Polri Waspadai Praktik Politik Uang pada Pilkada

  • Bagikan

SUTRAKINI.COM: Kepolisian Negara Republik Indonesia akan menjadikan praktisi politik uang dalam setiap prosesi pemilihan kepala daerah. Untuk itu  kepolisian melalui Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri telah menyediakan dan melatih tenaga penyidik terkait Tindak Pidana Pemilihan Tahun 2017.

Kepala Bareskrim Polri, Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto, menekankan pada para penyidik untuk berpatokan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam penyelesaian masalah terkait dengan pemilihan kepala daerah.

“Sebagai regulasi yang sifatnya khusus, maka harus dipahami kekhususannya yaitu satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan atau temuan adalah pengawas pemilihan. Kedua, laporan disampaikan paling lama 7 hari sejak diketahui. Ketiga, Bawaslu menindaklanjuti laporan paling lama 5 hari. Keempat, waktu penyidikan paling lama 14 hari kerja; Kelima, prapenuntutan paling lama 3 hari kerja. Keenam, penyidik memenuhi petunjuk jaksa, paling lama 3 hari kerja,” papar Ari di Jakarta, Kamis (13/10/2016).

Pilkada 2017 akan berlangsung di 101 wilayah, terdiri dari 7 daerah pemilihan gubernur, 76 daerah pemilihan bupati, dan 18 pemilihan tingkat kota. 

Pada pilkada serentak 2015 lalu, jumlah laporan atau temuan yang diterima oleh pengawas pemilihan sebanyak 141 kasus. Dari jumlah tersebut, 34 tindak pidana pemilihan yang diteruskan kepada penyidik Polri. Lalu setelah dilakukan penyidikan penyelesaian tindak pidana, 12 perkara dihentikan penyidikannya.

Belajar dari proses penanganan tindak pidana pemilihan tahun lalu itu, menurut Ari, sinergitas antar institusi menjadi kebutuhan.

“Kondisi yang demikian tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Bareskrim Polri selaku pembina fungsi reskrim, bersama-sama dengan Bawaslu RI dan Kejaksaan Agung mencari formula yang tepat dan efektif untuk mengeliminir permasalahan kesamaan pemahaman dengan berpedoman juga pada pasal 146 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,” ujar Ari dalam press release yang dikirimkan kepada SultraKini.com.

Lebih lanjut Ari mengingatkan untuk tetap mematuhi koridor hukum terkait dengan tindak pidana pemilihan kepala daerah yang terdiri dari 3 insitusi yaitu unsur Pengawas Pemilihan, Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut Umum. 

“Regulasi telah menetapkan bahwa pola penanganan tindak pidana pemilihan memiliki rumah yang bernama Sentra Gakkumdu yang berada di pengawas pemilihan, yang dijadikan sentral kegiatan. Maka semuanya mesti tetap pada koridor hukum sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga atau institusi. Ini untuk memudahkan koordinasi dalam menyamakan pemahaman serta memangkas birokrasi yang panjang. Diantaranya adalah penerusan laporan, tahap satu, prapenuntutan dan tahap dua dilakukan di sekretariat Sentra Gakkumdu. Ini penting agar penuntasan tindak pidana lebih selaras lagi,” tutup Ari.

Pada bagian lain, Ari mengingatkan, regulasi telah menutup ruang bagi pasangan calon hingga para pemilih untuk terlibat dalam haramnya praktik politik uang.

“Sudah saatnya meninggalkan pola lama yang justru anti-demokrasi melalui politik uang. Bertarunglah dalam pilkada dengan menampilkan visi dan misi, cara yang bersih. Jika tidak, dengan undang-undang yang sudah ada, dapat dipastikan bahwa setiap pelanggaran akan mendapat ganjaran yaitu penindakan hukum,” ujar Ari. 

Berdasarkan data, pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyatakan pada ayat satu bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Lalu pada ayat dua menyatakan bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari titik itu, Ari menyandingkan rumusan dari regulasi itu dengan pengertian tindak pidana materiil dan formil. 

“Satu sisi, tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak dikehendaki atau dilarang. Tindak pidana ini baru dianggap selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki atau dilarang tersebut benar-benar terjadi. Sementara tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang perumusannya dititik-beratkan pada perbuatan yang dilarang. Tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam tindak pidana tersebut,” ungkap Ari.

Dengan hal itu, masih menurut Ari, sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan yang berpotensi muncul dan mesti diantisipasi oleh semua pihak termasuk juga anggota Kepolisian Republik Indonesia.

“Diantaranya adalah bagaimana pembuktian surat suara yang telah dicoblos dan disimpan dalam kotak suara yang disegel?. Lalu, bagaimana dengan asas pemilu yang “rahasia”, akankah penyidik Polri menanyakan kepada penerima yaitu pemilih mencoblos paslon nomor berapa dengan pemberian tersebut. Bukankah ini pelanggaran asas rahasia?” papar Ari. 

Meski demikian, tambah Ari, setiap penyidik Polri justru berfokus pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.

“Penyidik fokus saja untuk mewaspadai perkara politik uang. Lakukan penyidikan secara profesional, karena tidak menutup kemungkinan akan dijadikan sebagai kendaraan untuk mengalahkan lawan politik dari masing-masing pasangan calon dengan membuat seolah-olah terjadi politik uang. Penyidik Polri juga jangan sampai ikut masuk dalam area yang diciptakan oleh pasangan calon tertentu, tetap pegang teguh pada kebenaran materiil. Dan ingat, Polri tidak berpolitik,” kata Ari.

Selain itu, penekanan khusus lainnya juga disampaikan Ari kepada penyidik Polri agar situasi dan kondisi politik dalam pemilihan kepala daerah yang berlangsung bisa kondusif.

“Penyidik Polri mesti memodomani aturan hukum penyidikan tindak pidana pemilihan. Lalu adakan pertemuan secara rutin antara pengawas pemilihan, penyidik dan jaksa. Ini untuk terus meningkatkan sinergitas dalam forum Sentra Gakkumdu. Selain itu, selalu ikuti dan cermati setiap perkembangan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilihan. Laporkan juga setiap perkembangan dan kejadian-kejadian yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan tahun 2017 dengan memanfaatkan sistem online yang telah tersedia. Terakhir, fokus pada perlindungan dan pelayanan untuk masyarakat,” tutup Ari. 

  • Bagikan