Berdiri megah di tengah Kota Kendari, Pasar Sentral Wua-wua atau pasar baru-begitu sebagian orang Kendari menyebutnya sejak lama, hari ini kumuh dan terbengkalai akibat pengelolaan yang tidak serius. Lihat saja sisi depan pasar yang tepat berada di poros Jalan Anduonohu, kini dipenuhi pedagang liar yang berjualan ayam, ikan, dan sayuran.
Liar, begitu lebih tepat menyebutnya karena lahan yang seharusnya menjadi area parkir kendaraan, hampir seluruhya tertutup tenda seadanya, di luar area gedung pasar megah yang dibangun dengan biaya 67,5 miliar rupiah. Pasar ini diresmikan Wali Kota Asrun di penghujung tahun 2016 dengan cara “berdarah-darah”, karena pemerintah kota harus menyisihkan APBD Kota sebesar 45 miliar rupiah, dari tahun anggaran 2014 hingga 2016. Sisanya bersumber dari APBN Kementerian Perdagangan 12,5 miliar di tahun 2011 dan 10 miliar di tahun 2013.
Sia-sia membuang uang 45 miliar milik warga Kota Kendari jika pasar ini tidak terurus dengan baik. Sementara pasar sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan lahan usaha bagi warga lainnya. Apa masalahnya? Jelas, pasar ini di bawah pengelolaan Pemerintah Kota Kendari melalui Disperindagkop&UKM. Sementara rencana menyerahkan pengelolaan Pasar Sentral Wua-wua bersama Pasar Sentral Kota, dan Pasar PKL kepada PD Pasar, hingga kini masih menjadi wacana.
Benar bahwa membangun pasar adalah satu masalah, tetapi mengoperasikan dan merawat pasar adalah persoalan lain yang menuntut perhatian serius pemerintah kota. Bertahun-tahun kondisi Pasar Sentral Wua-wua tidak terurus, mungkin ratusan kali pula para pejabat kota melintas di sana tetapi mata mereka tidak terganggu.
Jika mencoba bertanya mengapa mereka berdagang secara liar seperti itu, jawaban mereka klasik. Karena berjualan di dalam gedung pasar sepi pembeli. Lalu apa pembiaran masih harus terus dilakukan? Hasil penelusuran Komisi II DPRD Kota Kendari tahun 2020 lalu juga menemukan kenyataan, bahwa banyak kios yang ditinggalkan pemiliknya yang kemudian memilih berdagang di Pasar Panjang yang sama sekali tidak memiliki izin.
Dikutip dari media ini, salah seorang anggota DPRD Kota Kendari, Andi Sulolipu menyimpulkan hasil pemantauan membuat DPRD berinisiatif mengundang seluruh pihak terkait di pasar, guna untuk melakukan pembahasan langkah-langkah penataan kembali pasar-pasar yang masih semrawut di Kendari. Hasilnya? Belum kelihatan. Tradisi kata-kata “akan” ini juga harus disudahi untuk memenuhi hak-hak warga kota.
DPRD sudah bicara, bagaimana dengan pemerintah kota? Dalam banyak kesempatan Wali Kota Kendari hingga saat ini belum mengambil langkah untuk menertibkan Pasar Sentral Wua-wua.
Peran pasar tradisional tidak bisa dipandang sebelah mata, berkembangan pasar dengan baik akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat kecil dan menegah, serta ketahanan ekonomi nasional secara umum.
Pasar tradisional selalu menjadi indikator nasional dalam kaitannya dengan pergerakan tingkat kestabilan harga atau inflasi domestik. Dalam menghitung inflasi, harga kebutuhan pokok penduduk yang dijual di pasar tradisional seperti sembilan bahan pokok lainnya menjadi objek monitoring para ahli statistik setiap bulannya.
Tidak terbantahkan pula pasar tradisional telah menjaga perekonomian sektor riil paling bawah di negeri ini. Ketangguhan pelaku ekonomi mikro telah terbukti berkontribusi menyumbang kekebalan Indonesia terhadap krisis ekonomi.
Keberadaan pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah disamping sebagai salah satu penunjuang perekonomian daerah, juga penunjang peningkatan PAD dari penerimaan retribusi pasar. Dalam kasus ini, mata rantai retribusi dan pelayanan (pemerintah kota) terputus di Pasar Sentral Wua-wua, karena ada ketidaktegasan untuk menertibkan pedagang yang berjualan di kawasan tidak berizin, seperti di Pasar Panjang.
Ada sikap optimis di kalangan dewan, bahwa jika pemerintah kota tegas, Pasar Sentral Wua-wua akan berfungsi normal seperti yang diharapkan.
Dari sudut pandang manapun, kondisi Pasar Sentral Wua-wua saat ini abnormal. Biaya besar yang sudah dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan retribusi yang bisa dipungut. Atau mungkin karena retribusi pasar belum menjadi primadona penyumbang PAD Kota Kendari hingga masalah ini dibiarkan berlarut-larut? Padahal menggali sumber-sumber penghasilan baru untuk meningkatkan PAD wajib hukumnya.
Mengutip pernyataan Kepala Bappenda Kota Kendari, Sri Yusnita, realisasi pendapatan periode Januari hingga Oktober pada 2020 sebesar Rp 94,6 miliar. Sektor penyumbang adalah Pajak Penerangan Jalan (PPJ) sebesar Rp 32,2 miliar, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp 19,8 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 12,9 miliar, dan pajak restoran Rp 11,2 miliar.
Di sisi lain, kesemrawutan di Pasar Sentral Wua-wua merupakan ketidakadilan bagi pedagang yang bertahan berdagang di lokasi yang ditentukan. Mereka sudah memenuhi semua ketentuan untuk dapat berdagang, tapi hak mereka diabaikan akibat kepentingan perseorangan yang berjualan tanpa aturan, atau dengan tetap menerapkan asas praduga tak bersalah–kemungkinan juga melibatkan oknum pemerintah atau aparat yang mendukung ketidakaturan itu. Setidaknya sinyal itu juga dilemparkan anggota DPRD Kota Kendari, Andi Sulolipu yang menyatakan pihaknya berharap tidak ada oknum yang bermain-main dalam masalah pasar ini (SultraKini 27/01/2020).
Masalah pasar adalah masalah klasik di setiap kota yang sedang berkembang. Pastilah studi banding ke daerah lain sudah banyak dilakukan untuk membenahi masalah ini dan kita semua masih menunggu hasilnya. Hambatan utama yang dialami pedagang seperti sepinya pembeli adalah tugas pemerintah kota bersama DPRD untuk membuat kebijakan mengatasinya. Jika tidak segera diatasi, masalah pengelolaan pasar hanya akan menjadi wacana berkepanjangan yang menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya.
Bisa dipastikan warga Kota Kendari segera mendengar kata “akan” dari Pemerintah Kota Kendari terkait normalisasi fungsi Pasar Sentral Wua-wua. Semoga itu menjadi kata “akan” yang terakhir.
Penulis: AS. Amir