Oputa yi Koo, Sultan Buton yang Memukul Mundur Penjajah Belanda

  • Bagikan
Oputa Yi Koo. (Foto: Istimewa)
Oputa Yi Koo. (Foto: Istimewa)

SULTRAKINI.COM: Mengenal julukan Oputa yi Koo tentu tidak terlepas dari bentuk perlawanan penduduk Buton ketika memukul mundur penjajah Belanda kala itu. Julukan yang diartikan sebagai sultan/raja yang bergerilya melawan penjajah di dalam hutan ini diberikan kepada La Karambau, seorang sultan yang paling dibenci dan dimusuhi kompeni Belanda.

Dilansir dari berbagai sumber, La Karambau dikenal dengan gelar kesultanannya Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail. Ia merupakan satu-satunya sultan Buton yang menjabat dua kali, yaitu sultan ke-20 (1752-1755) dan sultan ke-23 (1760-1763).

Putra Sultan Buton ke-13, La Umati tersebut, membenci penjajah Belanda sejak usianya masih remaja. Peperangannya melawan penjajah berawal dari karamnya armada besar Belanda kapal Rust en Werk di perairan yang berbuntut perang terbuka. Komplotan pembelot Belanda yang dimotori frans-frans atau mantan juru bahasa di Bulukumba yang juga seorang residivis turut andil dalam karamnya kapal Belanda yang menjadi alasan VOC menyerang Buton.

Kala itu, Himayatuddin belum lama menjabat sultan enggan memberikan pertolongan kepada kompeni atas jejadian tersebut, yang seharusnya dilakukannya sesuai kontrak Sultan Buton sebelumnya pada 1613-1667.
Pada 1755, Kapten I.C. Rijsweber diutus ke Buton untuk mengigatkan hukuman yang diberikan apabila sultan tidak segera mengirimkan utusan ke Makassar untuk menjelaskan keputusan menantu kesayangan Sultan Buton ke19, La Ngkariyriy itu.

Jiwa kesatria Himayatuddin tidak gentar dengan ancaman tersebut. Bahkan tokoh yang konon memiliki perawakan tegak, besar, tinggi itu tidak memperbarui kontrak dengan beberapa tambahan dan memilih menjalin hubungan dengan raja-raja Bone dan Ternate untuk memperoleh bantuan. Peristiwa Rust en Werk mengakibatkan hubungan diplomasi antara Butuuni dengan Belanda sulit terselesaikan.

Catatan sejarah Buton diketahui, Himayatuddin memiliki semangat yang sama dengan pahlawan nasional lainnya yang gigih menentang penjajah Belanda di tanah air.

Akibat sikap keras kepala sultan, tahta Himayatuddin akhirnya digantikan iparnya Sultan Hamim bergelar Sultan Sakiyuddin, agar hubungan diplomasi diharapkan membaik. Namun seiring waktu justru situasinya memburuk. Misalnya, perjanjian yang disoroti Belanda lantaran Sultan Hamim tidak membayar ganti rugi Belanda atas karamnya kapal Rust en Werk, terlebih Himayatuddin masih berperan di balik tahta iparnya itu. Akibatnya, Belanda menurunkan lima armada tempur untuk menyerang Buton.

Armada yang berlabuh di Pelabuhan Baubau itu mengirim pasukan ke pusat pertahanan Buton pagi buta. Pertempuran kedua pihak mengakibatkan banyak korban jiwa, di antaranya gugurnya petinggi kesultanan Buton seperti Sapati, Kapitalau, Bonto Ogena, raja Lawele, Tondana, dan mantan raja Rakina. Peristiwa tersebut dikenal orang Buton sebagai zamani kaheruna walanda atau zaman huru hara Belanda.

Peristiwa tersebut juga membuat cucu Himayatuddin Waode Wakato dan Waode Kamali ditawan Belanda. Keduanya dijadikan umpan untuk menangkap Himayatuddin, namun dia merelakan keduanya dibawa Belanda. Konon, Waode Wakato dan Waode Kamali dibawa Belanda sampai berketurunan di sana.

Setelah penyerangan itu, Himayatuddin kembali terpilih sebagai sultan ke-23 pada 1760-1763. Namun, sejumlah anggota sara ragu dengan kepemimpinannya yang tidak ingin kompromi dengan Belanda. Beliau akhirnya meletakkan jabatannya lalu mengasingkan diri ke hutan Siontapina. Pilihan inilah yang membuat dirinya dijuluki Oputa yi Koo.

Selama di pengasingan, Oputa yi Koo rupanya diam-diam mengatur strategi perang melawan Belanda. Dia merangkul masyarakat setempat sebagai basis kekuatan militer dan mendirikan benteng-benteng pertahanan di atas gunung Siontapina.

Pencarian Belanda terhadap Oputa yi Koo terus berlanjut hingga mendatangi lokasi pengasingan tersebut. Beberapa kali perang terjadi di bukit Siontapina, namun medan yang dikuasai Oputa yi Koo bersama pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang tidak mampu menembus benteng pertahanan yang sengaja dibangun di lereng terjal.

Kini, jasa Oputa yi Koo terus dikenang oleh masyarakat setempat. Salah satu kawasan di Wakonti, Kota Baubau, terdapat Taman Makam Pahlawan Oputa Yi Koo. Lokasinya mudah ditemukan karena berada di tepi jalan penghubung utama Kota Baubau menuju Pasarwajo, ibu kota Kabupaten Buton.

Oputa yi Koo juga diusulkan sebagai calon pahlawan nasional.

Dari berbagai sumber
Laporan: Rendi Saputra

  • Bagikan