Pemred SultraKini.com Juara 1 Call Paper Kebebasan Pers Indonesia

  • Bagikan
Pemimpin Redaksi SultraKini.com, M Djufri Rachim (kanan) tampil sebagai pembicara pada konferensi nasional AJI Indonesia di Jakarta. Foto: IST.
Pemimpin Redaksi SultraKini.com, M Djufri Rachim (kanan) tampil sebagai pembicara pada konferensi nasional AJI Indonesia di Jakarta. Foto: IST.

SULTRAKINI.COM: Pemimpin Redaksi SultraKini.com, M Djufri Rachim, menjuarai Call for Paper Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang Potret Kebebasan Pers Indonesia. Ia pun diundang untuk tampil dalam forum Konferensi Nasional di Jakarta, Selasa (6 Agustus 2019).

AJI Indonesia tahun 2019 memperingati ulang tahun ke-25, menyelenggarakan konferensi nasional dengan tema “Jurnalisme di Era Digital” membuka call for paper kepada jurnalis, peneliti, dosen, dan mahasiswa untuk menulis naskah dengan tiga tema pilihan, yakni; 1) Wajah Jurnalisme Indonesia di Era Digital, 2) Mencari Model Bisnis di Sektor Media di Indonesia, dan 3) Potret Kebebasan Pers Indonesia.

Karya Djufri berjudul “Privishing dan Media Abal-abal suatu Ancaman Kebebasan Pers yang Tidak Kentara” ditetapkan sebagai juara pertama untuk kategori Potret Kebebasan Pers Indonesia.

Sedangkan juara kategori “Wajah Jurnalisme Indonesia di Era Digital” dimenangkan Rana Akbari Fitriawan (dosen) serta kategori “Mencari Model Bisnis di Sektor Media di Indonesia” dimenangkan oleh karya duet Adi Wibowo dan Albertus M Prestianta (keduanya juga adalah dosen).

Di hadapan peserta konferensi, Djufri menjelaskan dua bentuk ancaman kebebasan pers di Indonesia pasca pengekangan pers oleh rezim Orde Baru yakni privishing dan media abal-abal.

Privhising “dipinjam” dari istilah perlakuan penerbit buku untuk membunuh karya pengarang atau penulis buku tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

Privishing biasa dipakai dalam konteks, “Kami memprivishing buku sehingga buku itu tenggelam tanpa jejak,” kata editor senior Viking Press, William Decker, ketika bersaksi di pengadilan federal Amerika Serikat, seperti dikutip oleh Djufri dari buku “Mesin Penindas Pers”.

Djufri yang sudah 24 tahun menjadi jurnalis melihat praktik privishing dalam dunia penerbitan buku di Amerika tersebut mempunyai keserupaan dengan dunia pers di Indonesia. “Banyak informasi yang seharusnya menjadi hak tahu publik justru disembunyikan oleh media,” katanya.

Djufri yang juga dosen pada Jurusan Jurnalistik Universitas Halu Oleo mengemukakan tiga cara privishing media; Pertama, jurnalis sengaja tidak meliput informasi yang dapat mengganggu hubungan kerja sama dengan instansi tertentu, seperti pemerintah daerah.

Kedua, jurnalis melakukan liputan sebagai bagian dari menjalankan fungsi sosial control namun oleh editor nilai-nilai kritikan dalam sosial control berita bisa terbalik menjadi berita “puja-puji”.

Ketiga, jurnalis dan editor mempunyai idealisme yang sama namun mentok di meja pemimpin redaksi. Berita tersebut tidak akan pernah diterbitkan.

Privishing terjadi disebabkan oleh adanya kerja sama antara media dengan pemerintah daerah atau lembaga swasta. Hal ini banyak terjadi pada media lokal, dari Aceh sampai Papua.

Hal lain yang menjadi penyebab privishing adalah faktor pertemanan pimpinan media dengan pihak tertentu, serta faktor partai politik yang dipimpin oleh pemilik media. Ini lebih terjadi pada media nasional.

Selain privishing, hal lain yang menjadi ancaman kebebasan pers di Indonesia adalah munculnya media abal-abal. Abal-abal artinya tidak bermutu baik atau bermutu rendah, bahkan diartikan pula sebagai penjahat kelas kakap.

Pers abal-abal motifnya mendompleng pada profesi jurnalis untuk tujuan tertentu, utamanya mencari uang dengan cara menekan atau memeras pihak tertentu yang dianggap bersalah terkait pekerjaan atau profesinya, seperti kepala desa yang mendapatkan anggaran dana desa atau kepala sekolah yang usai mencairkan dana bantuan operasional sekolah.

Menurut Djufri, pendirian media abal-abal tidak memenuhi syarat standar pendirian perusahaan pers, seperti tidak memiliki badan hukum, tidak memiliki kantor memadai atau alamat kantor palsu, tidak miliki penanggung jawab yakni jurnalis yang mempunyai kompetensi utama.

Nama medianya juga cukup “menggertak” dengan mencatut nama-nama lembaga negara atau media nasional yang sudah mempunyai reputasi baik, seperti KPK, Tipikor, BIN, BNN, Buser, dan lainnya. Ada juga yang mencatut LSM seperti ICW.

Selain masalah hambatan kebebasan pers yang terjadi di Indonesia, AJI juga mengundang sejumlah praktisi dan organisasi media untuk berbicara dalam forum “The Challenge of Journalist and Media in Southeast Asia Region”. Mereka adalah Maria Ressa (CEO Rappler.com, Filipina), Steven Gan (Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com, Malaysia), Adam Portelli (Victorian Branch of Media Entertanment and Art Alliance (MEAA) Australia), Jane Worthington (Direktur IFJ Asia Pasific, berbasis di Sydney, Australia), serta Asep Setiawan (Anggota Dewan Pers). Acara ini dipandu oleh Wahyu Dhyatmika (Pemimpin Redaksi Tempo.co)

Para pembicara pada Konferensi Nasional AJI Inodonesia di Jakarta, 6 Agustus 2019.
Para pembicara pada Konferensi Nasional AJI Inodonesia di Jakarta, 6 Agustus 2019.

Sementara Konferensi Nasional, yang dibagi tiga sesi yakni tema “Wajah Kebebasan Pers Indonesia” menampilkan M Djufri Rachim (Pemimpin Redaksi SultraKini.com/pemenang call paper), Abdul Manan (Ketua Umum AJI) dan Ade Wahyudin (Direktur LBH Pers) dipandu moderator Fira Abdurrahman dari AJI.

Sesi dua, tema “Mencari Model Jurnalisme Indonesia” menampilkan pembicara Rana Akbari Fitriawan (akademisi/pemenang call paper), Nezar Patria (Pemred Jakarta Post), serta Ninuk Pambudy (Pemred Harian Kompas) dipandu Mawa Kresna dari AJI.

Serta sesi tiga dengan tema “Menemukan model bisnis untuk media di Indonesia” menampilkan Albert M Prestianta (akademisi/pemenang call paper), A Sapto Anggoro (Ketua Badan Pertimbangan dan Pengawas Organisasi Asosiasi Media Siber Indonesia), Titin Rosmasari (Pemimpin Redaksi CNN TV) yang dipandu Aloysius B Kurniawan dari AJI.

Laporan: Shen Keanu

  • Bagikan