Perspektif Pertalindo Terhadap Omnibus Law di Sektor Amdal

  • Bagikan
Kajian diskusi Pertalindo Sultra seputar arah kebijakan Amdal terhadap perspektif omnibus law. (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: KENDARI – Menyikapi wacana perubahan-perubahan peraturan hukum atau Omnibus Law di sektor Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), DPP perkumpulan tenaga ahli lingkungan hidup Indonesia (Pertalindo) wilayah Sulawesi Tenggara mulai mengkaji melalui diskusi bertema Menyikapi Arah Kebijakan Amdal Dalam Perspektif Omnibus Law di Aula Kantor Pusat UMKM di Kota Kendari, Kamis (6/2/2020).

Terdapat beberapa poin penting dalam rancangan Omnibus Law yang dirampingkan melalui pasal-pasal, di antaranya izin lingkungan, ketenagakerjaan, pengadaan lahan, dan pengelolaan UMKM. Pertalindo menyikapi itu bukan persoalan, justru lebih sederhana.

Pengurus Pusat DPP Pertalindo, Christian Pasaribu, mengatakan terkait rancangan Omnibus Law ini sebenarnya bagi Pertalindo bukan perubahan, justru perampingan atau penyederhanaan Amdal.

“Jangan sampai selama ini amdal menjadi momok, ke depannya dengan omnibus law ini malah menjadi lebih ramping dan sederhana, dengan tujuan percepatan investasi dan perluasan cipta lapangan kerja,” jelas Christian.

Menyangkut izin lingkungan, katanya, bukan dihapus, tetapi pada prinsipnya esensi dari izin lingkungan itu tidak dihapus, hanya saja lebih kepada SK Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL). Panduanya tetap, rekomendasi kelayakan lingkungan itulah yang menjadi dasar atau panduan untuk menjadi kelayakan lingkungan hidup ke depannya.

Hanya saja dalam penyusunan amdal ini, Lanjut Christian, yang harus diperkuat dan menjadi keinginan pengurus Pertalindo seluruh Indonesia yang selama ini diperjuangkan adalah penyetaraan antara penyusun Amdal dan komisi penilai amdal (KPA). Sehingga apa yang disusun bisa bernilai setara. Sementara yang terjadi selama ini KPA “sewenang-wenang” dalam menjalankan fungsinya untuk mencari-cari kesalahan dalam dokumen.

“Padahal harapan kita dalam sidang pembahasan Amdal itu KPA bisa memberikan masukkan untuk kesempurnaan dokumen untuk implementasi lingkungan hidup tetap dijalankan, bukan sewenang-wenang dalam artian tanda kutip,” ucapnya.

Jadi yang perlu dihilangkan, kata dia, sebenarnya bukan KPA-nya, tetapi harus ada lembaganya. Artinya, lembaga yang bersertifikat, itulah nantinya yang diturunkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk siapa yang akan ditunjuk.

“Saya pikir hal itu baik sekali, ini juga menjadi kerinduan kami dari penyusun Amdal. Intinya supaya penyusun dan penilai itu ada kesetaraan,” ucapnya.

Ketua DPP Pertalindo Sultra, Laode Ngkoemani juga mengemukakan hal senada bahwa prinsipnya dari draf rancangan Omnibus Law ini seakan-akan ada momok di dalamnya, tetapi setelah dikaji dan dipelajari ternyata ada penyederhanaan dalam artian bukan menghilang instrumen lingkungan. Sebab, yang terjadi selama ini dalam penyusunan amdal itu terlalu tinggi aspek biaya, waktu yang lama, dan proses yang panjang.

“Jika dibandingkan dengan rancangan baru ini, soal investasi diinginkan lebih cepat, kepastian, dan termasuk efisien serta efektif dari aspek ekonomi. Jadi dari hasil kajian diskusi ini kami menilai hal ini sangat baik,” ujar Laode Ngkoemani.

Apalagi di satu sisi, Pertalindo yang di dalamya merupakan orang-orang kompeten penyusun Amdal, memang selama ini mengalami hal yang tidak Equel dalam artian tidak kompetensi sebagai syarat administrasi.

Artinya, penyusun amdal itu wajib mengikuti pelatihan, wajib tes kompetensi yang diuji dan dinilai oleh para ahli dengan standar kualifikasi yang tinggi sehingga lulus dengan nilai yang baik.

Menurut Laode Ngkoemani, harus ada lembaga kompetensi penilaian yang bersertifikat, misalnya pernah mengikuti dasar-dasar Amdal, seperti apa amdal yang baik itu karena Amdal itu berbeda dengan kajian ilmiah yang detail.

“Amdal itu bagaimana ‘mengawinkan’ kajian-kajian aspek ilmiah dengan aspek-aspek legal dengan pendekatan ke masyarakat, bagaimana itu lingkungan bisa berkelanjutan. Meskipun tidak ada pembangunan yang tidak merusak, tetapi bagaimana minimal tidak kerusakan itu diminimalisir sedikit mungkin agar nilai-nilai positif yang dikedepankan,” jelas dosen ilmu kebumian itu.

Kajian diskusi Pertalindo Sultra seputar arah kebijakan Amdal terhadap perspektif omnibus law. (Foto: Hasrul Tamrin/SULTRAKINI.COM)

Dalam Amdal harus meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Ujungnya adalah rencana pengelolaan dan rencana pemantaun lingkungan menjadi poin pentingnya.

“Sejauh ini kalau kita liat drafting-nya (penusunannya) dari omnibus law ini sangat baik, artinya kita sepakat dan tetap mengawal-selama itu berpihak pada penyelamatan lingkungan, tapi sejauh ini di draft-nya masih baik dan akan tetap terus kita kawal,” tambahnya.

Diharapkan DPRD mendukung hal tersebut, termasuk peraturan-peraturan turunannya, baik dalam bentuk peraturan daerah sehingga hal itu perlu konsisten karena dalam Perda itu keseragamannya berbeda-beda.

“Syukur dalam draft omnibus law ini ada penekanan segala aturan teknis akan diatur oleh menteri, sehingga improvisasi di daerah tidak akan terjadi. Mudah-mudahan dengan omnibus law ini bisa mempercepat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Kita sebagai praktisi lingkungan dengan tetap memperhatikan lingkungan agar tetap berkelanjutan karena itu yamg menjadi sisakan harapan buat anak cucu kita,” sambung Laode Ngkoemani.

Laporan: Hasrul Tamrin
Editor: Sarini Ido

  • Bagikan