Nyanyian Setnov, Puan Maharani dan Efek Elektoral di Tahun Politik

  • Bagikan
Denny JA (Foto: Google)

Oleh: Denny JA

SULTRAKINI.COM: Akankah ‘nyanyian’ Setnov membuang kesempatan Puan Maharani menjadi calon wakil presiden 2019? Bahkan juga ‘nyanyian’ itu menurunkan elektabiltas PDIP dalam Pemilu 2019 kelak?

Bahkan juga ‘nyanyian’ Setnov itu menurunkan peluang Puan Maharani menjadi orang nomor satu di PDIP, mengganti ketum Megawati Soekarno Putri? Karena kasus itu, posisi ketum berikutnya akan lebih bergeser kepada anak lelaki Megawati lain: Prananda Prabowo, atau bahkan Budi Gunawan?

Too early to tell. Kita tak bisa mengambil kesimpulan terlalu cepat menjawab pertanyaan itu. Namun memang, itulah rangkain pertanyaan paling politis dan paling imajinatif di balik ‘nyanyian’ Setnov.

Dalam lanjutan sidang KTP-el, Setnov menyebut beberapa nama yang mendapatkan aliran dana korupsi. Celaka, di samping nama lain, nama baru yang ia sebut masuk kategori “ikan besar, the big fish” Puan Maharani.

Ha? Benarkah Puan Maharani terlibat? Apa iya? Ngaco kah Setnov? Beranikah KPK? Percakapan di sosial media pun heboh dengan segala versinya.

Tentu saja apa yang dinyatakan Setnov belum tentu benar secara hukum. Puan Maharani berhak atas fasilitas prinsip hukum: ia harus diasumsikan tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan ia bersalah.

Namun pengadilan politik punya dunia yang bebeda dengan pengadilan hukum. Walau belum tentu bersalah, ini bencana bagi Puan Maharani karena kasus ini terjadi di tahun politik. Ini adalah tahun yang buas dan ganas.

Ibaratnya, Setnov menebar umpan di laut luas. Kini aneka ikan hiu dan ikan ganas lainnya, berlomba dan menari-menari berebut umpan itu. Puan Maharani segera menjadi korban yang nyata, walau belum tentu bersalah.

Membaca nyanyian Setnov yang menjadi viral itu, saya teringat nyanyian Nazarudin sekitar lima atau enam tahun lalu. Tiga tahun sebelum Pemilu 2014, Nazarudin banyak bernyanyi tentang tokoh Partai Demokrat yang menerima aliran dana korupsi.

Padahal dalam Pemilu 2009, Partai Demokrat sangat fenomenal: menjadi partai terbesar hasil pemilu. Demokrat nomor satu, teratas!

Lalu dengan bantuan ‘Om’ Google, saya mengecek survei LSI Denny JA setelah munculnya kasus Nazarudin hingga ia tersangka dan bernyanyi soal keterlibatan elit partai Demokrat dalam mega korupsi.

Konferensi pers LSI Denny JA tahun 2011, 2012, 2013 sudah menggambarkan itu. Betapa Demokrat turun peringkat dari nomor satu ke nomor dua, lalu ke nomor tiga. Survei LSI sudah mengabarkan efek elektoral ‘nyanyian’ Nazarudin bagi menurunnya elektabilitas Partai Demokrat.

Di tahun 2014, hasil KPU, Partai Demokrat akhirnya tersingkir bahkan ke peringkat empat.

Akankah nyanyian Novanto atas Puan Maharani, punya efek elektoral serupa pula?

Istilah trial by the press berasal dari era tumbuhnya industri media di ujung abad 20. Para elit pengambil keputusan bahkan publik luas mulai membaca media. Opini publik mudah sekali dibentuk media.

Berkembang istilah trial by the press, terutama sejak kasus The Frost Programme tahun 1967. Luasnya pemberitaan program ini dan framing yang ia lakukan, dianggap bias bagi tokoh yang dibahas. Jika pengadilan biasa lebih berimbang, pengadilan pers bisa sangat merugikan atau menguntungkan seorang tokoh. Padahal pers sangat mempengaruhi opini publik.

Seorang tokoh yang terkena kasus belum tentu bersalah secara hukum. Namun luasnya “pengadilan media” atas tokoh itu sudah sangat mampu menurunkan reputasi tokoh itu secara drastis.

Kini kita memasuki tahap lanjut. Yang ada di zaman NOW tak hanya media konvensional. Tapi menjamur pula media sosial yang jauh lebih kejam, bias, penuh prasangka, bisa direkayasa. Trial by the press naik tingkat menjadi trial by the social media.

Kita bisa bayangkan betapa babak belurnya tokoh yang menjadi korban trial by social media.

Dalam trial by the press, pengadilan oleh media konvensional, mereka masih memiliki editor, masih ada proses filter publikasi. Tapi framing media tetap saja bisa merugikan seorang tokoh secara tak adil.

Dalam trial by social media, tak ada editor di sana, tak ada SOP, tak asa filter publikasi. Setiap individu bebas saja secara nyata atau anonim menulis apapun. Isi tulisan bisa bercampur antara fakta dan opini, antara nyata dan hoaks, atau bahkan sengaja menyebarkan informasi yang salah.

Tapi berita medial sosial yang hoaks sekalipun bisa meluas dan dipercaya. Apalagi jika beritanya separuh benar. Apalagi jika 100 persen benar.

Apa hasil trial by the social media? Kerusakan reputasi seseorang yang sangat, sangat, sangat. Sengaja saya sebut sangat sebanyak tiga kali.

Ia yang menjadi korban “Trial by social media” bisa mengalami tingkat kerusakan dua atau tiga kali lipat lebih buruk dibandingkan ia yang mengalami “trial by the press.”

Celaka bagi Puan Maharani. Namanya kini menjadi seksi. Ini era media sosial. Ini tahun politik pula. Dalam kasus yang menarik perhatian luas, pengadilan KTP-el, namanya disebut Setnov.

Suka atau tidak, adil atau tidak, walau Setnov yang diadili, Puan Maharani segera menjadi ratu bagi pemberitaan, bagi pengadilan media sosial.

Akankah PDIP merosot dan rangking utama diambil alih oleh Golkar atau Gerindra atau Demokrat? Akankah Puan hilang dari daftar cawapres Jokowi? Akankah Prananda Prabowo atau Budi Gunawan lebih mungkin menjadi orang – nomor satu di PDIP setelah Megawati turun tahta?

LSI Denny JA seperti biasa akan terus merekam opini publik. Waktu yang akan menjawabnya, setahap demi setahap.

 

(disadur dari Group WA Ruang Publik SultraKini dan atas izin penulis)

  • Bagikan