Pakar Hukum: OTT Asrun-ADP Gunakan Teori Bubur Panas, Sanksi ADP Lebih Berat

  • Bagikan
Grafis by Yahya Hasan/SULTRAKINI.COM

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Operasi tangkap tangan terhadap Calon Gubernur Sultra Asrun dan putranya yang merupakan Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra (ADP), dijelaskan pakar hukum Universitas Halu Oleo (UHO), bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggunakan Teori Bubur Panas.

Menurut Dekan Fakultas Hukum UHO, Prof. Dr. Muhammad Jufri, menilai operasi yang dilakukan KPK di Kendari Selasa-Rabu (27-28/2/2018) lalu harus secara profesional, mengedepankan asas praduga tak bersalah. Bahkan hingga sudah ditetapkannya empat nama sebagai tersangka dugaan kasus suap senilai Rp2,8 miliar.

“Meskipun ada pendapat lain yang mengatakan itu OTT atau bukan, itu silahkan. Tapi ingat, yang berkompeten menentukan itu adalah KPK sendiri, karena itu merupakan ranah dan kewenangan KPK sendiri,” kata Prof. Jufri saat ditemui SultraKini.Com di ruangannya, Jumat (2/3/2018).

Mengenai komentar beberapa pihak yang menyebut Asrun-ADP dijebak, Jufri tak ingin menanggapi. Karena, kata dia, dalam hukum tidak ada istilah dijebak.

“Kalau itu saya tidak bisa memberikan komentar apakah dijebak atau tidak. Akan tetapi kalau misalnya dimulai dari pihak swasta, tentukan memang ini KPK mengunakan teori bubur panas. Umpamanya jika makan bubur jangan langsung ditengahnya, tapi dari pinggirnya telusuri-telusuri akhirnya masuk ke situ,” jelas Jufri.

Soal buku tabungan dan kunci mobil yang disita KPK sebagai barang bukti, dia ikut mensyahkan, karena sebagai bukti transfer dana. “Dan itu diduga bahwa dana itu adalah pemberian oleh pihak swasta ke oknum tertentu untuk digunakan keperluan Pilkada,” lanjutnya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Prof. Dr. Muh. Jufri. (Foto: Mita/SULTRAKINI.COM)

Menurut Jufri, Asrun dan ADP sangat merugikan negara karena berkaitan dengan pekerjaan APBN dan keuangan negara, dimana hal itu merupakan perbuatan melanggar hukum yang bisa disebut gratifikasi, sebagaimana yang berbunyi dalam Pasal 12 B ayat (1) UU Nomor 31/1999 jo UU No. 20/2001.

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” kutip Jufri dari UU Tipikor.

Apakah bisa dilakukan pra peradilan oleh pihak tersangka? Menurut Jufri kasus OTT tidak mengenal istilah pra peradilan.

“Tidak bisa dibuatkan pra peradilan karena dianggap adanya temuan untuk melakukan tangkap tangan. Kalau yang bisa dibuatkan pra peradilan seperti ada penyelidikan langsung ditangkap dan ditahan. OTT tidak mengenal istilah pra peradilan,” jelas Jufri.

Mengenai ancaman hukuman, sudah jelas sesuai pasal yang disangkakan. Kata dia, melihat hukuman antara Asrun dan ADP, sang anak yakni ADP, akan lebih berat sanksinya dibandingkan Asrun.

“Karena dia seorang pejabat yang menerima, karena itu ada unsur penyalahgunaan wewenang. Namun yang akan mendapat hukuman paling berat, ya pengusaha itu, karena dia yang memberi,” pungkas Jufri.

 

Laporan: Mita

  • Bagikan