Prof. Nasruddin: Kearifan Lokal Sultra dapat Tangkal Hoax

  • Bagikan
praktisi media Online SultraKini.com yang diwakili M Djufri Rachim (kiri) membawakan materi “Hoax dan Tanggungjawab Sosial Media.”.Foto:ist

SULTRAKINI.COM: Hoax atau informasi bohong yang saat ini marak beredar di masyarakat melalui aneka media, utamanya media sosial, dapat ditangkal dengan bentuk-bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Sulawesi Tenggara.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sulawesi Tenggara (Unusra) Prof. Dr. H. Nasruddin Suyuti mengungkapkan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa peserta kuliah umum yang mengangkat tema “Budaya Literasi Melawan Hoax” di Kampus Unusra, Senin (2 April 2018).

Guru besar ilmu budaya tersebut menjelaskan kearifan lokal mempunyai ciri antara lain mampu bertahan dan mengakomodasi budaya luar serta mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.

Selain itu, kearifan lokal mempunyai kemampuan mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan budaya.

“Berdasarkan ciri tersebut maka kearifan lokal sesungguhnya dapat menangkal hoax yang lagi marak dewasa ini,” kata Prof Nasaruddin.

Diungkapkan, di Sultra sendiri semua suku bangsa yang ada mempunyai kearifan lokal masing-masing, misalnya suku Tolaki mempunyai budaya kohanu (malu) dan merou yakni budaya sopan santun dan tata pergaulan.

Inae merou nggoieto ano dodio toonu merou ihanuno, barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain maka orang lain akan bersikap santun pula kepadanya,” kata Prof Nasruddin.

Demikian pula dengan suku Moronene yang mempunyai filosofi kehidupan metokia (bersahabat) dan tanduale (mengikat tali persaudaraan).

Bukan hanya itu, suku Muna dan Buton tak ketinggalan mempunyai kearifan lokal yang sangat kuat untuk bisa menangkal hoax. Masyarakat Muna yang memiliki kesucian rasa dan akhlak pada falsafah pomaa-maasiaka (saling cinta-mencintai), popia-piara (saling abdi-mengabdi) dan pomae-maeka (saling takut-menakuti).

Sedangkan masyarakat Buton memiliki kearifan lokal berupa filosofi pobinci-binciki kuli (saling cubit mencubit kulit), poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan), pomaamaasiaka (saling cinta-mencintai), popia-piara (saling abdi-mengabdi), dan pomae-maeka (saling takut-menakuti).

Mahasiswa Unusra peserta kuliah umum.Foto:ist

Demikian pula etnis Bali, Bugis, dan daerah lain di Indonesia sudah pasti mempunyai kearifan lokal yang bila diterapkan dalam kehidupan modern yang ditandai dengan perkembangan teknologi digital dapat menangkal segala bentuk fitnah, ujaran kebencian, dan bentuk-bentuk hoax lainnya.

Diakhir penyampaian materi, Rektor Unusra mengajak seluruh civitas akademika bahwa dalam menghadapi globalisasi, termasuk pasar bebas, agar dapat memperkokoh wawasan kebangsaan serta nilai-nilai kearifan lokal sebagai suatu pandangan yang mencerminkan sikap dan kepribadian bangsa.

Selain Rektor Prof Nasruddin, kuliah umum juga menampilkan praktisi media Online SultraKini.com yang diwakili M Djufri Rachim membawakan materi “Hoax dan Tanggungjawab Sosial Media.”

Menurut Djufri hadirnya hoax seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi digital, dimana semua sisi kehidupan manusia dewasa ini sudah beradaptasi, dari kegiatan manual menjadi serba online. Demikian pula dengan penyebaran informasi, yang semula dari mulut ke mulut dan media massa cetak serta elektronik, maka kini beradaptasi menjadi informasi digital yang berbasis kecepatan dan dapat diakses (upload dan download) oleh siapa saja.

Diungkapkan perkembangan teknologi adalah dua kali lipat dalam setiap 18 bulan. “Teknologi mengalami peningkatan daya secara dramatis, penurunan biaya ekonomis dan tumbuh dengan kesecapatan eksponensial,” jelas Djufri.

Terkait dengan penyebaran hoax di Indonesia tidak lepas dari pesatnya jumlah pengguna internet yang sudah mencapai 132,7 juta pengguna. Dari jumlah itu, sebanyak 87,4 persen menggunakan jejaring social. Di jejaring sosial inilah tumbuh kembangnya hoax.

Diakui, selain media sosial seperti facebook, media massa mainstream juga dapat dijadikan media penyebaran hoax. Hal ini terjadi seiring dengan rendahnya mutu penyelenggaraan jurnalisme yang ada di media massa tertentu.

“Guna menghindari penyebaran hoax di media massa, kompetensi jurnalis sangat dibutuhkan,” kata Djufri Rachim yang kini tercatat sebagai ahli pers dari Dewan Pers.

 

Laporan: shen

  • Bagikan