Netizen, Berhentilah Hoax Corona (Suara Hati Keluarga Pasien Dalam Pengawasan)

  • Bagikan

SEBUT saja saya Putri, identitas sengaja dikaburkan mengingat secara personal kami belum siap dengan “vonis” masyarakat yang “merasa pintar”. Siapapun pasti tidak mau di posisi yang saya dan keluarga besar  hadapi.

Tulisan ini untuk saling mendukung dan membuka mata mereka di luar sana untuk lebih bijak, lebih peduli pada diri dan keluarganya, peduli dengan semua imbauan pemerintah, bijak dalam bersosial media dan saatnya peduli untuk semua, dengan kapasitas yang dimiliki.

Bukan lagi saatnya hujat menghujat, menyebar hoaxs ataupun “meme” yang bisa menyakiti keluarga pasien baik status ODP, PDP, maupun terkonfirmasi. Saatnya kita mensupport tenaga medis karena ibarat dalam peperangan mereka garda  terdepan menghadapi wabah covid-19.

Kisah ini tentang orang tua kami. Kami menyebutnya ”bapak tua”, sosok yang sangat sabar di hadapan kami, dengan latar belakang pasukan elit di suatu kesatuan, beliau pernah merasakan ganas rimba tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia Timur  pada tahun 60-an.

Seiring berjalannya waktu, fisik yang kekar tergerus oleh  usia. Tahun ini beliau  berusia 76 tahun, dengan riwayat berberapa penyakit menahun.  Dua minggu lalu, beliau kembali dari luar kota. Beliau kemudian mengalami batuk, namun suhu badan normal. Namun demikian kesehatan beliau diperiksakan ke IGD salah satu rumah sakit swasta di Kendari.

Beliau menjalani pemerikasaan rapid test dan takdir Allah hasil tesnya positif. Antara siap dan tidak, kami pun harus menerima kehendak sang Maha Kuasa. Setelah melalui serangkaian prosedur, beliau kemudian dirujuk  ke rumah sakit Bahteramas. Air mata tidak pernah mengalir, bukan kami tidak siap menerima vonis, tapi kami tidak yakin, pada mental beliau, apakah beliau bisa menerima kondisinya dan harus terpisah dari isteri tercinta yang setiap hari selama 24 jam tidak pernah luput merawatnya. Terpisah dari anak-anaknya yang bergantian merawatnya, Ya Allah, dan kami pun yang pernah kontak dengan beliau harus segera melakukan prosedur yang telah ditetapkan.

Ada secercah harapan ketika petugas medis menjelaskan, bahwa masih ada harapan masih ada pemerikasaan Swab, semoga hasilnya negatif, kami pun mengharapkan seperti itu.

Ketika di posisi ini saya baru sadar bahwa apa pun bentuk ucapan, tulisan atau meme-meme yang pernah kita buat disebar di berbagai sosial media, ternyata menyakitkan, bagi keluarga pasien.  Penyebaran identitas, foto, video yang memperlihatkan pasien yang terkonfirmasi mau pun PDP, sungguh menyakitkan, dan hal ini sakit (sangat sakit) yang hanya dirasakan oleh keluarga yang tervonis. Mungkin harus ada keluarga yang tervonis baru sadar untuk berhenti menyebarkan hal-hal negatif baik tentang pasien maupun hoax-hoax, lucu-lucuan terkait Covid-19.

Saatnya pengguna social media, jejaring sosial, mulai yang  tidak berpendidikan sampai yang sekolah tinggi, yang ibu rumah tangga sampai  ibu-ibu socialita, PNS non PNS, remaja, akademisi non akademisi  saatnya bijak, share lah hal hal yang positif, cros cek kebenaran informasi sebelum membagi. Berhenti membuat kegaduhan di tengah usaha paramedis yang mempertaruhkan nyawa dengan keterbatasan APD, hormati paramedis yang  juga memiliki keluarga.  

Media massa mari mulai memberitakan hal hal positif, bukan hal hal bombastis di judul, tetapi terkadang isi berita tidak sesuai dengan fakta, bahkan tidak benar.

Pengalaman saat mengantar bapak, ternyata menggunakan baju yang standar  menyakitkan, saya sempat mendengar pembicaraan perawat yang merujuk kepada sang sopir ambulans, “dia merasa dehidrasi”, ya Allah sampe sebegitunya.

Ketika doa tidak pernah berhenti dipanjatkan, lantunan ayat suci diiringi derai air mata, semua kami kembalikan kepada kuasamu Ya Allah, pasti ada hikmah yang bisa kami petik dari semua ini.

Entah sampai kapan wabah ini, tapi yang pasti pemerintah telah berusaha melakukan langkah langkah yang dianggap efektif.

Apalah arti semuanya jika masyarakat masih ogah, tidak peduli, dan  menganggap enteng penyebaran virus Covid-19 jangan kapatuli, patuhi social standing,  rajin mencuci tangan, dan berbagai prosedur yang dikampanyekan.

Keterbatasan Rapid tes yang dimiliki oleh pemerintah berdampak keterbatasan untuk mencari  orang orang yang positif, sehingga memungkinkan banyak pembawa bibit bibit Covid-19 yang berkeliaran di luar sana, dan siap untuk hinggap di mana saja.

Mulai peduli diri kita, lingkungan kita, peduli pada perjuangan paramedis, tengoklah jika ada di sekitar kita yang kekurangan pangan, jika Allah memberikan kelebihan rejeki, sisihkanlah  untuk membantu mengatasi wabah covid 19, buatlah komunitasmu, whatsapp Group, sosial media, jejaring sosial apapun yang dimiliki untuk saling mengingatkan di tempat lain ada paramedis yang berjuang dengan keterbatasan APD, apa yang bisa kita lakukan?

Wabah ini bukan hanya urusan pemerintah, tetapi semuanya, seluruh lapisan masyarakat harus bersatu. Dan cukuplah kami saja yang merasakan bagaimana berkecamuknya pikiran, hati, deraian air mata  dalam menghadapi ini. Satu sisi kami harus kuat sehat dan taat untuk mengisolasi mandiri. Mohon doanya untuk kesembuhan semua pasien covid-19 dan kekuatan bagi paramedis. Bangsa yang kita cintai bisa melewati ujian ini. Insya Allah.

Penulis: Nama dan alamat ada pada redaksi

  • Bagikan