Menyoal Rekomendasi Pemilu Prof Hamdan Zoelva

  • Bagikan
Indra Eka Putra
Indra Eka Putra

Oleh: Indra Eka Putra

Ada yang memantik saya saat menilik Wall Facebook Titi Angraini (Direktur Perludem) pertanggal 14 November 2019. Status lengkapnya begini;

“Rekomendasi Pak Prof Hamdan Zoelva untuk Pemilu Indonesia yang disampaikan saat diskusi The Habibie Center 13/11. Mari kita diskusikan” dengan menampilkan tulisan tentang rekomendasi pak Hamdan dalam forum the habibie center tersebut, rekomendasi pak Prof Hamdan Zoelva dalam tulisan Titi Angraini itu antara lain; pemilihan kepala daerah dikembalikan dilakukan DPRD, sistem prorporsional terbuka dengan keterpilihan mayoritas diubah menjadi sistem tertutup. Dilakukan perbaikan rekruitmen oleh partai politik, pemilu diselenggarakan oleh KPU nasional, tetap dan mandiri (pusat, provinsi, kabupaten/kota) dan partai politik sebagai panitia pemilu (pusat sampai TPS). Bawaslu dihapus”.

Begitu gambaran wall Riti Agraini hari ini. Saya coba tidak ingin menelusuri soal kevalidan rekomendasi itu karena saya tahu betul kredibilitas Titi Angraini gak mungkin salah dalam mempost hal-hal yang berbau kutipan tokoh nasional. Oleh karenanya saya ingin fokus pada materi rekomendasi yang diposting oleh Titi Angraini tersebut, toh memang itu harapan beliau dalam postingan tersebut.

Analisa Hukum
Pertama; Pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bahwa argumen demikian yang tautologis bagi penulis hanya “derogatie, afwijking van de regel, nog niet van toepassing” bagi siapa pun yang mengungkapkannya di hadapan publik karena hal serupa telah sering disampaikan oleh banyak pihak dalam berbagai forum diskusi baik lokal maupun nasional dan hanya menjadi gumam dalam semesta diskusi. Tapi kali ini, menjadi menarik karena Prof Hamdan Zoelva adalah mantan ketua lembaga Mahkamah Konstitusi yaitu lembaga yang pernah menafsir Pasal 22 E ayat (5) tentang frasa “komisi pemilihan Umum” tidak menunjuk nama sebuah institusi tetapi pada fungsi.

Putusan ini tertuang dalam putusan Mahkamah Nomor: 11/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan oleh Nur Hidayat Sardini. Lebih lanjut secara de facto dan maupun de jure usulan serupa bukan selemah kali ini, pada 2014 silam usulan ini bahkan telah diketuk, disahkan, dan diundangkan dalam lembaran negara dengan Nomor 22 Tahun 2014 dengan pemilihan menjadi tidak langsung atau kembali ke DPRD namun tak berselang lama karena gelombang protes dari masyarakat luas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 dan hari ini kita kenal sebagai Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota. Artinya persoalan pilkada langsung dan tidak langsung ini harusnya telah finish dan tidak diperdebatkan lagi kecuali soal teknis, model atau metode penguatan kelembagaan pilkada langsung tersebut.

Kedua; Rekomendasi sistem proporsional terbuka dengan keterpilihan mayoritas diubah menjadi sistem tertutup, dilakukan perbaikan rekrutmen partai politik.

Usulan ini juga bukan hal baru, dalam forum KAHMI misalnya yang Prof Hamdan Zoelva juga pernah menjadi presidium di dalamnya membahas tuntas soal ini, dan kesimpulan yang dapat ditarik adalah belum bisa menerapkan model proporsional tertutup jika pembiayaan partai politik tidak ditanggung oleh negara sepenuhnya, pada posisi ini kasus Mulan Jamela dapat menjadi “sample case” untuk menjelaskan model pemilu yang proporsional tertutup tersebut. Meskipun keduanya (terbuka dan tertutup) bukanlah barang yang haram atau “criminal case”. Dia adalah pilihan politik yang menggantungkan pada kebutuhan jamannya dan hari ini proporsional terbuka masih menjadi pilihan yang tepat.

Pertanyaanya “Jika rakyat masih sangat senang dengan model proporsional terbuka, mengapa ada tokoh masyrakat yang diametral dengan yang menokohkannya..?” Apalagi menyerahkan kepada partai politik sepenuhnya tentang siapa yang mendapat kursi dari suara partai tersebut, sekali lagi kasus Mulan Jamela cukup untuk menjelaskan soal ini.

