Merasa Dijebak, Meantu’ Liya Kembalikan SK Pengangkatan Dirinya Sebagai Raja

  • Bagikan
Pelantikan Raja-raja Se-Wakatobi di Baruga Liya, Kabupaten Wakatobi. (Foto: Amran Mustar Ode/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: WAKATOBI – Pembentukan kerajaan Wakatobi yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil, seperti kerajaan Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, menyisahkan berbagai persoalan, misalnya ditolak pembentukkannya oleh masyarakat Wakatobi bahkan toko adat.

Bahkan Meantu’u Liya, La Ode Muhammad Ali merasa dijebak dengan diangkat dirinya sebagai Raja Wangi-wangi, sehingga ia langsung mengembalikan SK pengangkatan dirinya sebagai raja.

Menurutnya, dalam sidang raja-raja nusantara dipimpin Raja Kutai Mulawarman di Sanggar Budaya Wakatobi pada 12 November 2017, ia sempat menolak secara halus dibentuknya kerajaan Wakatobi, mengingat ada sejumlah perwakilan kerajaan dari dalam maupun luar negeri yang hadir ketika itu. Tetapi pembentukkan kerajaan justru mendapat dukungan dari perwakilan Pulau Kaledupa, Tomia, dan Pulau Binongko.

“Dalam kesempatan itu juga kami diberi penghormatan oleh Raja Kutai Mulawarman dengan memberi gelar yang cukup beragam kepada semua tokoh adat karena telah melestarikan adat,” katanya, Selasa (28/11/2017).

Dijelaskannya, pembentukan kerajaan Wakatobi tidak memiliki dasar sejarah kuat, walaupun di jaman kerajaan/kesultanan dulu masing-masing kadie berdiri secara mandiri. “Ide ini tidak masuk akal, kami sebagai pemangku adat. Wakatobi bagian dari kesultanan Buton,” ucapnya.

Dia merasa janggal, ketika raja-raja nusantara meminta izin mengunjungi Benteng Liya. Sebagai tuan rumah Meantu’u bersama beberapa perangkatnya bersepakat menyambut mereka dengan tamburu Liya. Mereka rupanya meminta duduk di tempat pertemuan adat atau Baruga dan menyusun acara pelantikan. 

“Dari sini saya sudah mulai merasa ada skenario yang tidak beres yang akan disusun sebelum ke Baruga. Namun sangking saya menghargai mereka dari penyambutan pukul 15.00 Wita molor sampai sekitar pukul 17.00 Wita baru tiba di benteng,” terangnya.

Kekesalan dirinya bertambah, ketika tidak ada jeda untuk melaksanakan salat Magrib. Justru dilakukan proses pelantikan padahal suasana sudah gelap.

Selanjutnya masih di momen yang sama, dirinya bersama sejumlah perwakilan dari beberapa pulau di Wakatobi diminta untuk tanda tangan. Tetapi ia tidak perhatikan lagi apa yang ditandatangan karena keadaannya sudah gelap.

“Waktu itu saya mau keluarkan amarahku karena merasa dipermainkan, tapi mau diapa mereka tamu saya, jika saya marah pasti semua warga yang hadir dalam acara tersebut akan marah. Saya khawatir keamanannya mereka. Saya sebagai tuan rumah harus menjaga keamanan tamu dalan keadaan apapun,” ujarnya.

Usai dilantik ia diberi amplop, dengan perasaan kecewa ia mengambil amplop tersebut tanpa memperhatikan isinya dan langsung pulang tanpa pamit dari para tamu guna mengejar waktu salat.

Di rumahlah baru dibuka isi amplop tersebut. Ia mengaku kaget, dikarenakan blangko tersebut ternyata SK Kerajaan Wakatobi dengan susunan La Ode Rusdin Unga sebagai Raja Wakatobi, La Ane Puru menjabat Bendahara, dan La Bia sebagai pengawas. 

“Saya pun menelepon pak Usman Baga dan La Ane Puru untuk datang ke rumah. Setelah berdiskusi lama, saya meminta La Ane Puru untuk mengembalikan SK tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap pembentukan kerajaan Wakatobi dan lainnya itu,” ungkapnya.

Laporan: Amran Mustar Ode

  • Bagikan