Opini  

Politik Uang Dibalik Tingginya Partisipasi Pemilih

Titin Kurniawati Ry

Oleh: Titin Kurniawati Ry

SULTRAKINI.COM: Pemilihan Umum (Pemilu) yang menjadi saran pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan undang-undang telah mneyebut bahwa pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini berkaitan dengan demokrasi pada peran serta masyarakat dan partisipasi politik dalam pemilu.

Partisipasi merupakan masalah yang sering dibahas dalam analisis politik modern. Hal tersebut terlihat pada pemilihan umum Legislatif tahun 2024 di Sulawesi Tenggara (Sultra). Pemilu yang menjadi salah satu pilar utama demokrasi yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyalurkan partisipasi politiknya. Tingginya angka partisipasi pemilih sering dianggap sebagai indikator keberhasilan penyelenggaraan demokrasi yang mencerminkan antusias rakyat dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Pada pemilu 14 Februari tahun 2024, Sulawesi Tenggara (Sultra) mencatat angka partisipasi sebesar 83,81 persen yang melampaui target nasional 79,5 persen. Hal ini menandakan peningkatan jika dibandingkan dengan Pemilu Tahun 2019, yang hanya pencapai 79,33 persen partisipasi. Fenomena ini menjadi cermin kompleksitas dinamika demokrasi di Indonesia.

Tingginya partisipasi pemilih bisa dianggap sebagai sinyal positif. Tetapi dengan pertanyaan: Apakah peningkatan partisipasi tersebut mencerminkan kualitas demokrasi yang lebih baik, atau justru masih terjebak dalam masalah-masalah lama seperti politik transaksional?

Tingginya Partisipasi Pemilih: Indikator keberhasilan Demokrasi atau Sekedar Formalitas?

Meningkatnya partisipasi pemilih dalam Pemilu tahun 2024 di Sulawesi Tenggara merupakan pencapaian yang patut diapresiasi. Merujuk pada (Horbert McClosky 1972) partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Angka tersebut menunjukan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya peran mereka dalam menentukan arah pemerintahan. Namun, dibalik eufaria menimpulkan pertanyaan kritis yang perlu dijawab: Apakah peningkatan ini benar-benar mencerminkan kemajuan demokrasi yang substantif, atau hanya menjadi formalitas angka tanpa memperhatikan kualitas pilihan masyarakat?

Peran KPU dalam peningkatan ini tidak bisa diabaikan. Sosialosasi yang massif, peningkatan aksesibilitas TPS, dan Upaya menjaga transparansi proses pemilu menunjukan bahwa penyelenggara pemilu bekerja keras untuk memastikan partisipasi yang lebih inklusif penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemilu sebagai institusi demokrasi yang sah.

Namun, peningkatan partisipasi ini tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas demokrasi yang lebih baik, melainkan hasil dari paraktik politik uang yang masih mengakar dalam budaya politik kita. Politik uang telah lama menjadi alat efektif untuk memobilisasi masa, terutama di daerah yang rentan secara ekonomi. Pemilih tidak datang ketempat pemungutan suara karena dorongan kesadaran politik, melainkan karena menerima imbalan material seperti uang tunai, atau sembako. Praktik ini memanfaatkan kondisi masyarakat yang menghadapi tekanan ekonomi dan minimnya pendidikan politik.

Dampak dari politik uang tersebut bukan hanya pada tingginya angka partisipasi, tetapi juga pada kualitas hasil pemilu itu sendiri, pemilih cenderung tidak mempertimbangkan visi-misi atau kompetensi kandidat melainkan hanya memenuhi “kewajiban”. Akibatnya, demokrasi menjadi ajang transaksional dan pemimpin yang terpilih tidak selalu mencerminkan aspirasi atau kebutuhan masyarakat.

Oleh karena itu, pemerintah, KPU dan masyarakat harus memanfaatkan momentum tersebut untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Partisipasi pemilih yang tinggi perlu diiringi dengan Pendidikan politik yang komprehensif agar masyarakat memilih berdasarkan kesadaran. Selain itu pengawasan terhadap politik uang harus diperketat dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran.***