Pilgub dan Faksionalisasi PAN

  • Bagikan
La Husen Zuada, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Halu Oleo.Foto: Ist

Oleh: La Husen Zuada
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Halu Oleo.

Soliditas Partai Amanat Nasional menjelang Pilgub Sultra mendapatkan ujian. Aksi ‘buka baju’ pengurus dan kader PAN di beberapa daerah mengindikasikan partai tersebut sedang mengalami perpecahan atau faksionalisasi.

Kemunculan faksionalisasi dalam organisasi partai merupakan hal yang biasa dan wajar sepanjang dikelola dengan baik. Namun, jika faksionalisasi tersebut ‘liar’, maka akan berpengaruh pada perpecahan yang lebih ekstrim.

Terkait munculnya faksi-faksi dalam partai, Françoise Boucek (2009) memberikan tiga tipologi faksionalisme. Pertama, kooperatif yaitu faksionalisme yang muncul jika ada kapasitas agregatif partai untuk memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok di dalam partai. Biasanya faksi ini mengalami pengelompokan berdasarkan militansi ideologis, primordial dan ketokohan.

Kedua, kompetitif yaitu faksionalisme yang muncul ketika perbedaan pendapat, konflik kepentingan, maupun perebutan jabatan-jabatan strategis di partai menghadirkan gaya politik sentrifugal dan fragmentasi yang semakin mengeraskan perkubuan di dalam partai.

Ketiga, degeneratif dimana faksionalisme ini terjadi ketika muncul banyak faksi yang berorientasi pada kepentingan kelompoknya semata dan beroperasi sebagai kanal untuk penyaluran patronase.

Terbentuknya Faksi

Faksionalisasi yang terjadi pada PAN Sultra saat ini, sesungguhnya telah dimulai sejak musyawarah wilayah tahun 2016 yang lalu. Saat itu PAN yang melakukan pemilihan ketua DPW terbagi dalam dua faksi yaitu faksi Nur Alam dan bukan Nur Alam. Faksi Nur Alam menguasai mayoritas struktur partai, mereka ini adalah ketua-ketua DPC (mayoritas bupati dan mantan bupati) yang dibesarkan oleh Nur Alam. Sebaliknya faksi bukan Nur Alam merupakan kelompok minoritas yang menginginkan Asrun sebagai ketua DPW. Meski minoritas kelompok ini memiliki posisi tawar lebih kuat, berkat adanya akses terhadap DPP dan keberhasilnya merangkul kelompok DPC yang tak sejalan dengan Nur Alam.

Dalam rangka merebut kepemimpinan DPW kembali, faksi Nur Alam tampak mewacanakan dua skenario. Pertama, memilih kembali Nur Alam sebagai ketua DPW untuk keempat kalinya andai bersedia. Kedua, memilih ketua DPW ‘titipan’ Nur Alam, jika gubernur Sultra dua periode tersebut tak bersedia lagi dicalonkan. Skenario pertama gagal terwujud setelah terpilihnya anggota presidium pemegang hak suara pemilihan ketua DPW di luar gerbong Nur Alam. Pada sisi lain, DPP yang juga memiliki suara dalam presidium melemparkan wacana regenerasi, yang artinya memberi sinyal ketidaksetujuannya terhadap Nur Alam untuk memimpin kembali PAN Sultra. Situasi ini menjadi kesulitan bagi faksi Nur Alam untuk melahirkan keputusan kolegial sebagai syarat terpilihnya ketua DPW.

Skenario kedua menjadi pilihan faksi Nur Alam meski berlangsung agak keras dan nyaris memecah belah partai ini. Sebut saja pernyataan Umar Samiun dan Kerry Saiful Konggoasa yang siap keluar partai, jika Asrun terpilih sebagai ketua DPW. Konflik yang mengarah pada perpecahan ini terhindarkan setelah DPP mengambil keputusan ‘jalan tengah’ dengan menujuk Umar Samiun sebagai ketua (faksi Nur Alam) dan Adriatma Dwi Putra (faksi Asrun) sebagai sekertaris. Mengacu pada istilah Bouceq, faksi saat Muswil PAN Sultra ini termasuk dalam tipologi faksi kooperatif.

