Pengrajin Tungku masih Eksis di Masyarakat Sultra

  • Bagikan
Proses pembuatan tungku. (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)
Proses pembuatan tungku. (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KONAWE – Tungku sebagai alat memasak rupanya masih eksis di tengah masyarakat. Begitu pula produsennya di Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya Kabupaten Konawe.

Di tangan sejumlah pengrajin di Desa Amesiu, Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, tungku dibuat dari campuran tanah liat, abu gosok, dan air. Uniknya, tidak jarang proses pembuatan tunggu dilakukan di depan rumah, sehingga bisa disaksikan pengunjung.

Proses pembuatan tungku, yakni mencampurkan semua bahan utama. Kemudian dimasukkan ke dalam cetakan ‘mal’ yang terbuat dari ikatan potongan-potongan batang bambu membentuk lingkaran. Pendiaman kemudian dilakukan empat hari hingga kering.

Setelah tungku mengeras, barulah dilakukan pemodelan dan cat menggunakan campuran tanah merah dengan air. Terakhir, dilakukan pembakaran agar tungku bisa tahan lama.

“Awal buat tungku itu pas Indonesia mengalami krisis ekonomi di masa pemerintahan Megawati, minyak tanah langka sekali. Di situ kami membuat tungku untuk kita pakai memasak pengganti kompor, kalau kompor pakai minyak tanah sedangkan tungku bisa kayu atau arang saja,” jelas Seorang pembuat tungku di Desa Amesiu, Rais, Jumat (5/4/2019).

Proses pembuatan tungku. (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)
Proses pembuatan tungku. (Foto: Ulul Azmi/SULTRAKINI.COM)

Di Desa Amesiu, terdapat sekitar sepuluh lokasi pembuatan dan penjualan tungku. Hasil kerajinan mereka dijualkannya ke distributor tungku di Kota Kendari. Terkadang, tungku dijual langsung oleh pengrajinnya.

Misalnya Ratih. Pengrajin tungku satu ini mengaku setiap bulan terkadang tiga kali pemborong datang membeli ratusan tungku untuk kembali dijualkan ke Kabupaten Kolaka Utara, Buton, Muna, dan lainnya.

“Kalau kita jual di depan rumah, biasanya bus besar yang mau ke Sulawesi Selatan singgah beli tungku. Ada juga yang singgah beli dibawa ke Kolaka, macam-macam pembeli,” cerita Ratih.

“Kalau ada yang borong biasanya harganya Rp 50 ribu kita kasih diskon jadi 40 ribu saja. Biasanya mereka borong 100 tungku kita kasih harga 2 juta. Kalau keuntungannya sendiri itu bersihnya sekitar Rp 1. 250.000 karena 500 beli arang, 200 beli abu gosok, 50 bensin untuk mengangkut tanah liat,” sambungnya.

Bicara ukuran, tungku memiliki ukuran bervariasi, seperti tinggi 45 sentimeter dan lebar 35 terjual dengan harga Rp 50 ribu, sedangkan ukuran sedang tinggi 27 sentimeter dan lebar 20 dijual Rp 25 ribu.

Laporan: Ulul Azmi
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan