Pesan yang Tidak Boleh Putus di Ingatan Kita

  • Bagikan
sepenggal pesan

Review: Film
SEPENGGAL PESAN – Jangan Putus Sekolah

SULTRAKINI.COM :PEMUDA itu berlari menyusuri pematang. Amplop berisi surat dari sekolahnya terkibas-kibas ke udara, seiring ayunan tangan dan kakinya yang kian cepat. Sepedanya dilempar begitu saja. Ia ingin sekali segera bertemu bapaknya. Seorang lelaki tampak olehnya dari kejauhan. Itulah bapaknya. Lelaki yang kini terduduk di pematang karena sesuatu. Ia baru saja mengangkat kepala setelah dari bungkuknya yang dalam tadi. Ia tak ingin hati putranya hancur jika melihatnya ringkih macam itu. Ia berdiri, menyambut putranya.

Screen berlalu cepat di 15 menit terakhir itu. Saya dua kali bertepuk tangan kecil untuk menahan gemuruh di dada. Buncah perasaan saya. Senang luar biasa pula, melihat bagaimana akting dimainkan dengan baik. Follow-cam yang cepat dan ilustrasi musik yang masuk dengan tepat, sebenarnya, ikut memacu saya ingin melompat ke adegan berikutnya. Bukan, bukan karena runtutan adegannya yang terasa lambat. Justru karena saya terdorong rasa penasaran ke puncak adegan berikutnya. Paruh terakhir dari ending film Sepenggal Pesan itu, menurut saya, berakhir dramatis, dipenuhi footage mengejutkan, dan mengikat kuat pesan film ini. Dapet banget, pokoknya. Sejujurnya, saya cukup terguncang.

Saya terguncang saat menyadari potensi sinematografi barisan sineas muda Konawe Selatan yang memproduksi film ini, ternyata baik sekali. Ke mana saja mereka selama ini? Baiklah. Itu pertanyaan retorik. Tak usah dijawab. Saya senang saja menanyakannya karena gembira.

Film ini diproduksi oleh Wonuando Films, rumah produksi kecil di Konawe Selatan. Boleh jadi, karena “kecil” itulah mereka mampu mengawal produksi film besutan ini dengan baik. Film Sepenggal Pesan (Jangan Putus Sekolah) adalah film pendek pertama mereka yang tiga hari ini, hingga besok, ditayangkan perdana di Hollywood Cinema Kendari. Jangan cemas, setelah jadwal premier yang hanya empat hari itu, masih akan ada jadwal penayangan yang bisa dinikmati selama dua pekan.

sepenggal pesan

Sebagai movie reviewer, saya sangat merekomendasi film ini untuk ditonton siapa saja, khususnya kalangan pelajar dan guru. Para pemerhati pendidikan juga harus ambil bagian, sebab masalah krusial yang menghantui mereka selama ini direfleksikan dengan gamblang di film ini. Jika pun ingin memerbaiki kebijakan pendidikan kita di tingkat lokal, sebaiknya setiap penentu kebijakan (pemerintah dan legislator) mesti menyimak film ini. Percayalah, film ini tidak sedang berusaha menggurui siapapun. Mereka hanya sedang menjadi mata bagi kita semua, walau boleh jadi masalah klasik pendidikan kita juga pernah bersebadan dengan mereka di bangku sekolah.

Media pun sebaiknya jangan tanggung-tanggung, jika ingin menjadikan film ini sebagai kendaraan untuk mendorong isu pendidikan. Ini isu primer, dan bagaimana film ini mendorong gagasan pentingnya sekolah sebagai salah satu lembaga peletak fondasi pendidikan, sudah dikerjakan dengan baik oleh Wonuando Films.

Walau berdurasi pendek, sebagai sort-cinema, Sepenggal Pesan percaya bahwa gagasan meraih pendidikan setinggi dan sebanyak mungkin, seharusnya menjadi surya kanta bagi berbagai isu besar pendidikan di negeri ini. Awak produksi juga percaya, sebagai elemen reflektif, film harus punya andil besar mengubah pola pikir, mendorong gagasan, dan mengubah kebijakan ke arah yang lebih bermanfaat. Menurut saya, Angga RD, sang sutradara, berhasil mengarahkan film ini dengan baik. Cara pengambilan gambar yang memadukan berbagai teknik dan perangkat adalah salah satu keunggulan film ini, selain tentu saja, jalan ceritanya.

Persoalan klasik dunia pendidikan Indonesia, rasanya, nyaris identik di semua tempat di negeri ini. Lewat film besutan beberapa rumah produksi di Indonesia, masalah pendidikan ditampilkan nyaris telanjang. Lewat Denias, kita diperlihatkan potret pendidikan dan anak didiknya sekaligus di dataran tinggi Papua. Walau hanya sekilas, kita juga melihatnya lewat Pakis, di perkampungan Bajo Wakatobi. Atau, yang mungkin paling kentara adalah, Ikal, Lintang dan Aling, yang tidak merasakan kehadiran negara di kampung mereka, di Belitung sana. Tetapi lewat Fari di film ini, isu pendidikan bukan hanya tentang sistem dan kebijakannya, namun juga mentalitas masyarakat dan sikap kepentingan komunitas yang saling berbenturan. Crassing-point yang paling penting di sini justru terjadi pada manusianya. Bagaimana semua itu dihubungkan secara apik dalam durasi 30 menit, silakan tonton sendiri filmnya.

Film ternyata tidak sakadar alat tamasya secara artifisial, dia juga menjadi cermin untuk orang-orang yang hilang dalam peta pendidikan Indonesia, sebagaimana cermin yang digunakan dalam tradisi orang Bajo—dan juga Pakis—untuk mencari ayahnya yang hilang di laut (dalam Mirror Never Lies). Saya sangat berharap, bahwa nasib orang-orang yang hilang dalam peta pendidikan kita itu tidak setali dengan nasib ayah Pakis, yang hilang selamanya.

Tentu saja semua kerja keras para sineas di Wonuando Films akan bermanfaat jika kita pun mengapresiasinya dengan baik. Mari menonton film ini. Sort-cinema yang layak bioskop ini sudah tayang perdana sejak tanggal 4 Agustus, dan masih akan tayang secara terjadwal dalam dua pekan ke depan di Hollywood Cinema Kendari.

Film ini dibintangi Khairul Al Fazzari, Ika Puspita, Sandi Shardi, Nur Azizah Wulansari, Diyat Armadan Saleh. Didukung oleh Selviana, Abdul Rahman, Restu Al Qadri Hidayat, Imansyah Laraesa, dan Wawan Banasur. (IQM)

Pemesanan Tiket: Diyat (Telp/SMS: 0812.4341.4900) dan (WA: 0813.4266.7831) atau bisa dibeli langsung di loket Hollywood Cinema Kendari pada jam-jam pemutaran (pukul 12.30 WITA dan 19.00 WITA).

Simak jamnya dan datang 15 menit sebelum pemutaran agar terhindar dari antrian. Selamat menikmati.

  • Bagikan