Selanjutnya faksi kompetitif tampak pada saat digelarnya Musda serentak PAN se-Sultra pasca Umar Samiun ditunjuk sebagai pengganti Nur Alam. Dalam Musda yang dipusatkan di Bau-Bau tersebut, persaingan antara faksi Nur Alam dan faksi Asrun kembali terlihat saat penyusunan kepengurusan DPC semisal penentuan Ketua DPC Muna Barat, faksi Nur Alam mendukung L.M. Rajiun Tumada dan faksi Asrun mendukung Rahmawati Badallah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keputusan DPP saat Muswil yang mengambil jalan tengah mampu meredakan konflik, namun tak serta merta menghilangkan faksi yang telah terbentuk sebelumnya.

Menghadapi pemilihan gubernur 2018, faksi-faksi dalam tubuh PAN kembali mengeras yang berujung pada pemecatan dan pengunduran diri pengurus di beberapa daerah,seperti Muna Barat, Buton dan Baubau. Pada tahap ini PAN sedang mengalami faksionalisasi degeneratif. Kemunculan faksi degeneratif ini tentu sangat merugikan partai, selain berpotensi memecah bela partai juga akan mempengaruhi perolehan suara saat momen elektoral menjelang pemilihan gubernur dan legislatif.

Efek elektoral

Salah satu orientasi partai politik adalah merebut kekuasaan melalui pemilu. Berdasarkan data hasil Pemilu 1999 hingga 2014, perolehan suara PAN Sultra menujukan tren kenaikan yang terus menanjak. Sejak sepuluh tahun terakhir PAN di Sultra berhasil mereposisi diri sebagai sebagai partai penguasa (the rulling party). Tercatat PAN sukses memenangi Pilgub selama dua periode. Hingga tahun 2013, koalisi PAN berhasil memenangkan Pilkada pada 10 dari 12 kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara. Di legislatif, hasil Pemilu 2014, PAN keluar sebagai pemenang Pemilu di Sulawesi Tenggara, sekaligus meruntuhkan dominasi Golkar yang telah mengakar kuat sejak orde baru.

Prestasi PAN pada momen elektoral ini menjadi modalitas PAN untuk kembali memenangkan pemilihan kepala daerah 2018 dan legislatif 2019. Namun demikian, kasus hukum yang menjerat kadernya dan konflik internal akan menjadi hambatan untuk melakukan konsolidasi organisasi dan mempertahankan PAN sebagai the winner di Sultra.

Penurunan eksistensi PAN tampak dari hasil Pemilukada 2015 dan 2017 yang gagal memenangkan beberapa kader yang diusungnya, serta tidak mampu mempertahankan daerah yang menjadi basisnya. Pemecatan dan penguduran diri kader PAN di beberapa daerah

belakangan ini akan semakin mempersulit partai untuk mempertahankan gelar juara menjelang Pilgub Sultra dan pemilihan legislatif 2019 nanti.

Dari radar persepsi pemilih pengunduran diri dan pemecatan kader akan berpengaruh pada loyalis dan pemilih PAN. Namun munculnya isu yang beredar bahwa pemecatan didasari oleh sikap kader yang menyuarakan anti politik uang, maka isu ini akan sangat memperburuk citra PAN di mata pemilih secara keseluruhan. Oleh pemilih, PAN akan diasosiasikan sebagai partai pendukung politik uang. Isu politik uang akan semakin memojokan PAN, jika tidak mampu diredam. Sebaliknya akan menguntungkan partai lain (pesaing), jika ini mampu dikapitalisasi sebagai gerakan perlawanan bersama. Meski pada akhirnya, stabilitas suara PAN akan ditentukan oleh kelembagaan partai ini apakah mapan atau rapuh, serta ditopang oleh kedewasaan pemimpin partai dalam menyikapi dinamika internal. Jika kelembagaan dan kepemimpinan lemah, maka bukan tidak mungkin partai ini hanya menjadi matahari di sore hari.

 

* Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Halu Oleo.

  • Bagikan