Menyoal Full Day School

  • Bagikan

Oleh: Nurbaya Al Azis, S.Pd (*)

Di awal tahun pelajaran 2017/2018 dunia pendidikan kembali diwarnai dengan kebijakan baru yang mencuat kepermukaan. Sejak dikeluarkannya kebijakan FDS (Full Day School) atau lima hari sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pro kontra terus bermunculan di tengah-tengah masyarakat. 

Menurut menteri Muhajir Effendy, tujuan FDS adalah untuk membentuk karakter siswa. Selain itu beliau juga menilai bahwa ketika siswa pulang lebih awal, pergaulan siswa menjadi tidak terkontrol, kedua orang tua yang sibuk bekerja dan baru pulang sore hari akan sulit mengawasi anak-anaknya. Akibatnya, siswa bebas keluyuran di luar rumah dan memungkinkan mereka melakukan hal-hal negatif dilingkungan tempat tinggal mereka.

Di Balik Kebijakan FDS

Sepintas, kebijakan Full Day School sangat bagus. Namun jika dicermati lebih jauh, realitas di masyarakat justru terlihat sangat memprihatinkan. Kekhawatiran yang dikemukakan oleh menteri bahwa dua orang tua yang bekerja akan kurang dalam memperhatikan anak-anaknya agaknya kurang objektif jika menjadi alasan diterapkannya full day karena orang tua yang bekerja hanya ramai kita temukan di kalangan “elit” di kota besar. Jika dikalkulasi jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia secara umum. Kita juga tentu tidak bisa menampikkan kebiasaan anak-anak pulang sekolah kemudian bermain hampir sama dengan banyaknya anak yang harus membantu orang tua mencari nafkah.

Dibeberapa daerah muncul anggapan bahwa FDS mengganggu kebiasaan baik yang harusnya dipupuk oleh setiapanak. Salah satunya adalah rutinintas di Madrasah Diniyah (Madin) atau Taman Pendidikan al-Quran (TPQ) yang mereka lakukan setelah bermain dan istrahat di rumah. Di madrasah diniyah anak-anak akan belajar membaca, menghafal dan mempelajari Al-Qur’an demi membentuk generasi yang berakhlak mulia.

Seiring dengan berbagai opini yang terus dihembuskan, akhirnya pemerintah memutuskan untuk tidak mewajibkan FDS ditiap sekolah. Penerapan FDS diserahakan pada kesiapan sekolah masing-masing. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan besar dan sepentingini idealnya mempertimbangkan masukan atau opini dari masyarakat sendiri agar dapat dianalisis lebih lanjut dampak FDS in,termasuk gambaran utuh impelementasinya

Beberapa pakar pendidikan yang kontra dengan kebijakan ini berpandangan bahwa penerapan FDS bentuk kekeliruan menyikapi pendidikan. Pendidikan hanya diidentikkan dengan persekolahan saja. Padahal pendidikan maknanya jauh lebih luas. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Dalam Islam,dikatakan bahwa Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Maka seorang Ibu harus mempersiapkan dirinya menjadi pendidik yang baik, mengajarkan nilai-nilai moral, agama dan lain-lain.

Pendidikan, Jalan Penguatan Karakter Anak

Pendidikan bagai tiang sebuah rumah, dimana jika tiang penopangnya sudah rusak maka rumah tersebut tidak akan bisa berdiri. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia seolah tak habis dengan polemik yang muncul silih berganti; masalah kurikulum,fasilitas, kualitas pengajar dan kualitas sekolah selalu saja kita temukan di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi didasari dengan kaburnya konten pendidikan karakter yang melatarbelakangi kebijakan FDS tersebut.

Yang menjadi pertanyaan adalah gambaran karakter seperti apa yang menjadi cita-cita generasi penerus bangsa? Tentunya cita-cita mulia tersebut haruslah mewujudkan generasi yang cerdas, beriman dan bertakwa kepada sang Pencipta, Allah SWT. Bukan justru menguatkan karakter sekuler dan liberal sebagaimana massifnya penyerangan idebarat yang masuk di negara ini.

Maka yang kita butuhkan saat ini adalah sistem pendidikan yang ideal, utuh dari segi ide dan penerapannya, bukan sistem coba-coba hal baru yang tidak didasari oleh pemikiran yang matang dan cemerlang. 

Setiap permasalahan pasti ada solusi maka sebagai seorang muslim, penulis tentu tidak akan menawarkan solusi lain selain Islam. Karena Islam tidak hanya diturunkan sebagai agama saja tapi sebagai pedoman hidup yang mengatur permasalah manusia dalam 3 dimensi kehidupan, yaitu mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (Ibadah), hubungan manusia dengan dirinya (berpakaian, berakhlak mulia, serta hubungan manusia dengan manusia lain (kehidupan sosial dalam bermuamalah,pendidikan, dunia kesehatan, dll). Wallahu A’lam

Penulis adalah Front Officer JILC Kendari. Kontak ke [email protected]

———-

(CitizenS adalah jurnalis warga (Citizen Jurnalisme) pembaca SULTRAKINI.COM. Redaksi memberi ruang pada pembaca untuk berkontribusi artikel (berita/opini/foto) tanpa intervensi (kecuali menyinggung SARA). Segala konsekuensi yang timbul akibat tulisan/gambar kontribusi CitizenS, sepenuhnya tanggung jawab penulis.)

  • Bagikan