Ketiga; Pemilu diselenggarakan secara nasional, tetap dan mandiri (pusat, provinsi, kab/kota) dan partai politik sebagai panitia pemilu (pusat sampai TPS) Bawaslu dihapus;

Bahwa soal kalimat pertama point ketiga rekomendasi pemilu Prof Hamdan Zoelva ini timbul pertanyaan; “Apakah pelaksanaan pemilu sebelumnya tidak diselenggarakan secara nasional, tetap dan mandiri dari pusat, provinsi, kab/kota?” Hemat saya Prof Hamdan Zoelva harus menenangkan diri sebagai tokoh nasional agar utuh dan adem dalam memberikan argumen-argumen hukum bagi bangsa dan negara ini.
Bagi penulis, bukankan pada Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serta Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah sangat terang menegaskan bahwa model pemilu kita menggunakan 2 (dua) rezim yaitu rezim pemilihan dan rezim Pemilihan Umum. Kemudian dalam Pasal 201 ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6),(7),(8),(9),(10),(11) dan (12) Undang-Undang 10 Tahun 2016 tersebut menjelaskan detail pelaksanaan dan pengaturan pilkada serentak nasional yang dilaksanakan (juga) oleh lembaga nasional yang bersifat tetap dan mandiri bahkan independen yaitu KPU dan Bawaslu. Apakah hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai proses ‘Pemilu diselenggarakan secara nasional, tetap dan mandiri (pusat, provinsi, kab/kota)” seperti yang rekomendasikan oleh Prof Hamdan Zoelva tersebut?” sepertinya nalar saya sulit menerimanya!

Kemudian pada frasa lanjutan dari rekomendasi ketiga tersebut menyatakan; “……..dan partai politik sebagai panitia pemilu (Pusat sampai TPS) Bawaslu dihapus”.

Kita mulai dari partai politik sebagai panitia pemilu. Sebagai orang yang pernah mendapat ilmu dari beliau saya makin bingung dengan konstruk berfikir Prof Hamdan Zoelva ini, arahnya kemana dan maunya apa,, bagiamana bisa pak profesor melupakan asas tentang : “Nemo Judex idoneus in propria causa,” partai politik yang sedang menjadi kontestan mengawasi dirinya sendiri, diawasi orang lain saja “jurusnya seribu bayangan apalagi diri sendiri”.

Yang kedua partai politik yang belum dibiayai negara sepenuhnya disuruh menjadi panitia pemilu dari pusat sampai TPS, mungkin juga pak prof lupa bahwa saksi saja yang dananya bersumber dari negara saat pemilu 2019 kemarin itu banyak parpol yang tidak mampu menyediakan, jikapun tersedia muncul kendala-kendal tambahan dilapangan (misalnya: meninggalkan TPS semau hati tanpa peduli tentang pentingnya peran saksi dalam TPS tersebut, soal penggantian saksi yang tak sesuai prosedur, saksi yang juga tidak faham-faham tentag tata cara dan mekanisme dalam TPS meski telah dibimtek dan dilatih, serta banyak hal lagi yang tidak sempat disebutkan satu per/satu disini). Lalu kemudian menyuruh partai mengongkosi sendiri untuk menjadi petugas pemilu sampai ke TPS. Ingat prof kasus kematian penyelenggara pemilu, padahal mereka adalh orang-orang yang telah sering menjadi penyelenggara buka penikmat dari penyelenggaraan seperti kondisi partai politik kita yang lalu-lalu.

Terakhir soal bawaslu dihapus; pertanyaannya apakah Prof Hamdan Zoelva ingin menghapus Putusan Lembaga Yang Pernah Bapak pimpin sendiri yaitu lembaga “the Guardian of Contitutional” atau Mahkamah Konstitusi yang telah memutus pasal 22 huruf E ayat 5 dalam putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan oleh mantan Ketua Bawaslu Pertama yaitu Nur Hidayat Sardini yang telah menyatakan dalam pertimbangan putusannya dihalaman 3 poin (b) bahwa kalimat “suatu komisi pemilihan Umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama intitusi akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sehingga, fungsi penyelenggaraan Pemilihan Umum tidak hanya diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan tetapi termasuk juga lembaga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Bagi penulis Badan Pengawas Pemilu atau disingkat Bawaslu yang telah berevolusi dengan karya adalah keniscayaan kelembagaan modern, misalnya melengkapi teori montesquieu tentang Trias Politica menjadi Catur Politica bahwa selain eksekutif, legislatif dan yudikatif kelembagaan modern hari ini memerlukan lembaga examinatif seperti BPK yang tertulis letterlijk dalam UUD NRI tahun 1945 Bawaslu juga “telah dianggap” tertulis sama dalam pasal 22 E ayat 5 tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor: 11/PUU-VIII/2010 tersebut atau BAWASLU dianggap sebagai bagian dari “state auxiliary bodies”. Bagi penulis “whatever” lah yang penting diingat Upaya menghapuskan BAWASLU dari sistem ketatanegaraan Indonesia sama saja sebagai upaya menghapus konstitusi, dan upaya mengahapus BAWASLU dari struktur kepemiluan Indonesia adalah Upaya Menghapus Pemilu Demokratis Indonesia!! KARENANYA,, SIAPAPUN DIA. AKAN KULAWAN SEMUA ORANG YANG INGIN MENGHAPUS KONSTITUSI, DAN AKAN KULAWAN SEMUA ORANG YANG INGIN MENGHAPUS PEMILU DEMOKRATIS INDONESIA. KARENA BAWASLU UNTUK INDONESIA YANG BERKUALITAS, MERDEKA!!!

Penulis adalah warga KAHMI dan Anggota Bawaslu Konawe

  • Bagikan