SULTRAKINI.COM: KENDARI – Rencana penambangan batu kapur di Kecamatan Watopute Kabupaten Muna baru tahap sosialisasi awal oleh investor, PT. Gemilang Usaha Persada. Gelombang pro dan kontra dari masyarakat maupun aktivis setempat pun bergelora pasca sosialisasi yang didampingi Pemerintah Daerah Kabupaten Muna dan Kepala Desa Labaha, Jumat (27/7/2018) lalu.
Aliansi Mahasiswa Labaha menolak tegas rencana itu. Menurut Ketua AML, Ahmad Zulfikar, penambangan batu kapur banyak mendatangkan dampak buruk bagi daerah dibanding dampak positifnya. Karenanya, ia meminta masyarakat tidak tergiur janji manis dari perusahaan tambang.
Di Kendari, sejumlah aktivis dan akademisi menggelar diskusi khusus terkait rencana penambangan batu kapur di Kecamatan Watopute, Selasa (31/7/2018). Ikatan Keluarga Alumni Harimau Kontu, Komunitas Seroja Merah, dosen Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, mahasiswa program doktoral Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan para aktivis lain bersepakat, bahwa rencana penambangan batu kapur di Watopute harus dikaji lebih komprehensif.
Penambangan batu kapur di Watopute, membutuhkan sekitar 200 hektar lahan yang terbentang dari Desa Labaha hingga ke Kelurahan Dana. Barisan perbukitan Baluara, Lakokuli, Wasirikamba, Kontu Harimau, hingga Molo, merupakan satu rangkaian bukit karst dengan kandungan batu kapur siap olah. Ada sekitar tujuh desa termasuk Desa Bungi di Kecamatan Kontunaga, akan menerima dampak dari penambangan tersebut.
“Pemerintah Kecamatan Watopute harus membuka ruang publik, diskusi bersama, untuk mengkaji lebih dalam dari segala aspek. Sebelum akhirnya menyatakan menerima atau menolak,” ujar Edi Samiel, Ketua IKA Harimau Kontu yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya UHO.
Faktanya, aktivitas penambangan di daerah manapun tidak banyak memberi kesejahteraan kepada masyarakat setempat. Memang pabriknya menyerap tenaga kerja, namun keuntungan itu hanya bersifat sementara. Dampak negatif yang akan datang lebih besar dirasakan generasi selanjutnya. Sedangkan pemilik modal, setelah memperoleh untung besar pergi meninggalkan daerah “jajahannya” itu.
“Sejak awal masyarakat akan dirugikan. Secara de facto memang masyarakat mendiami kawasan itu, tapi secara de jure tidak memiliki kekuatan hukum. Karena kawasan itu adalah kebun nomaden. Tidak banyak yang disertifikatkan, hanya pengakuan secara sosial. Jadi, janji kompensasi dari perusahaan itu akan susah didapatkan,” papar Edi Samiel.
Fakta lainnya, lokasi tersebut sangat dekat dengan pemukiman. Maka dalam analisis dampak lingkungan (Amdal), kajiannya tidak akan lulus. Pemukiman warga akan menjadi korban kerusakan alam.
Komunitas Seroja Merah yang selama ini fokus mengembangkan Baladewa (Barisan Perbukitan Baluara, Lakokuli, Kontu Harimau dan Wasirikamba) menjadi kawasan ekowisata, lebih sepakat membangun kawasan pertanian, perkebunan dan pariwisata di lokasi tersebut, jika tidak ingin melihat Watopute menjadi Kota Mati ke depannya saat dilanda bencana alam karena habisnya kawasan karst.
“Kesejahteraan memang penting, kelestarian lingkungan kita lebih penting. Pabrik pengolahan batu kapur hanya akan dirasakan sesaat, setelah itu kita akan menerima dampaknya sampai anak cucu. Kalau barisan Baladewa habis, maka semua hewan yang berdiam di sana akan mencari habitat baru, pemukiman warga jadi korban,” ujar Ketua Seroja Merah, Ongky Ortega.
Mahasiswa Program Doktor UGM yang juga dosen Sosiologi UHO, La Bilu, mengatakan, masyarakat Kecamatan Watopute harus kompak setelah melakukan kajian mendalam tentang rencana penambangan tersebut. Jika disepakati, semua pihak harus sepakat dan siap menanggung segala konsekwensinya. Begitu pula apabila tidak sepakat, semua pihak harus memikirkan solusi lain untuk kesejahteraan masyarakat.
Editor: Gugus Suryaman