Menyorot Sistem Zonasi

  • Bagikan
Fadhilah AN, SE.Foto:ist

Belajar telah menjadi kebutuhan bagi setiap individu.Baik itu pembelajaran formal ataupun non-formal. Sumber belajar bahkan dapat ditemui dimana saja, talaqqi dari guru, membaca, diskusi, mendengarkan, bahkan melalui asam garam kehidupan.

Berbicara tentang belajar, dunia pendidikan Indonesia hari ini tengah dihebohkan dengan penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang didasarkan pada lokasi tempat tinggal. Dampaknya pun terasa bagi calon siswa baru. Walau memiliki nilai tinggi, tak menjamin mereka dapat masuk di sekolah yang diidamkan, selama tidak berada dalam radius yang boleh dijangkau.

Meski menerima pro kontra, pemerintah mantap untuk menerapkannya pada seluruh wilayah di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menegaskan jika penerapan sistem zonasi merupakan upaya mempercepat pemerataan di sektor pendidikan. “Ke depan kita tidak ingin ada lagi ‘kastanisasi’ sekolah. Kita tidak ingin ada sekolah favorit dan tidak favorit,” Papar beliau (tirto.id, 10/7/2018).

 

Sistem Zonasi : Solusi Setengah Hati

Alasan mendikbud mengadakan sistem zonasi karena masih adanya pemetaan sekolah favorit dan non favorit perlu dikaji ulang. Pasalnya, kata favorit selalu identik dengan yang terbaik. Wajar jika setiap siswa berusaha mencari sekolah dengan kualitas pendidikan nomor wahid demi menunjang masa depannya.

Jika penyebaran peserta didik tidak merata, ini merupakan indikasibahwa tidak semua sekolah dianggap memiliki kualitas yang mumpuni. Realitas pun berkata demikian. Ketimpangan memang terjadi dimana-mana, karena ada saja sekolah yang belum mampu membentuk siswa berprestasi, guru berkualitas, ataupun sarana dan prasarana yang lengkap.Bisa dikatakan, sistem zonasi merupakan solusi setengah hati  untuk menyelesaikan masalah pemerataan, karena hanya menyentuh siswa semata.

Saat diterapkanpun terbukti menimbulkan kekacauan baru. Salah satunya adalah tidak seimbangnya daya tampung sekolah dengan jumlah siswa. Walaupun jarak rumah dan sekolah yang dituju tidak terlalu jauh.

Misal yang dialami Rini, seorang warga asal Bekasi. Rumahnya hanya berjarak sekitar 480 meter dari SMAN 5 Bekasi. Rini mendaftarkan anaknya ke SMAN 5 Bekasi melalui jalur Warga Penduduk Setempat (WPS). Dalam sistem PPDB Jabar, WPS mendapatkan slot 10 %, atau untuk SMAN 5 Bekasi sekitar 34 siswa.

Pada hari pertama pendaftaran, nama putri Rini masih berada di daftar calon siswa. Namun, menjelang penutupan PPDB tahap lokal, nama putrinya sudah terdepak oleh WPS lain yang rumahnya lebih dekat. Pada hari penutupan, baru diketahui bahwa 34 siswa yang diterima, jarak terjauh hanya 380 meter dari sekolah. Rini mencoba mendaftarkan anaknya pada tahap kedua, yakni jalur NHUN. Sayangnya, ia langsung diwanti-wanti oleh petugas pendaftaran agar tak perlu repot-repot mendaftar jika nilai UN di bawah 30.

“Sistemnya sangat merugikan. Rumah hanya berjarak kurang dari 600 meter, tidak diterima juga. Mau ambil SMA yang lebih jauh, skor jaraknya pasti berkurang. Dan kalaupun sekolah jauh. Ujung-ujungnya siswa yang repot dan ongkos menjadi lebih mahal,” kata Rini. Ia akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta yang masih membuka gelombang ketiga. Tentu saja, uang yang harus dikeluarkan menjadi lebih mahal (tirto.id, 10/07/2018).

Kelemahan lain sistem ini juga turut dibeberkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) setelah melakukan pantauan lapangan diberbagai daerah. Seperti kewajiban menerima 90 %  calon siswa yang dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga akan sepi peminat. Sehingga  ada sekolah yang kekurangan siswa ataupun kelebihan peminat karena berada di zona padat,misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus : Jepon, Jiken, dan Bogorejo.Timbulnya masalah baru tersebut seharusnya menjadi masukan bagi mendikbud untuk mempertimbangkan ulang penerapan sistem zonasi.

 

Pemerataan Pendidikan Dalam Islam

Posisi pendidikan dalam pandangan Islam menduduki peran penting untukmembentuk generasi emas. Dengan sokongan dari daulah (negara), maka proses pemerataan pendidikan ke setiap wilayah bisa terkontrol. Karena penyediaan fasilitas yang sama bagi sekolah-sekolah yang bernaung dalam wilayah daulah.

Program pembelajaran formal di sekolah diarahkan pada tiga tujuan utama pendidikan Islami, yaitu pembentukan syakhsiyyah Islam (kepribadian Islam), penguasaan tsaqofah Islam, dan penguasaan ilmu kehidupan (iptek dan keahlian). Dalam perkembangannya, setiap Khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi Islam serta melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Baik berupa iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama, kamar mandi, dapur, ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.

Sebagaimana Madrasah Al Mustanshiriyah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Al Mustanir pada abad ke 6 H. Sekolah ini memiliki perpustakaan dan auditorium yang dipenuhi buku untuk keperluan belajar-mengajar, permandian serta rumah sakit yang siap dengan dokternya. Bahkan setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram).

Dengan pemerataan pendidikan seperti ini, tak pelak melahirkan generasi emas yang cerdas, tangguh, dan berkepribadian Islam. Seperti Ibnu Sina, Muhammad Bin Musa Al – Khawarizmi, Tsabit Bin Qurrah, hingga Abu Musa Jabir Bin Hayyan.

Hal utama lain yakni keterlibatan daulah dalam  proses pemerataan pendidikan. Dalam negara berbasis islam solusi yang diberikan menyentuh setiap aspek. Apakah dari konten pelajaran yang bertujuan untuk mencetak generasi cerdas bervisi akhirat, ataukah penyediaan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Berbeda cerita  dengan solusi yang diberikan negara berbasis sekularisme saat ini, alih-alih menyelesaikan masalah, ketika diterapkan justru menimbulkan kekacauan baru. Karenanya, untuk menyelesaikan problem pemerataan, dunia pendidikan tidak hanya butuh solusi setengah hati seperti sistem zonasi. Tapi butuh solusi tuntas sebagaimana Islam menyelesaikannya. Wallahu’alam.

 

Oleh : Fadhilah AN, SE (Pemerhati Sosial)

  • Bagikan