Pertemuan ‘Romantis’ Wisata Dua Mata Air yang Menurunkan Hujan di Muna

  • Bagikan
Mata air Motonuno atau Oeno Mata yang berada di sebelah timur Desa Lakarinta Kecamatan Lohia. (Foto: Arto Rasyid/SULTRAKINI.COM)

SULTRAKINI.COM: MUNA – Oeno Mata merupakan mata air dari Muara Motonuno yang artinya Mata Air Motonuno. Di kalangan masyarakat setempat, wisata nan eksotik ini punya cerita yang dipercayai sejak turun temurun.

Objek wisata Muara Motonuno terletak di bagian timur Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Muara Motonuno merupakan wisata pertama yang dibuka oleh Gubernur Sultra ke-IV, Abdullah Silondae yang ketika itu mulai menjabat pada 1978 dan Bupati Pertama Muna, Kaemoddin pada 1978.

(Baca: Mitos Muara Motonuno, Wisata Pertama Pulau Muna)

Oleh masyarakat setempat, mata air muara mengandung belerang ini, berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit apabila dipakai mandi. Cukup berjalan kaki sekitar 150 meter dari bibir muara, untuk menjangkau lokasi tersebut. Selama perjalanan pun, pengunjung sudah disambut dengan hijaunya hutan belantara yang menyejukkan jiwa.

Salah Seorang Pemuda Desa Lakarinta, Zainal ditemui SultraKini.Com bercerita, konon apabila terjadi musim kemarau panjang di kampung mereka, orang tua terdahulu bersama tokoh adat melakukan prosesi ritual budaya dengan mempertemukan mata air Motonuno dengan mata air Lawulamoni yang berdiameter sekitar 700 meter menyerupai lingkaran di Desa Lamaeo, Kecamatan Kabawo, Kabupaten Muna. Para tokoh adat ini, kemudian menyatuhkan kedua air kedua mata air berbeda itu ke dalam sebuah wadah. Rupanya, ritual ini dipercaya mampu mendatangkan hujan di kampung mereka.

“Kedua mata air itu yang disatukan mata air Motonuno sebagai air mata perempuan dan mata air Lawulamoni sebagi air mata laki-laki, yang menjadi keyakinan masyarakat disini sejak dulu mampu datangkan hujan dan itu bisa dibuktikan jika terjadi kemarau panjang karena salah satu keajaiban yang ada di kampung ini,” jelas Zainal, Jumat (1/12/2017) malam.

Kembali melanjutkan pencarian fakta Muara Motonuno, SultraKini.Com kemudian menemui Pendiri Komunitas Muda Pemerhati Budaya (Kambawuna) Kabupaten Muna, Hadi Wahyudi.  Dari dia diketahui, di masa pemerintahan Raja Muna ke XXIII, Laode Safiu Anami yang bergelar Oputa Motembana Karoona pada 1919, menyatuhkan dua mata air memang benar adanya. Begitu juga tujuannya untuk mendatangkan hujan di kala kemarau panjang di Desa Lakarinta.

“Ketika terjadi kekeringan, diyakini dengan dipertemukan kedua mata air tersebut melalui tata cara ritual tertentu, dapat mendatangkan hujan. Dengan esensi, rezeki yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat setempat,” kata Hadi yang juga Ketua Bidang KAHMI Muna.

Oleh Pemerintah Daerah Muna, rencananya ritual budaya ini akan berlangsung pada Festival Pantai Meleura pada Desember 2017. Ritual sengaja diagendakan untuk memperkenalkan potensi wisata dan kearifan lokal kepada para pengunjung nantinya.

“Ini merupakan gebrakan baru yang dilakukan oleh Pemda untuk menggali potensi budaya, terkhusus melakukan ritual di Festival Meleura nanti yang semuanya bermuara pada sebuah keyakinan dan semangat mendorong kesejahteraan masyarakat. Witeno Wuna Wite Barakati mesti menjadi katalisator dalam percepatan pembangunan sekaligus, perekat seluruh orang Muna dimanapun berada agar memiliki kepedulian bersama membangun daerah kita tercinta,” ucap Hadi.

(Baca: Catat! Traveling Seru Mai Te Wuna di Festival Pantai Meleura 2017)

Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokoler Setda Muna, Amiruddin Ako mengatakan ini merupakan cerita masyarakat sejak turun temurun yang diyakini dapat mengundang turunnya hujan dan tentunya harus dijaga kelestariannya sebab merupakan salah satu kekayaan budaya yang ada di Kabupaten Muna.

“Cerita legenda itu merupakan bagian dari kearifan lokal yang masih terjaga di masyarakat sampai saat ini. Jadi dulu kalau terjadi musim kemarau panjang, dilakukan ritual mengambil kedua mata air tersebut dan itu akan kembali diulang dalam bentuk acara adat pada rangkaian Festival Meleura nanti, karena itu bagian dari aspek wisata,” ungkap Amiruddin.

Untuk diketahui, sebelum sampai ke mata air Motonuno (Oeno Mata), pengunjung dapat singgah di mata air hitam (Oe Kaghito) yang jaraknya sekitar 50 meter dari bibir muara yang terdapat dibawah liang berdiameter 300 meter persegi. Jernihnya air muara, hingga dari kejauhan akan nampak berwarna hitam.

Konon, masyarakat menyakini lokasi ini tempat mandinya para bidadari. Namun seiring perkembangan zaman, Oe Kaghito kini dijadikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai sumber mata air bagi masyarakat setempat.

Laporan: Arto Rasyid

  • Bagikan