Pemerintah Didesak Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

  • Bagikan
Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: Kompas.com)
Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: Kompas.com)

SULTRAKINI.COM: Sejumlah organisasi perempuan mendesak parlemen dan pemerintah segera membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Desakan itu diserukan menyusul banyak kasus kekerasan seksual yang belum ditangani secara substansial.

Koordinator Jaringan Pekerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Valentina Sagala menyatakan, dalam RUU PKS membahas soal perluasan arti pelecehan seksual. Setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang termasuk ke dalam pelecehan seksual.

“Korban kekerasan seksual saat ini tidak mendapatkan keadilan selama ini hanya dijerat oleh undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak. Tapi nyatanya ini belum substansial dan ada kekosongan hukum,” ujar Valentina, Minggu (18/11/2018).

Kekosongan hukum diharapkan bisa diisi oleh UU PKS itu. Di dalam daftar UU PKS terdapat sembilan jenis bentuk kekerasan seksual yang dijabarkan secara detail. Kekerasan itu ialah, pelecehan seksual; eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi, perkosaan; pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran; pembudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Dari jenis ini, pelecehan seksual bukan hanya diartikan dalam bentuk fisik dan hubungan badan.

“Jadi pelecehan seksual bisa dalam bentuk fisik maupun tidak. Kemudian kita tidak memakai kata persetubuhan dan pencabulan, supaya maknanya tidak sempit soal fisik belaka tapi melainkan ada faktor psikis dan mental yang perlu diperhatikan,” kata Valentina.

Didalam daftar RUU PKS harusnya pemerintah hadir dalam bentuk pencegahan hingga proses pemulihan korban. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga sedianya mengubah proses hukum dari perspektif dan perlindungan korban.

“Agar tidak ada korban yang terus menerus ditanyakan dan menjawab mengulang pertanyaan hal yang sama, harus berperspektif korban,” lanjut Valentina.

Ketua Indonesian Feminist Lawyer Clubs (IFLC) Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan, pembahasan RUU  masih jalan di tempat lantaran perspektif pemerintah terhadap kasus perempuan tidak dibahas karena  cenderung tidak menghasilkan uang.

“Pemerintah belum mendukung secara penuh. Pemerintah juga harusnya pilih menteri yang paham isu perempuan dan disabilitas. Karena alasan itu kita masih jalan di tempat,” tutur Nur.

Salah satu permasalahan yang parah dimana sebagian pihak menganggap RUU PKS adalah peraturan yang membenarkan adanya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Selain itu, ia mengakui ketidakpahaman legislator terkait isu ini diperparah dengan tahun politik yang berada di depan mata. Sehingga para pimpinan memiliki konsentrasi yang berbeda-beda.

“Maka dari itu seharusnya mereka (eksekutif) pun mendukung agar kita bisa memberikan perlindungan dan pemenuhan hak terbaik bagi para korban kekerasan seksual,” kata Anggota DPR Komisi VIII Rahayu Saraswati.

Sumber: CNNIndonesia

Laporan: Hartia

  • Bagikan