Akhir-akhir ini, lapas (Lembaga pemasyarakakatan) Sukamiskin menjadi perbincangan di layar kaca. Ia adalah lapas khusus koruptor kelas kakap, yang beberapa bulan sebelumnya telah di hendus bau busuknya oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Bagaimana tidak demikian, dalam lapas Sukamiskin yang sebenarnya sukamewah ini, dilengkapi dengan fasilitas super mewah bak kos-kos-an elit. Di himpun dari Kompas.com, ada perlengkapan mewah seperti televisi, dagdet, AC (alat pendingin), leptop, uang tunai jutaan rupiah, alat olahraga elit, bahkan kursi mewah dan barang-barang lainnya mewarnai tempat para tahanan yang merampok uang rakyat ini. Yang tentu saja ada kong kalikong yang terjadi sehingga barang-barang semewah dan semahal itu bisa begitu mudahnya masuk, menemani hari-hari para tahanan.
Tentu, penjara yang mungkin anak kecil menganggapnya tempat durjana yang pengap, gelap dan mencekam itu tidak berlaku kepada para perampok kelas kakap ini. Justru ada kemewahan dan kenyamanan yang terpatri disana.
Kong kalikong inipun mencuat tatkala KPK berhasil menangkap ketua lapas atas dugaan kasus suap dari napi tahanan yang digunakan untuk mempermulus masuknya alat-alat mewah, sekaligus memberikan izin untuk keluar masuk penjara. Sungguh, sebuah tamparan keras yang memalukan untuk jajaran lapas di negeri ini. Bagaimana mungkin, narapidana koruptor masih tetap eksis melakukan praktek suap walau sudah berada di tempat yang bernama tahanan itu.
Akar Masalah
Sesungguhnya carut marutnya kasus korupsi plus rusaknya hukum di Indonesia bisa dilihat melalui perspektif sistem itu sendiri. Jika ditelusuri secara mendalam, ada beberapa penyebab mengapa korupsi kian eksis dan mengapa bisa terjadi kasus suap antar narapidana dan ketua lapas.
Pertama, sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketaqwaan dari politik, hukum dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang tercipta menyatu dalam diri para politisi, aparatur, pegawai lapas bahkan ketua lapas itu sendiri. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Tak ada kesadaran dalam diri bahwa semua yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta. Baik amanah maupun jabatan.
Kedua, kapitalisme telah menyihir kewarasan para pejabat negara maupun aparat hukum. Uang seolah menjadi segalanya. Koruptor merampok uang rakyat untuk menutupi biaya yang telah ia keluarkan selama berkampanye. Dan setelah tertangkap, sang koruptor kembali menyuap kepala lapas, yang juga telah terbius oleh paham kapitalis. Agar dapat mengizinkan para napi untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang tak seharusnya mereka miliki. Suap saling suappun terjadi, yang semua dilakukan untuk kepentingan pribadi masing-masing.
Ketiga, sistem hukum di negeri ini yang tak bikin jera. Kasus korupsi yang kian tahun semakin meningkat menjadi salah satu bukti, betapa percaya dirinya para pejabat negara menjarah uang rakyat. Bahkan tak ada ketakutan sedikitpun akan hukuman yang akan menimpanya. Lihat saja, Tempo.co (20/02/2018) mengungkapkan bahwa Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corrupption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017 dengan total kerugian negara 6,5 triliun dan suap 211 miliyar. Angka ini bertambah dibandingkan pada 2016 dengan total 482 kasus dan kerugian negara 1,5 triliun. Sungguh, peningkatan yang sangat tinggi.
Tak ada efek jera itu kian terlengkapi ketika melihat gambaran tempat pemberian hukuman yang begitu mewah dengan fasilitas super canggih. Penjara yang semestinya menjadi tempat untuk memberikan hukuman bagi para terpidana, malah bertransformasi menjadi tempat mewah yang lebih cocok di sebut apartemen mewah.
Sehingga, korupsi yang merupakan penyakit kronis, merongrongi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di bangsa ini akan senantiasa mewarnai negeri selama sistem yang digunakan masih sistem kapitalisme sekularisme.
Hukum Islam Bikin Jera
Dengan adanya kasus lapas mewah para koruptor kelas kakap ini, makin membuktikan kepada kita bahwa penjara disistem ini bukanlah hukuman yang dapat memberikan efek jera. Rupiahlah yang bermain di dalamnya. Bahkan semua bisa diatur sesuka hati, asal ada pelicin, sebagaimana yang terjadi pada lapas Sukamiskin. Hal ini memunculkan sebuah kesimpulan bahwa hukum lebih rendah dibandingkan nilai rupiah.
Padahal, Jika di bandingkan dengan hukum Islam, Islam lebih tegas dan tuntas dalam memberikan hukuman bagi tersangka pencuri uang rakyat, dan sudah dapat dipastikan, para tersangka tersebut tidak akan berani mengulangi kejahatannya lagi.
Islam memandang bahwa kejahatan bukanlah fitrah manusia dan bukan pula penyakit. Namun, kejahatan adalah pelanggaran terhadap hukum syariah baik interaksi manusia dengan Robbnya, dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Karena itu diperlukan sanksi bagi pelaku pelanggaran ini hingga ia dapat menjalankan setiap aturan Allah dan menjauhi segala larangannya.
Dalam Islam, hukuman untuk para koruptor seperti yang merebak saat ini, semua dikembalikan kepada keputusan khalifah. Apakah mau potong tangan, penjara, atau yang lainnya. Dan kalaupun penjara, maka penjara yang disediakan bukan seperti penjara yang ada seperti pada saat ini.
Islam memandang bahwa penjara adalah salah satu jenis dari ta’zir. Ta’zir adalah sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh Khalifah. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam menjelaskan, bahwa pemenjaraan memiliki arti mencegah atau menghalangi seseorang untuk mengatur diri sendiri. Artinya, kebebasan atau kemerdekaan individu untuk benar-benar dibatasi sebatas apa yang dibutuhkannya sebagai seorang manusia. Sanksi dengan model pemenjaraan, telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin.
Dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam dijelaskan, bahwa penjara adalah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Ini artinya, penjara adalah tempat dimana orang menjalani hukuman, yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Karena itu, penjara harus memberi rasa takut dan cemas bagi orang yang dipenjara. Tidak boleh ada lampu yang terang dan segala jenis hiburan. Tidak boleh ada alat komunikasi dalam bentuk apa pun. Hal itu karena ‘dia’ adalah penjara, tempat untuk menghukum para pelaku kejahatan. Tidak peduli, apakah dia miskin atau kaya; tokoh masyarakat atau rakyat biasa. Semua diperlakukan sama tanpa menghilangkan hak-haknya sebagai manusia.
Namun sayangnya, seluruh kejahatan itu hanya bisa dibasmi dan dihukum dengan hukuman yang sebenarnya, penjara yang bikin jera, ketika syariah Islam diterapkan secara total dan sempurna dalam sebuah institusi negara. Wallahu A’lam Bissawab
Oleh Fitriani S.Pd ( Pengajar dan Pemerhati Umat)