalis’, seperti dalam perekonomian konvensional. 

Perniagaan juga tidak boleh dilakukan tanpa ada aturan yang baik dan benar. Bagi seorang Muslim, aturan tersebut haruslah berdasarkan tuntunan Allah SWT; jujur dan terpercaya. Abu Zaid meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Pedagang yang terbiasa berlaku jujur dan terpercaya akan bersama-sama para nabi, shiddiqin, dan para syuhada.” (HR at-Tirmidzi). Tentunya tidak dibolehkan saling menjatuhkan satu sama lain, melakukan persaingan tidak sehat, menipu, dan merugikan orang lain, seperti yang marak terjadi hari ini. Allah SWT berfirman dalam QS. an-Nisa: 29, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perniagaan yang didasari kerelaan di antara kalian.”

Tak kalah pentingnya, negara memiliki peran fundamental dalam mewujudkan perniagaan yang sesuai hukum syara’, termasuk perniagaan yang tidak merusak kesehatan masyarakat. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari). 

Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan akan mendatangkan dharar (bahaya) bagi masyarakat. Sedangkan dharar wajib dihilangkan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.” (HR Malik).

Adapun kebijakan kesehatan dalam Khilafah (sistem pemerintahan Islam) memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan. Contohnya, perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (baik) dan larangan atas makanan berbahaya. Temuan bahan pengawet dan pemanis yang melebihi ambang batas pada kasus penggerebakan pabrik kecap berlabel 888 tadi jelas jauh dari kategori makanan thayyib. Belum lagi sanitasi pembuatan kecap yang tidak memenuhi standar, menempatkan produk kecap tersebut dalam deretan makanan berbahaya.

Selain itu, Islam juga memerintahkan untuk tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif sebaga syariah sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat. 

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kita kembali kepada syariah Islam agar dekadensi kesehatan serius tidak terus berulang. Perniagaan berbasis kemudahan dan kemaslahatan kesehatan merupakan hak dambaan masyarakat. Sudah menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Wallahu ‘alam bisshawab.

  • Bagikan